PoV Abang
“Iya.”
Hanya itu yang kuucapkan ketika Ayu mengatakan kejujurannya. Antara mau marah, malu dan senang. Marah karena dia telah lancang masuk kamar, membaca buku harianku dan menguping pembicaraanku dengan Bunda. Malu, karena ia telah tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan senang, karena tanpa mengungkapkan, Ayu udah tahu sendiri. Tapi aku juga bingung, harus bersikap bagaimana setelah ini. Aku mengacak rambut frustasi.
Kurebahkan diri di atas kasur. Bayangan Ayu seketika berkelebat. Aku menyukai semua yang ada dalam diri gadis yang dua puluh tahun lalu diangkat anak oleh orang tuaku. Senyumnya, marahnya, dan ketawanya.
Sudah pukul tiga dini hari mata tak juga terpejam. Sedari tadi yang kulakukan, main game, mengecek laporan perusahaan, corat-coret dan memandangi foto Ayu yang terselip dalam dompet.
“Gak beres ini! Gue harus menghindar dari si Ayu. Dari pada serba
Di balik pintu kamar, tubuhku melorot. Air mata mengalir deras. Hatiku sakit dianggap sebagai cewek gampangan. Padahal selama ini, hanya hitungan jari aku pergi atau diantar oleh laki-laki selain Abang. Itu pun selalu sepengetahuannya. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mandi. Membersihkan diri.Pukul sepuluh malam, suara pintu diketuk.“Siapa?” tanyaku sambil menyeka air mata. Namun tak ada jawaban. Aku menyambar kerudung bergo, memakainya.“Abang mau ngomong,” ucap Abang saat pintu terbuka. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Laki-laki berambut di atas bahu itu duduk di sofa yang bersebrangan denganku. Beberapa menit hening. Aku enggan memulai bicara. Memilih diam dan merunduk.“Ini hapenya. Nanti charger lagi, belum penuh.” Abang meletakkan handphone di atas meja. Aku tak bergeming, membuang muka sambil menyeka cairan yang keluar dari hidung dengan ujung jilbab.&nb
Setelah dokter memeriksa keadaanku, seseorang muncul dari balik pintu. Rupanya Bang Dion. Sahabat Abang sedari SMP.“Hallo, Ayu ....” Bang Dion masuk menyapa. Tangannya membawa sekeranjang buah-buahan.“Ngapain lo ke sini?” sungut Abang, matanya mendelik. Aku menghela napas panjang.Bang Dion dan Abang sahabatan sudah sejak tapi kalau ketemu, kayak Tom and Jerry. Berantem ... Terus.“Jenguk Ayu-lah,” sahut Bang Dion cuek. Tak peduli dengan sikap Abang yang menyebalkan.“Kemana aja, Bang? Belakangan jarang main ke rumah.” Tanyaku begitu Bang Dion berjalan mendekat.Bang Dion menyenggol Abang supaya bangun dari tempat duduk.“Apaan?”Abang mendongak, memicing kedua mata.“Bangun. Gantian gue yang duduk.” Jelas Bang Dion sambil terus menyenggol bahu Abang.A
“Kapan boleh pulangnya, Dok?” tanya Abang usai dokter memeriksa kesehatanku.“Besok juga udah boleh pulang. Ayu, Kepalanya masih pusing gak?” Aku menggeleng. Tersenyum manis. Dokter bernama Faris membalas senyumku. Sejenak, kami saling memandang. Abang berdehem. Mengalihkan pandanganku pada dokter tampan itu.“Periksanya udah kan, dok?” tanya Abang sambil bersidekap, aku memutar bola mata malas. Gak bisa bikin orang seneng dikit.“Sudah selesai. Ayu, jangan banyak pikiran ya. Istirahat yang cukup. Biar lekas sembuh.” Saran dokter Faris kusambut dengan wajah berbinar. Senyum pun tak lupa aku tampilkan.“Iya-iya. Nanti biar saya yang nasehatin,” seloroh Abang. Intonasi suaranya sangat menyebalkan.Tuh orang maen jawab-jawab aja. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.“Dokter lagi banyak pasien kan
Sudah dua puluh menit, Abang tak juga datang. Kemana belinya tuh orang? Lama bener? Tadi sore aja waktu beli biskuit, cepet banget.Aku memiringkan punggung, mengecek belakang bokong, memastikan darah menstruasi tembus apa tidak. Ish, gak enak banget sih?!Pintu terbuka, wajah Abang menyembul, terlihat kusut.“Nih!” Tanpa basa-basi Abang menyerahkan plastik minimarket padaku.“Abang kenapa?” Laki-laki berambut di atas pundak itu berjongkok di depanku. Menarik napas panjang. Abang tak juga menjawab. Jangan-jangan dia nyesel udah beliin aku pembalut.“Abang malu ya gara-gara ditanya sama mbak kasirnya?” Langsung kutebak apa yang terjadi padanya.“Bukan. Bukan Mbak kasir yang tanya. Dahlah, nanti ceritanya. Kamu pake dulu gih!” Berdiri, Abang berjalan ke bangku sofa, lalu duduk. Lengan kanannya menutup
“Assalamu’alaikum.” Tawa Abang seketika berhenti saat seseorang menguruk salam. Kuturunkan selimut dari wajah, memastikan siapa yang datang. “Waalaikumsalam.” Serempak kami menjawab salam. Rupanya Bunda sudah datang. Aku mengulas senyum menyambut kedatangan Bunda. Wanita bergaya sosialita muslimah itu dengan anggun melenggang masuk, menghampiri kursi yang diduduki Abang, tanpa disuruh lelaki berkumis tipis berdiri. “Ngetawain apa kamu, Den?” tanya Bunda, begitu duduk di atas bangku dekat ranjang. Abang gelagapan, menggaruk belakang kepala. Aku tahu sebenarnya tidak gatal, hanya menghalau kegugupannya saja. “Hm ... a-anu, Bun ....” ucap Abang terbata-bata. Bunda menoleh, keningnya berkerut. Tampak sekali penasaran dari raut wajah cantiknya. “Hush! Bicara kamu anu-anu. Gak sopan!” Tegas Bunda menegur. Lantas pandangan wanita berkerudung merah muda beralih menatapku. “Sayang, gimana keadaanmu, udah baikan?” Lembut, tangan wanita berusia enam puluh tahunan itu membelai kepalaku yan
Esok harinya, dokter Faris sudah mengijinkanku pulang. Bunda membantuku berkemas. Sejak semalam hingga sore ini Abang belum datang lagi ke rumah sakit. Entah sedang sibuk kerja atau memang dilarang Bunda. Hubunganku dengan Abang pasti akan sulit dijalani jika Bunda tidak memberi restu. Tiba-tiba pintu terbuka.“Dira?” gumamku saat tubuh laki-laki itu menyembul dari balik pintu.“Hei, Dir, masuk sini!” Panggil Bunda, Dira tersenyum, berjalan masuk ruangan.“Apa kabar, Tante?” Laki-laki yang mengenakan kaos warna hitam itu menyalami Bunda.“Alhamdulillah baik,” sahut Bunda. Wajahnya sangat berbinar. Sepertinya Bunda ingin menjodohkanku dengan Sudira.“Sori, Yu. Aku baru sempet ke sini. Kamu udah baikan?”“Gak apa-apa. Makasih ya udah nyempetin ke sini.” Kataku sedikit sungkan.
“Masuk rumah dulu!” titah Abang. Aku Mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Menatapku. Kami saling pandang.“Abang minta maaf. Kemarin beneran gak tau kalau pulangnya sore. Di kantor juga emang lagi banyak kerjaan,” ucap Abang. Nada suaranya seperti menyesal. Namun aku tak menanggapi, memilih diam membisu. Membuang muka ke arah lain.“Udah, jangan cemberut gitu. Tunggu bentar, Abang yang anterin ke kampus.” Hanya mengangguk sebagai jawaban.Abang masuk kamar, aku berdiri di ambang pintu, tubuh bersandar pada kusen pintu.Sebenarnya aku bingung bersikap pada Abang. Kalau seperti biasa, takut perasaanku padanya semakin menjadi-jadi sedangkan Bunda tidak menyetujui hubungan kami. Kalau menghindar, rasanya tak nyaman. Aku sudah terbiasa apa-apa dengan Abang.Beberapa menit kemudian. Lelaki berperawakan atl
Selesai kelas, menuju kantin untuk menemui Dira. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh laki-laki berlesung Pipit itu. Tidak biasanya dia ingin berbicara empat mata. Yang sudah-sudah ada Silvi pun tak masalah.“Lo mau kemana?” tanya Silvi saat aku berbelok ke arah kiri, tidak langsung menuju area parkir.“Kantin dulu. Mau ketemu Dira. Katanya ada yang mau dia omongin,” jawabku.“Mau gue temenin?”“Gak usah deh.”“Ya udah, kalau gitu gue pulang duluan ya?”“Iya. Aku pun melanjutkan langkah. Berpisah arah dengan Silvi.Setibanya di kantin, kulihat Sudira duduk di kursi paling pojok kiri. Ia sedang memainkan gadget. Suasana di sini tidak seramai biasanya. Mungkin karena sebagian Mahasiswa sudah pulang.“Sori lama nunggu,” ucapku. Menarik kursi, duduk. Laki-la
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be