Beranda / Romansa / Red in Us / Bab 141 - Bab 150

Semua Bab Red in Us: Bab 141 - Bab 150

176 Bab

141. Kiss Pura-Pura

Selesai makan, Rabu dan Katha akhirnya pergi ke Tokyo Tower. Sayangya, harapan Rabu untuk bisa berduaan dengan Katha harus kandas, karena Sakha dan Rakha ikut bersama mereka atas ajakan Katha.Dia benar-benar tidak habis pikir dengan dua lelaki yang mengiyakan ajakan Katha. Harusnya mereka sadar bahwa dirinya dan Katha sekarang sedang dalam perjalanan bulan madu. Tentu kencan berdua adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam top list perjalanan itu.Namun, Sakha dan Rakha mengabaikan fakta itu. Rabu yakin kalau dua bersaudara itu tahu kondisi emosinya sekarang, tapi memilih untuk mengabaikan.“Bagus, ya, di sini,” ujar Katha sambil menyusuri jalan masuk menuju Tokyo Tower. Dinding lorongnya dihias dengan bunga dan daun sintetis, berwarna cerah.“Mau kufoto?” tawar Sakha. Dia bahkan sudah mengeluarkan gawai dari saku jaket denimnya.Katha mengangguk antusias. Dia segera memposisikan diri di tengah-tengah lorong yang keb
Baca selengkapnya

142. Hujan Malam Ini

Katha sudah berbelanja beberapa oleh-oleh di lantai tiga Tokyo Tower. Dia membebankan paper-paper bag itu kepada Rabu dalam perjalan pulang. Tapi ketika mereka hendak masuk ke pintu hotel, Rabu tiba-tiba menarik tangan perempuan itu.“Tha, jalan-jalan sebentar, yuk. Kayaknya sayang banget kalau kita langsung masuk kamar,” ujarnya.Alis Katha terangkat. “Lo nggak capek?”Rabu menggeleng. Dia menunggu persetujuan Katha, hingga akhirnya perempuan itu mengangguk.“Mau jalan-jalan ke mana lagi?” tanya Katha.“Di sekitar hotel aja. Taman-taman di sini kelihatannya bagus,” jawab Rabu. Dia kemudian mulai berjalan ke arah kanan hotel, diikuti Katha di belakangnya. Langkahnya diperlambat agar Katha bisa jalan sejajar dengan dirinya.“Bu, lo ngomong-ngomong lo ngapain tadi di Tokyo Tower?” tanya Katha sambil mendongak menatap langit tak berbintang.Kenyitan muncul di dahi Rabu. “N
Baca selengkapnya

143. Ruang Mayat

Mendengar ucapan Ratu, Rabu langsung kalang kabut. Dia terburu-buru bangkit dari posisi berlututnya, hingga terjerembab dan nyaris jatuh kalau Katha tak menarik lengannya. “Tenang, Bu,” ujar perempuan itu. Rabu menggumamkan terima kasih, tapi dia tidak benar-benar mendengarkan. Fokusnya sekarang sepenuhnya berpindah ke lain tempat. “Terus kondisi Ibu gimana?” tanyanya pada Ratu. “Lagi mau dioperasi. Mas jangan telepon Ibu, soalnya sama Ibu aku dilarang ngasih tahu Mas,” sahut Ratu dari seberang. Volume gawai yang besar memungkinkan Katha mendengar percakapan adik-kakak itu. “Dioperas? Ha? Seberapa parah?” tanya Rabu sambil menyugar rambut frustrasi. Dia berjalan menuju kopernya yang terbuka. Ada beberapa barang oleh-oleh milik Katha di sana yang belum tertata. “Patah lengan kanannya, Mas. Kan jatuh ke arah kanan motornya, jadi Ibu nahan. Terus sama banyak lecet di sana-sini,” jawab Ratu. “Eh, Mas, aku tutup, ya. Ibu nyari aku katanya.”
Baca selengkapnya

144. Bayangan Jorok Halal

Rabu seketika panik. Dia meninggalkan kopernya begitu saja dan berlari menghampiri Ratu. Jantungnya berdegup kencang dengan rasa panas serta keringat yang menderas di sekujur tubuhnya. Lelaki itu kemudian meraih bahu sang adik, lalu menatapnya tajam dengan mata memerah. Pegangannya di kedua bahu sang adik mengerat. “Rat, Ibu kenapa?” tanyanya menahan segala emosi yang hampir meledak. Di samping itu, mata Ratu seketika terbelalak. Dia tidak menyangka langsung melihat wajah sang kakak hari ini. Apalagi dengan muka memerah begitu. “Mas ….” “Ibu mana, Rat? Ibu kenapa? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya lagi. Suaranya kali ini lebih meninggi, hingga Katha yang tadinya memperhatikan dari jauh, akhirnya berlari mendekat sambil susah payah menarik dua koper. “Rabu!” panggil Katha. Rabu tidak menoleh, tapi Ratu yang melihat Katha. Remaja itu menggumamkan nama Katha, membiarkan sang kakak terus mengguncang bahunya. Dengan napas t
Baca selengkapnya

145. Tebakan Bude Marni

Rahayu akhirnya keluar dari rumah sakit setelah serangkaian drama bersama Ratu, Rabu, dan Katha. Dia memaksa anak-anaknya untuk pulang dan istirahat di rumah, terutama Rabu dan Katha, tapi semua menolak. Mereka pun memaksa untuk bisa menemani dirinya bertiga, padahal pihak rumah sakit hanya meperbolehkan satu orang penjaga. Maka untuk menghindari perseteruan yang tiada habisnya. Dia meminta untuk pulang lebih dulu. Apalagi kondisinya memang sudah baik. Hanya lengan kanannya yang masih perlu dibalut gips, karena butuh penyembuhan lebih lama. “Kita harus masakin Ibu,” ujar Katha kala mereka sudah sampai di rumah dan sudah merapikan barang-barang Rahayu. Perempuan paruh baya itu kini duduk di ruang keluarga sambil menonton drama terbaru di Netfl**. Meski usia sudah tidak muda, tapi selera nontonnya tidak jauh beda dengan Ratu dan Katha. “Kenapa ajak-ajak?” duga Rabu. Tanpa diminta pun, dia sebetulnya akan tetap membantu Katha jika perempuan itu berniat memasak.
Baca selengkapnya

146. Telepon-Telepon Menyebalkan

“Mbak, anak-anak biar istirahat dulu,” ujar Rahayu berusaha menyelamatkan Rabu dan Katha dari keganasan mulut kakaknya. “Eh, baiknya periksa dulu aja ….” Rahayu langsung maju ke depan, melewati Rabu dan Katha yang langkahnya terhenti. Dia menggandeng lengan kakaknya dengan tangannya yang tidak dibalut gips, lalu menariknya menuju ke ruang keluarga. “Mbak kapan datang? Aku kira baliknya masih lama. Biasanya kalau nengokin Andini kan lama,” tanya Rahayu. Lalu suara keduanya mengobrol terdengar semakin pelan. Katha dan Rabu pun seketika mengembuskan napas lega. Mereka melanjutkan langkah menuju kamar. Rabu kemudian membantu Katha berbaring, lalu membalurkan minyak kayu putih di perut perempuan itu. “Aku bisa sendiri, Bu,” ujar Katha. Kali ini dia cukup malu memperlihatkan perutnya pada Rabu, padahal Rabu sudah biasa melihat dia memakai pakaian-pakaian terbuka. Mungkin karena kali ini tangan lelak itu akan menyentuh kulitnya. “Udah
Baca selengkapnya

147. Seseorang di Masa Lalu

Setelah bertelfonan dengan Sakha, Katha enggak menghabiskan makanannya. Dia terus saja meminta Ayam Goreng Mantap para Rabu. Dan lelaki itu gagal membujuk Katha. Hingga lagi-lagi Bude Marni lewat di depan kamar mereka, lalu mendengar perdebatan mereka soal ayam goreng. “Tuh, kan, Bude bilang apa,” ujarnya sambil membuka pintu kamar. “Katha itu pasti isi. Kamu bohongin Bude soal dia haid, kan? Mau bikin surprise untuk ibumu nanti?” Perempuan itu tersenyum simpul, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia duduk di tepi tempat tidur, sementara Rabu berdiri di samping nakas. Mendengar ucapan Bude Marni, Katha lagi-lagi merasa frustrasi. Dia kira orang ini segera pulang. Tapi, jelang petang begini rupanya perempuan paruh baya itu masih saja ada di sini. “Eh, aku kira Bude udah pulang,” ujar Katha akhirnya. Dia mencoba mengabaikan pertanyaan Bude Marni sebelumnya, dan berharap perempuan itu lupa akan ucapannya sendiri. “Iya, Bude nunggu Pakde jemput.
Baca selengkapnya

148. Di Balik Jendela

Ayam Goreng Mantap rupanya gagal digunakan untuk membujuk Katha minum obat. Entah kenapa perempuan yang satu ini begitu rewel hari ini. Rabu sendiri bingung. Apa memang karena PMS, ataukah karena sakitnya. Yang pasti Katha jarang begini kalau sakit. “Lo bener nggak mau minum obatnya?” tanya Rabu sekali lagi. Raut wajah jengkelnya kali ini terpampang jelas, tapi tetap diabaikan oleh Katha. “Gue cuma perlu istirahat, Bu. Obatnya nggak perlu.” Katha menjawab masih sama santainya. Sepulang Rabu dari kedai ayam goreng, dia langsung memeriksa demam Katha. Dan ternyata memang benar sudah sedikit lebih turun lagi dibanding sebelumya. Namun, dia belum merasa tenang kalau Katha tidak minum obat. Sebab, dia khawatir kalau demamnya bisa naik lagi. Rabu kemudian menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Kepalanya akhirnya menunjukkan sebuah ide gila yang bisa dia pakai untuk mengancam Katha. “Muka lo tiba-tiba mencurigakan,” celetuk Katha curiga. Dia sam
Baca selengkapnya

149. Penampakan yang Sama

“Aku pulang!” teriak Ratu. Remaja SMA itu langsung berlari menghampiri kakak iparnya yang duduk di depan televisi. “Hey, gimana sekolah?” tanya Katha. “Gitu aja, Mbak,” jawabnya malas. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah semringah. “Aku bawa banyak jajanan buat Mbak biar nggak bosan.” Dia kemudian membuka tas, lalu mengeluarkan berbagai jajanan basah dan snack bungkusan. Jajanan basah berbumbu bubuk dan berminyak itu tampak masih hangat. “Ini ada telur gulung,” ujarnya. “Mbak pasti udah lama nggak makan ini, kan?” Katha seketika tertawa. Dia memang sudah lama sekali tidak makan jajanan sekolah semacam ini semenjak bekerja. Dan ketika melihat jajanan yang dibawa Ratu, dia baru menyadari bahwa ada rasa rindu yang muncul. “Ini gede-gede banget, Rat,” ujar Katha sambil mengambil plastik berisi telur gulung itu. “Iyalah, Mbak. Orang harganya juga gede,” sahut Ratu. Perempuan itu kini mengambil plastik berisi maklor, lalu mengun
Baca selengkapnya

150. Kejadian di Kereta Api

Katha mengelak. Dia akhirnya berbohong kalau itu adalah telepon dari Shae. Sampai saat ini, dia beranggapan bahwa belum saatnya memberitahukan perihal keanehan yang dialaminya pada Rabu. Lagi pula meski curiga, entah bagaimana dia jadi merasa menuduh orang tanpa bukti kuat.“Terus gimana? Jadi ke mini market? Ayo gue anterin. Mau beli apa emang?” tanya Rabu.“Mau beli pembalut sih. Tapi ini mager banget mau ke sana,” jawab Katha akhirnya.“Ya, kan, gue anterin,” sahut Rabu. “Atau mau gue beliin aja? Yang kayak biasanya, kan?” tanyanya. Sebab, dulu Katha hampir selalu menyuruh dirinya membeli pembalut kala tamu bulanan itu datang di tempat yang tidak diharapkan.Katha menggeleng. “Ayo, deh!” ujarnya sambil naik ke boncengan Rabu.Rabu pun membelokkan motor ke arah mulut gang lagi.Sementara selama perjalanan tak panjang itu, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tahu kalau o
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status