Motor Anti memasuki halaman rumah. Terlihat ibunya sedang menjemur baju di sana. Terpana kala melihat anak dan cucunya datang dengan membawa seorang balita.
“Siapa itu, Nad?” tanya Ibu Anti. Meskipun fotonya terpampang besar, tetap saja belum tahu sosok yang didendong Nadia. Karena memang dalam hati wanita itu, tidak pernah mengingat Bilal.
“Ajak masuk, Nad!” perintah Anti.
Dia lalu mengangkat belanja yang ada di depannya.
“Bu,” panggil Anti pada ibunya yang masih terpana dengan tatapan mengikuti tubuh Nadia masuk ke dalam. Tangannya masih memegang sehelai baju yang akan ia jemur.
“An, dia siapa?” Ibunya bertanya dengan tatapan menyelidik.
“Dia Bilal. Anakku,” jawab Anti.
“Eh, kok bisa ada sama kamu?”
“Istri Mas Agam masuk ICU. Dia tidak ada yang menjaga.” Selepas berkata demikian, Anti masuk begitu saja tanpa mempedulikan ibunya yang masih berdiri mematung.
“Baaaak … itu poto atu, ya?” Bilal bertanya begitu mel
Cerita ini belum tamat ya .... Jangan tanya kok sudah tamat? Hehe ....
Beberapa hari di rumah Anti, Bilal mulai bisa menyesuaikan diri. Sesekali, anak itu sudah mau memanggil dengan sebutan Ibu. Hal tersebut berkat Nadia yang selalu mengajari adiknya.Karena melihat ibunya yang kurang bersahabat terhadap Bilal, Anti terpaksa membaa anaknya ke kantor. Namun, wanita itu tidak pernah merasa repot. Justru seperti mendapat pengalaman baru baginya. Pun dengn Bilal, anak itu merasa bahagia bila diajak ibu kandungnya menaiki motor. Apalagi, yang ia lihatdi jalan, banyak sekali kendaraan besar. Hal yang jarang sekali ia saksikan di sekitar tempat tinggalnya yang terletak di daerah sepi.“Bu, tu apa?” tanya Bilal saat pertama kali melihat mobil tangki.“Itu mobil tangki,” jawab Anti.“Ilal mau beli obing tangki,” teriaknya girang.“Iya, nanti ya, sepulang Ibu bekerja, kita beli mobil tangki,” jawab Anti lagi.Jadilah setiap hal baru yang dilihat anaknya, dan anaknya ingin m
Agam termenung di atas kursi depan kamar rawat Laila pada suatu malam. Dia kemudian menelpon Anti untuk menanyakan anaknya. “Baik, Mas. Kemarin-kemarin sih, sering nangis panggil ibunya. Maklum, ‘kan lingkungan baru buat dia. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Sudah agak bisa menyesuaikan diri. Dia juga sesekali masih Tanya ibunya di mana. Aku jawab saja, sedang sakit. Nanti kalau sudah sembuh, bakal jemput dia ke sini.” Jawaban yang disampaikan Anti membuat Agam tertegun. Selama ini, istrinya telah takut pada sesuatu yang salah. Nyatanya, Anti begitu legowo menyebut Laila sebagai ibu Bilal. “Terima kasih, ya? Maaf merepotkan kamu,” ujar Agam lagi. “Tidak apa-apa, Mas, sebagai orang yang pernah melahirkan Bilal, aku harus siap dimintai bantuan. Aku yang berterima kasih, sudah diberikan kesempatan untuk merawat dia.” “Anti, apa kamu tidak ingin tinggal selamanya dengan Bilal?” Entah bisikan dari mana, Agam bertanya demikian. Terdengar helaan napas panjang
Anti menyalami ibu Laila yang duduk di tikar yang digelar di bawah tempat tidur anaknya."Apa kabar, La?" tanya Anti ramah pada ibu sambung Bilal."Baik, Mbak." Laila memaksakan tersenyum."Masih sakit atau lemas saja?" Anti bertanya lagi."Masih agak pusing ini, Mbak,""Makan yang banyak, ya? Minum obatnya dengan rutin. Cepat sembuh. Bilal menanyakan kamu terus. Kasihan. Dia tanya ibunya terus," ujar Anti membuat mata Laila berkaca-kaca."Mbak Anti," panggil Laila lirih."Ya, La?" jawab Anti sambil tersenyum. Satu tangannya mengusap dahi Laila yang penuh keringat.Diperlakukan sedemikian baik oleh orang yang ia khawatirkan mengambil Bilal darinya, membuat Laila merasa bersalah."Kamu mau bilang apa?" tanya Anti lembut."Mbak Anti tidak marah, karena Bilal lebih menganggap aku ibunya?" tanya Laila jujur.Sebenarnya, pertanyaan itu terlalu menyakitkan. Namun, memahami bahwa Laila teramat takut kehilangan ana
Anti duduk di kursi dan menjatuhkan kepala di samping tubuh Laila. Mencium telapak tangan wanita yang terbaring lemah berkali-kali."Terima kasih, La. Terima kasih untuk semuanya. Kamu wanita yang sangat baik. Bilal sangat pantas mendapatkan ibu seperti kamu. Dia sangat beruntung. Aku mungkin, memang hanya ditakdirkan untuk mengandung dan melahirkan dia untuk kamu," ujar Anti sesenggukan.Beruntungnya pasien yang ada di bed sebelah sudah pulang. Sehingga, tidak ada ketakutan pembicaraan mereka diketahui orang lain."Laila itu mandul, Mbak Anti. Dia tidak bisa hamil. Dulu, dia pernah menikah dan tidak direstui. Suaminya meninggal. Dan Laila selalu jadi sasaran kemarahan keluarga mantan mertua. Tidak sekali dua kali mereka datang memaki-maki Laila. Bahkan pernah Laila dihajar oleh ibu dari almarhum suaminya. Anak saya selalu dikatakan wanita pembawa sial yang menyebabkan suaminya meninggal. Sehingga dia depresi dan akhirnya saya masukkan pesantren. Jujur memang be
Puas menumpahkan rasa haru, Anti pamit.“Cepat sembuh ya, La? Kalau kamu sudah keluar dari rumah sakit, aku akan mengajak kamu ke suatu tempat. Kita berdua, ya?” janji Anti.“Benarkah, Mbak?” Laila bertanya dengan binar bahagia.“Iya, makanya, kamu lekas sembuh, ya?” ujar Anti lagi.“Iya, Mbak,” jawab Laila senang.Anti berpamitan pada ibu Laila.“Terima kasih, Mbak Anti, sudah berkunjung ke sini. Terima kasih bila Mbak Anti berkenan menganggap kami keluarga,” ujar ibu Laila terlihat tidak kalah senang. Jari jemarinya menggenggam erat telapak angan Anti.“Sama-sama, Bu. Jangan sungkan main ke rumah, ya? Besok kalau Laila sudah sembuh, mampirlah ke rumah saya, Bu,” jawab Anti lembut.“Iya, Mbak Anti,”Mereka akhirnya berpisah. Langkah Anti terasa lebih ringan. Meskipun tetap saja ada sebuah rasa sedih yang singgah. Karena bagaimanapu
“Masuk, Mas. Ini, aku sedang makan buah yang dibawakan Mbak Anti,” jawab Laila sumringah. “Kamu sudah baikan?” tanya Agam. “Iya, sudah. Aku harus sembuh. Kata Mba Anti, kalau aku sembuh mau diajak jalan ke suatu tempat.” Laila mengadu layaknya anak kecil. “Anti bilang begitu sama kamu tadi?” Agam bertanya heran Laila menjawab dengan anggukan. “Mbak Anti sebenarnya baik kok, Mas. Jangan larang dia untuk bertemu Bilal lagi, ya? Mbak Anti bilang tidak akan meminta Bilal dari kita,” ucap Laila dengan penuh kegembiraan. “Iya, terserah kamu, ya? Kamu yang berhak menentukan. Kalau kamu memang merasa itu tidak apa-apa, aku nurut,” “Iya, Mas. Aku tidak akan takut lagi sekarang.” Agam mendekati istrinya dan mengusap rambutnya. Dalam kaca mata Agam, Laila terkadang masih seperti anak kecil. Menikah dengannya membuat Agam seperti memiliki seorang adik. “Cepat sembuh. Bilal menunggumu,” ujar Agam. “Iya, Mas,”
Saat sampai di pintu perbatasan pengunjung bisa masuk, Anti sudah menunggu di sana. Bilal tengah diajak bermain Nadia di arena permainan yang disediakan pihak rumah sakit.“Ilal,” panggil Agam.“Ayah, Ibu,” teriak Bilal sambil berlari. Tubuh kecilnya langsung menubruk pangkuan Laila.Anti yang duduk di kursi tunggu menyaksikan pemandangan yang menyakitkan di hadapannya. Namun, berusaha tersenyum. Bagaimanapun, ia selalu menegaskan bahwa, kebersamaannya dengan Bilal adalah laksana barang pinjaman. Yang harus ia kembalikan kepada pemiliknya.“Bu atit?” tanya Bilal masih merebahkan kepala di atas pangkuan Laila.“Iya, Bu atit,” jawab Laial dengan tangan mengusap rambut anak tirinya itu.“Bu udah sembuh?” Bilal mendongakkan kepalanya.“Iya, Ibu sudah sembuh.”“Ulang ya, Bu? Ilal anis ga ada Ibu.” Hati Anti teramat sakit mendengar anaknya berbicara s
“Ati-ati di jalan, Ilal,” ujar Anti membuang rasa sedih.“Ilal turun dulu, Ibu mau naik,” ucap agam.“Ilal mau cama Ibu,” teriak Bilal tidak mau jauh dari Laila.“Gak papa, Mas, aku bisa mengangkat tubuh Bilal.” Laila turun dari kursi roda sambil mengangkat anaknya. Mereka duduk di jok depan samping supir. Sementara Agam dan mertuanya masih sibuk memasukkan barang ke dalam bagasi.Ingin rasanya Anti memeluk tubuh anaknya untuk yang terakhir kali. Namun, ia tidak berani mengganggu kebhagiaan Bilal yang bertemu Laila setelah berpisah beberapa hari.“Ini baju Bilal, Mas. Itu juga ada susu dan makanan ringan untuk dia kalau nanti di perjalanan minta jajan.” Anti berujar saat tinggal Agam sendirian di luar mobil. Diulurkannya tas yang sejak tadi ia tenteng. Nadia berada di dekat pintu dimana adiknya duduk.“Ilal, ati-ati, ya?” ujar Nadia.“Ayo, salim dulu sama Mb
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”