Beranda / Romansa / Red in Us / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Red in Us: Bab 1 - Bab 10

176 Bab

1. Kencan Buta: Danu Sanjaya

“Jadi, kenapa kamu mau ikut kencan buta seperti ini?” Katha yang tadinya menyibukkan diri dengan memandangi rumput sintetis di dinding sebelah kanan, akhirnya menoleh. Dia mengulas senyum menggoda lagi, seperti tadi saat percakapan demi percakapan terlontar. “Kamu sendiri kenapa mau?” Katha balik bertanya. “Saya nggak bisa nolak waktu Kandara menunjukkan foto kamu. Kamu tahu, kamu sangat cantik,” puji Danu. Danu Sanjaya namanya. Lelaki yang katanya seorang pengacara itu adalah teman futsal sang kakak—Kandara. Katha sempat menolak calon dari kakaknya itu. Sayangnya, Agung Eka Syahputra tidak mau menerima penolakan yang kesekian dari dirinya. Katha akhirnya tak bisa berkutik kala Agung mengancam akan segera mempertemukannya dengan Rendra—calon yang sangat diinginkan sang papa. “Aman nggak?” tanya Katha saat Kandara menunjukkan foto Danu. “Yang penting tampang oke.” Jawaban Kandara dua hari lalu dibenarkan oleh mata Katha saat mel
Baca selengkapnya

2. Gara-Gara Perjodohan

Suasana ruang keluarga itu sedang tak bagus, seakan-akan hendak muncul badai di sana kurang dari sepuluh menit lagi. Dua wajah dari empat penghuninya jadi keruh, bak awan mendung yang kian pekat. “Aku pasti nikah, kok, nanti.” Katha kembali berargumen. Dia masih belum terima dikata-katai oleh papanya sendiri. “Kapan? Kerjaanmu bermain laki-laki saja, tak ada satu pun yang serius,” tukas Agung. “Pokoknya kamu harus ketemu sama Rendra.” Nama Rendra mungkin sudah diucapkan Agung lebih dari tiga puluh kali dalam waktu kurang dari satu jam. Katha bahkan sudah muak tiap kali nama itu keluar dari mulut sang papa. “Rendra lagi,” cibir Katha. “Kenapa memangnya? Toh, kamu tidak punya laki-laki lain yang bisa menggantikan Rendra,” ujar Agung. Kali ini dia tak mau lagi mengalah pada s
Baca selengkapnya

3. Orang Tua Rendra

Angin senja menerbangkan rambut hitam Felysia yang sepanjang bahu. Rabu yang melihat perempuan itu berulang-kali menyugar rambut ke belakang, akhirnya menyarankan untuk pindah duduk di lantai satu café. “Nggak usah. Aku suka di sini,” tolak Felysia. Perempuan itu menikmati semburat jingga yang baru muncul pada langit Jogja sore ini. “Oke,” jawab Rabu. Sebetulnya, sejak tadi Rabu menyesal mengiyakan ajakan Felysia untuk masuk ke café ini. Pertemuan dengan perempuan itu saja sudah membuatnya kehilangan keseimbangan dalam hati, apalagi berbicara dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh menit. Rabu pikir setelah perpisahan beberapa waktu silam, dia akan mudah menjauhi Felysia. Namun ternyata, dia terlalu percaya diri. Ini bukan kali pertama Rabu bertemu Felysia secara tidak sen
Baca selengkapnya

4. Kencan Buta: Sidarta Seiya

Katha pernah berada dalam situasi, di mana dia terjebak di antara dua lelaki. Pada waktu itu dia memang sedang didekati oleh keduanya. Lantas, ketika tanpa sengaja takdir membuat mereka bertiga berada di satu tempat dengan waktu yang sama, Katha tidak mengerti kenapa dua lelaki itu akhirnya adu mulut. Maka sebagai langkah penyelamatan, Katha diam-diam menghubungi nomor Rabu, lalu mematikan sambungannya. Tak sampai lima detik, Rabu balik menghubunginya. Dan begitu akhirnya dia bisa melarikan diri dengan berpura-pura ada situasi darurat yang mengharuskannya hengkang. Sejak saat itu, Katha meletakkan nomor Rabu pada panggilan darurat nomor satunya. Sebab, dia sering berada pada situasi-situasi serupa. Hari ini adalah salah satunya. Katha tersenyum kaku ke arah Rena kala dituntun untuk duduk kembali di sofa. Di kepalanya langsung muncul nama Rabu, s
Baca selengkapnya

5. Satu Kesempatan Lagi

“Kamu tadi kabur dari kencanmu?” tuduh Agung. Katha yang baru masuk ke ruang keluarga, langsung tersentak. Dia terkejut karena tiba-tiba disemprot pertanyaan seperti itu. “Apanya yang kabur?” tanya Katha ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Tadi papanya Seiya telfon Papa. Katanya kamu ninggalin Seiya yang lagi sakit di Dufan.” Katha memutar bola matanya malas. Kini nilai minus saja sudah tak bisa dia berikan pada Seiya. Lelaki itu rupanya anak manja yang suka mengadu. Lagi pula, apa tadi? Sakit? Huh, omong kosong! batinnya. “Dia itu gila, Pa,” jawab Katha. “Astaga Katha.” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ternyata tidak sadar kalau kamu itu yang gila.” Tiba-tiba suara tawa terdengar dari arah tangga. Katha menoleh dan menemukan Kandara yang baru turun dari lantai dua. Kakaknya itu berpakaian santai dengan rambut masih basah. “Ketawa seenaknya. Keringin dulu itu rambut. Bikin becek!” Katha mel
Baca selengkapnya

6. Kencan Buta: Rakha dan Sakha Atmaja

Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna. Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu. Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya. “Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha. Katha mengulas senyum tipis. D
Baca selengkapnya

7. Ide Gila

“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Baca selengkapnya

8. Ketahuan

Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Baca selengkapnya

9. Keputusan Rabu yang Tanpa Ragu

Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Baca selengkapnya

10. Papa Terima ....

Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
18
DMCA.com Protection Status