Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.
“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.
“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?”
“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.
“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”
“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.
“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.
“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya.
“Napa emang?”
“Idih, ditanya balik tanya.”
“Siapa suruh nanya.”
Ck, menyebalkan amat jadi orang.Tak berlangsung lama, bakso pesanan Abang sudah datang.
“Ini bakso Mas Dendy, ini buat Mbaknya.” Aku tersenyum menarik mangkuk bakso ke hadapan.
“Makasih ya, Bang!” ucapku pada penjual bakso.
“Amang, bukan Abang!” tukas Abang sewot.
“Iya. Makasih ya, Mang.” Aku mengulang ucapan. Si Amang malah senyam-senyum.
“Iya sama-sama. Minumannya apa, Mas, Mbak?” tanya penjual bakso ramah.
“Es jeruk peras dua,” sahut Abang tanpa bertanya dahulu padaku. Penjual bakso bergegas ke tempat bagian minuman.
Tangan Abang mengambil botol saus, sambel dan cuka.
“Abang kenapa gak tanya aku dulu sih mau pesan apa-apanya?”
“Lah kebiasaan lo kan emang gitu. Bakso mie putih doang jangan pake kecap, minuman favorit lo es jeruk peras.” Abang mengabsen makanan dan minuman favoritku.
“Ya kan nanya aku dulu ke.”
“Halah sama aja. Kalo lo yang pesan, nanti si Amang malah natap lo. Klo gue yang pesenin kan, mau gak mau fokus lihat gue!” Aku mengerutkan dahi.
“Maksudnya apa sih? Emang kenapa si Amang natap aku?” Aku protes. Pemikiran Abang aneh. Abang menghentikkan suapan baksonya lalu menatapku intens.
“Si Amang duda. Mau lo ditaksir laki-laki duda?” cetus Abang, matanya melotot seperti menakuti.
“Idih ... Ya gak maulah. Enak aja!”
“Ya makanya. Jangan bawel. Makan tuh baksonya!”
“Iya.” Aku mengambil satu sendok sambel tanpa saos.
Rasa baksonya enak juga. Apalagi butiran bakso yang ukurannya paling besar, isi dalamnya penuh sama irisan daging.
Terlihat Abang memakan bakso dengan lahap. Kayaknya dia benar-benar kelaparan.
“Abang.”
“Hm?”
“Makannya pelan-pelan napa. Ntar kesedak!” Abang mendongak. Menatapku cukup lama, bikin aku salah tingkah. Aduh, bakal dikatain bawel nih.
“Iya.”
Hah? Iya doang? Tumben gak ngatain bawel, gak ngomel-ngomel. Aku tersenyum melihat cara makan Abang yang berubah pelan-pelan.“Es jeruknya, Mas, Mbak.”
“Makasih, Mang!” seru Abang mendahuluiku.
Aku menyeruput es jerus peras hingga habis. Es jeruk peras memang minuman favoritku.
“Mau bungkus gak?” tawar Abang saat kami sudah menghabiskan satu mangkuk bakso. Aku menggeleng.
“Enggak ah. Kenyang!”
“Jangan kemana-mana. Abang mau bayar dulu.” Aku mengangguk.
Abang bangkit menghampiri penjual bakso. Selesai membayar, Abang mendekatiku.
“Ayok!”
Eh! Kenapa Abang pegang telapak tanganku? Aku berusaha melepaskan, tapi genggaman Abang justru semakin erat.“Mang, nitip motor ya?” seru Abang saat kami keluar kedai.
“Siap, Mas!” sahut penjual bakso.
“Abang mau kemana? Ini tangan aku lepasin dulu.”
“Lo diem deh. Ntar kalo ilang, repot!”
Nih orang ngasal banget sih? Masa iya aku hilang. Akhirnya mau tak mau aku mengikuti langkah Abang.Kami berjalan menuju arah barat. Hampir lima belas menit berjalan, Abang mengajakku naik ke atas sebuah bukit kecil. Letaknya lumayan jauh dari jalan raya.
“Mau ngapain ke sini?” Sejujurnya, saat ini aku merasa takut. Kulirik laki-laki yang rambutnya di atas pundak dibiarkan tergerai itu. Aku menatap sekeliling. Sepi, tidak ada siapa-siapa.
“Abang!” Aku menarik tangan dengan kuat dari genggaman tangannya hingga terlepas. Abang menatapku heran.
“Napa?”
“Mau ngapain di sini?”
“Enggak di sini. Di atas sana! Ayok naik dulu.”
“Gak mau!”
“Astaga!” Abang mengacak rambutnya. Bukan aku gak percaya sama dia. Sejujurnya saat ini aku takut.
“Lo takut gue apa-apain? Di sini emang sepi. Tapi di atas sana banyak orang. Kalo sampe gue apa-apain, lo bisa dorong gue ke jurang.” Abang berusaha meyakinkan. Akhirnya aku mau mendaki bukit lagi.
Memakan waktu sekitar lima menit, kami tiba di puncak. Ternyata benar, di atas banyak orang. Rata-rata pasangan muda-mudi. Ada juga beberapa pedagang jagung bakar, warung kopi dan rumah makan kecil. Pasangan muda mudi tersebut duduk beralaskan tikar.
“Kita duduk di sana!” tunjuk Abang di sudut bukit yang mengarah selatan. Aku mengikuti. Semilir angin menembus kemeja tunik yang aku kenakan. Menyilangkan tangan ke depan dada untuk menghalau rasa dingin.
Mataku membulat, saat melihat kerlap kerlip lampu dari atas bukit. Ditambah dengan keadaan langit yang bertaburan bintang. Sangat indah.
“Masya Allah ....” Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Merasa takjub dengan pemandangan di depan mata. Ciptaan Allah sungguh sangat indah.
“Lo suka?” Aku menoleh. Langsung mengangguk.
“Makanya ... jangan suuzhon duluuuu ....” sindir Abang duduk di atas tikar yang sudah tersedia.
“Ya maaf ....” ucapku menyesal. Tepatnya malu sih.
“Mau kapan berdiri? Sini duduk!” Abang menepuk alas tikar samping kiri. Aku pun mengikuti titahnya.
“Abang sering ke sini?”
“Emang kenapa?”
Bugh! Kupukul bahunya. Sebal. Ditanya selalu balik tanya.Abang meringis.“Berani pukul ya sekarang? Potong duit jajan!” Ancamnya. Bibirku mengerucut.
“Lo mau jagung bakar?”
Aku menggeleng.“Enggak. Masih kenyang. Bang, tempat ini indah banget. Apalagi kalau ditemenin pacar!” ujarku sumringah.
“Pacar-pacar! Pikiran lo pacaran mulu! Heran!” cerocos Abang macam emak-emak.
“Yeeeeyy ... biariin! Kalau gak pacar, sama suami juga boleh.” Abang menoleh. Sesaat, kami saling pandang.
“Lo udah kepikiran buat nikah?”
“Iyalah. Aku kan kuliah bentar lagi beres. Habis itu kerja. Habis itu nikah. Mau ngapain lagi?”
“Kalo udah nikah, lo masih mau kerja?”
“Tergantung! Kalau suaminya udah mampu nyukupin keuangan rumah tangga, di rumah aja. Masak, ngurus suami, ngurus anak, Kayak Bunda!" jawabku melirik Abang yang ternyata masih memandangku. Abang memposisikan tubuh agar lebih menghadap. Aku pun mengikutinya. Kini kami saling berhadapan.
“Lo pengen punya suami yang kayak gimana?” Kedua mata Abang menatapku serius. Mataku menerawang ke atas langit.
“Yang pasti dia sayang aku, hargai aku sebagai istrinya, tanggung jawab, hmmm rajin sholat. Hehehe.” Abang manggut-manggut.
“Gak harus ganteng kan?”
“Harus sih, tapi ganteng juga percuma kalau playboy!” Tukasku memutar badan menghadap selatan.
“Kalau suaminya Abang, mau?”
Seketika aku terkejut mendengar pertanyaan Abang. Aku menoleh kembali.“Suaminya siapa?” tanyaku pura-pura tak mendengar. Raut wajah Abang nampak kesal. Dia mendesah.
“Bang, suaminya siapa?” tanyaku mendesak.
"Abang ... Suaminya siapa??" Aku mengulang pertanyaan sembari menggoyang-goyangkan bahunya.
“Kambinggg!!”
"Hwahahhahaa ...." Tawaku seketika pecah. Abang-Abang ... gengsian banget!
“Malah ngetawain,” ucap Abang membuang muka. Aku menutup mulut, menahan gelak tawa. “Sayang banget kalau Abang jadi suaminya Kambing. Kayak gak ada cewek yang mau aja.” Aku bergumam, menahan tawa yang mau meledak lagi. “Emang gak ada cewek yang mau.” Celetuk Abang cuek. “Masa? Itu sih tiap hari Valentine, banyak paket cokelat ama bunga! Cieee ... so insecure.” tukasku sembari mendorong pelan bahu Abang. “Tau dah!” jawabnya mengedikkan bahu. “Abang?” “Hm.” “Cewek idaman Abang emang kayak gimana sih?” Aku menguji kejujuran Abang. Laki-laki berwajah brewok tipis itu membuang napas. “Cewek idaman Abang?”Hm kebiasaan! Ditanya balik nanya. Gitu aja terus. “Iya, cewek idaman Abang. Bukan Kambing idaman Abang!” “Ngejek teruuuuusss....!” Hidungku dipencet ibu jari dan telunjuk Abang. “Lepasin dih! Sakit tau!” Aku bersungut, mengusap-usap hidung. “Mulai jail nih anak. Belajar dari s
Di dalam kamar, aku terus memikirkan sikap Abang. Apakah dia marah? Malu? Atau benci karena aku sudah lancang masuk kamarnya dan membaca buku agenda? Duh, bikin bingung aja. Pukul 01.25 mataku mulai terasa mengantuk. Menarik selimut dan tidur. ***Setelah adzan Subuh, aku mengetuk pintu kamar Abang. Biasanya jam empat dia sudah duduk di Mushola keluarga, tapi tadi saat ke Mushola masih kosong, Abang gak ada di sana. Apa mungkin Abang belum bangun? Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Abang. “Bang ... Abang bangun ... udah adzan ... Bang ....” Aku menghela napas, tidak ada jawaban dari dalam. Jangan-jangan Abang beneran marah. Ya Allah .... “Tok, tok, tok ... Abang ... bangun, Bang ....” “Ayu, kamu lagi ngapain?” Aku menoleh ke asal suara. “Abang tumben belum bangun, Bun. Biasanya dari jam empat udah di Mushola,” jawabku memandang Bunda yang mengenakan mukena. “Oh ... Abang udah berangkat jam tiga tadi.”
“Dimatiin?” Pertanyaan Silvi mengalihkan kekesalanku.“Iya.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur lipat. Memandang langit-langit kamar. Senyumku tersungging, mengingat omongan Abang “Abang juga kangen.”“Gelo nih anak! Eh! Tadi ngomel-ngomel, sekarang senyam-senyum? Lo kenapa? Kerasukan?!” Omelan Silvi tak aku gubris.Bangkit, duduk bersila dan menghadap cewek berkacamata tebal itu.“Gue lagi bingung nih ....” ucapku mengawali curhat-mencurhat.“Bingung napa?” Silvi mencomot cemilan, menyuapnya.Mataku melirik cewek berpipi tembam yang duduk di sebelahku. “Tapi lo janji ya? Jangan bilang siapa-siapa!” Kuacungkan jari kelingking di depan mukanya. Silvi menjilat jari.“Idih jorok ah!” Aku menyembunyikan jari ke belakang punggung.“Gue kan abis ngemil, kalau gak gue
“Jelas-jelas dia sebut nama lo, napa bilang salah sambung?” Silvi menelisik. Sejak malam itu, aku sudah ilfeel banget ama si Firman. “Gak apa-apa. Ilfeel aja ama cowok kek dia. Dah ah, jangan dibahas!” Aku mengecek handphone kembali. Menekan foto profil WA Abang, lukisan sebuah taman. Abang termasuk orang yang jarang banget upload foto. Setahuku, Abang gak punya F******k, I*******m, apalagi Telegram. Dia Cuma WA. Aku mengetahui hal itu, saat pinjem handphonenya. “Abang gak punya I*, F*, Tele?” “Gak,” sahutnya ketika itu. “Kenapa?” “Gak suka.” “dih, norak!” Mengingat itu, aku tersenyum lagi. “Sil?” panggilku pada Silvi yang sudah asyik main game. “Hm.” “Kayaknya gue gak sanggup deh!” Dia menghentikkan main game, memerhatikanku. “Gak sanggup hidup?” “Bukan! Gak sanggup nahan gak chat ama Abang. Gue kangen tau!” Aku bersungut sambil memerhatikan WA Abang, gak online. “Serah lo! Gue kan Cuma kasih saran!” Kedua mata gadis itu fokus kembali pada handphone di tangan. Aku menge
PoV Abang“Iya.”Hanya itu yang kuucapkan ketika Ayu mengatakan kejujurannya. Antara mau marah, malu dan senang. Marah karena dia telah lancang masuk kamar, membaca buku harianku dan menguping pembicaraanku dengan Bunda. Malu, karena ia telah tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan senang, karena tanpa mengungkapkan, Ayu udah tahu sendiri. Tapi aku juga bingung, harus bersikap bagaimana setelah ini. Aku mengacak rambut frustasi.Kurebahkan diri di atas kasur. Bayangan Ayu seketika berkelebat. Aku menyukai semua yang ada dalam diri gadis yang dua puluh tahun lalu diangkat anak oleh orang tuaku. Senyumnya, marahnya, dan ketawanya.Sudah pukul tiga dini hari mata tak juga terpejam. Sedari tadi yang kulakukan, main game, mengecek laporan perusahaan, corat-coret dan memandangi foto Ayu yang terselip dalam dompet.“Gak beres ini! Gue harus menghindar dari si Ayu. Dari pada serba
Di balik pintu kamar, tubuhku melorot. Air mata mengalir deras. Hatiku sakit dianggap sebagai cewek gampangan. Padahal selama ini, hanya hitungan jari aku pergi atau diantar oleh laki-laki selain Abang. Itu pun selalu sepengetahuannya. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mandi. Membersihkan diri.Pukul sepuluh malam, suara pintu diketuk.“Siapa?” tanyaku sambil menyeka air mata. Namun tak ada jawaban. Aku menyambar kerudung bergo, memakainya.“Abang mau ngomong,” ucap Abang saat pintu terbuka. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Laki-laki berambut di atas bahu itu duduk di sofa yang bersebrangan denganku. Beberapa menit hening. Aku enggan memulai bicara. Memilih diam dan merunduk.“Ini hapenya. Nanti charger lagi, belum penuh.” Abang meletakkan handphone di atas meja. Aku tak bergeming, membuang muka sambil menyeka cairan yang keluar dari hidung dengan ujung jilbab.&nb
Setelah dokter memeriksa keadaanku, seseorang muncul dari balik pintu. Rupanya Bang Dion. Sahabat Abang sedari SMP.“Hallo, Ayu ....” Bang Dion masuk menyapa. Tangannya membawa sekeranjang buah-buahan.“Ngapain lo ke sini?” sungut Abang, matanya mendelik. Aku menghela napas panjang.Bang Dion dan Abang sahabatan sudah sejak tapi kalau ketemu, kayak Tom and Jerry. Berantem ... Terus.“Jenguk Ayu-lah,” sahut Bang Dion cuek. Tak peduli dengan sikap Abang yang menyebalkan.“Kemana aja, Bang? Belakangan jarang main ke rumah.” Tanyaku begitu Bang Dion berjalan mendekat.Bang Dion menyenggol Abang supaya bangun dari tempat duduk.“Apaan?”Abang mendongak, memicing kedua mata.“Bangun. Gantian gue yang duduk.” Jelas Bang Dion sambil terus menyenggol bahu Abang.A
“Kapan boleh pulangnya, Dok?” tanya Abang usai dokter memeriksa kesehatanku.“Besok juga udah boleh pulang. Ayu, Kepalanya masih pusing gak?” Aku menggeleng. Tersenyum manis. Dokter bernama Faris membalas senyumku. Sejenak, kami saling memandang. Abang berdehem. Mengalihkan pandanganku pada dokter tampan itu.“Periksanya udah kan, dok?” tanya Abang sambil bersidekap, aku memutar bola mata malas. Gak bisa bikin orang seneng dikit.“Sudah selesai. Ayu, jangan banyak pikiran ya. Istirahat yang cukup. Biar lekas sembuh.” Saran dokter Faris kusambut dengan wajah berbinar. Senyum pun tak lupa aku tampilkan.“Iya-iya. Nanti biar saya yang nasehatin,” seloroh Abang. Intonasi suaranya sangat menyebalkan.Tuh orang maen jawab-jawab aja. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.“Dokter lagi banyak pasien kan
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be