Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas.
Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya.
“Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda.
“Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya.
Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu
Beberapa penumpang yang baru naik, menarik koper atau tas mereka dengan susah payah di tengah gerbong yang ramai. Beberapa lainnya lagi, bergerak menuju pintu untuk turun. Beruntung kereta eksekutif punya kondisi yang nyaman, pendinginnya berfungsi dengan baik, hingga aroma-aroma keringat tak bertebaran seenaknya. “Kenapa lo ikut segala?” tanya Rabu pada Katha yang antusias melihat sekeliling. “Ha?” tanya Katha. Dia kini sudah menoleh ke arah Rabu yang menatapnya dengan raut serius. “Eh, ini karena jelang akhir pekan makanya ramai, ya?” Katha menunjuk orang-orang yang belum duduk di kursi mereka dan mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu. “Kenapa lo ikut gue, Tha?” ulang Rabu. Katha kini sepenuhnya menatap Rabu. Fokusnya sudah kembali, seiring dengan bunyi suara peluit yang ditiup petugas kereta api. “Mau ikut lo. Mau jenguk Ibu juga,” jawabnya. Rabu berdecak sambil mengurut pelipisnya. Tadi sewaktu mereka sampai di stasiun, tahu-tahu Katha tur
Rahayu menatap Katha sambil berkacang pinggang. Kepalanya terus digeleng-gelengkan, sementara Katha nyengir sembari sibuk menarik-narik jas yang dipakai putranya. “Itu kalau nggak ditutupin, Ibu goreng kamu,” ancam Rahayu. Dia menjatuhkan selang yang sudah mati airnya dan menunjuk rok Katha. “Bu, lepasin, ih!” bisik Katha sambil terus menarik lengan jas Rabu. Lelaki itu akhirnya mengalah dan merelakan jasnya dipakai Katha. “Udah ini, Bu. Udah,” ujar Katha usai mengikatkan jas Rabu mengelilingi pinggangnya. “Aku ikut Rabu mendadak, Bu. Dari kantor langsung naik kereta api.” Rahayu tiba-tiba saja terkekeh. “Eh, Nduk, Ibu masih suka aneh kalau ada yang manggil Rabu dengan panggilan Bu. Apalagi kalau kami ada di tempat yang sama.” “Aku juga, Bu,” timpal Rabu sembari melirik Katha. “Ya, gimana, dong? Mau diganti Guntur?” tawar Katha. “Beledek?” kekeh Rahayu. Katha langsung tertawa terbahak-bahak, lantas berlari menyongsong R
“Mau ngapain?” tanya Katha kala Rabu menitipkan air mineral padanya. “Ke toilet. Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” perintah Rabu. Katha mengangguk. Dia pun tak ingin ke mana-mana karena keadaan sekeliling sangat ramai. Saat ini Rabu dan Katha sedang berada di alun-alun Kota Batu. Mereka berangkat jam tujuh malam dengan balutan jaket tebal. Siang hingga sore tadi hujan mengguyur Malang, maka malam ini yang tersisa ialah hawa dingin, terlebih di Batu memang punya udara yang jauh lebih dingin. Kesendirian membuat Katha kembali menelusuri barisan para pedangang. Aroma berbagai macam jajanan membuat perutnya terasa lapar kembali. Padahal sebelum berangkat Rahayu sudah memaksa mereka makan malam. Katha tak tahu apa namanya, namun wilayan yang digunakan khusus untuk para pedagang ini cukup luas dan punya dua lantai. Dari lantai atas dia bisa mendengar suara live music yang mengalun. Ah, alun-alun ini banyak berubah, pikirnya.
Kunjungan singkat ke Malang itu berakhir. Katha dan Rabu pun sudah kembali terjun dalam kesibukan masing-masing. Namun, malam ini mereka janjian bertemu di Angkasa untuk membahas soal kontrak pernikahan yang sudah mereka sepakati di alun-alun Batu malam itu. Usai kerja, Katha menyempatkan pulang sebentar untuk berganti pakaian. Kali ini tak seperti biasanya, dia memilih memakai sweater dan celana jeans panjang, rambutnya pun dia ikat ekor kuda agar ringkas. “Tumben pakai baju kayak gitu,” celetuk Dewi. “Mau ke mana?” “Hehe, mau ke Angkasa,” jawab Katha sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Kamu ajak Kaia, ya?” pinta Dewi. Katha mengernyit. Dia hendak membahas sesuatu yang penting, jadi tidak mungkin rasanya membawa Kaia turut serta. “Memangnya Mama mau ke mana?” tanyanya kemudian. “Mama sama Papa ada undangan. Tempatnya lumayan jauh. Kasihan Kaia kalau diajak.” Helaan napas panjang keluar dari mulut
Agung mengangguk-anggukkan kepala sembari masih menatap Katha. Dia tahu bahwa keputusan putrinya itu berat, namun tak ada pilihan lain yang bisa dia berikan selain dua pilihan kala itu. Sekarang, Katha telah membuat keputusan, dan dia merasa bahwa keputusan itu merupakan yang paling tepat. Dia tidak ragu ataupun punya rasa khawatir lagi. “Jadi Rabu?” Kini suara Dewi yang terdengar. “Iya,” jawab Katha. “Kayaknya dia pilihan terbaik.” “Nggak nyesel?” tanya Dewi lagi. Menyesal jelas ada dalam benak Katha. Tetapi, dia sudah tidak bisa menarik lagi ucapannya. Walaupun menikah, dia dan Rabu tetaplah sahabat. Menikah hanyalah status yang tampak di muka orang-orang, berikut cincin yang nantinya tersemat. Akan tetapi bagi mereka sendiri, mereka adalah sepasang sahabat yang tidak bisa diganggu gugat sampai akhir hayat. Setidaknya itu yang diyakini oleh Katha. “Semoga enggak,” jawab perempuan berambut panjang itu sambil nyengir. “Ya, sudah. Mama
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya