Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa.
“Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan.
Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja.
“Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.”
Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu
Beberapa penumpang yang baru naik, menarik koper atau tas mereka dengan susah payah di tengah gerbong yang ramai. Beberapa lainnya lagi, bergerak menuju pintu untuk turun. Beruntung kereta eksekutif punya kondisi yang nyaman, pendinginnya berfungsi dengan baik, hingga aroma-aroma keringat tak bertebaran seenaknya. “Kenapa lo ikut segala?” tanya Rabu pada Katha yang antusias melihat sekeliling. “Ha?” tanya Katha. Dia kini sudah menoleh ke arah Rabu yang menatapnya dengan raut serius. “Eh, ini karena jelang akhir pekan makanya ramai, ya?” Katha menunjuk orang-orang yang belum duduk di kursi mereka dan mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu. “Kenapa lo ikut gue, Tha?” ulang Rabu. Katha kini sepenuhnya menatap Rabu. Fokusnya sudah kembali, seiring dengan bunyi suara peluit yang ditiup petugas kereta api. “Mau ikut lo. Mau jenguk Ibu juga,” jawabnya. Rabu berdecak sambil mengurut pelipisnya. Tadi sewaktu mereka sampai di stasiun, tahu-tahu Katha tur
Rahayu menatap Katha sambil berkacang pinggang. Kepalanya terus digeleng-gelengkan, sementara Katha nyengir sembari sibuk menarik-narik jas yang dipakai putranya. “Itu kalau nggak ditutupin, Ibu goreng kamu,” ancam Rahayu. Dia menjatuhkan selang yang sudah mati airnya dan menunjuk rok Katha. “Bu, lepasin, ih!” bisik Katha sambil terus menarik lengan jas Rabu. Lelaki itu akhirnya mengalah dan merelakan jasnya dipakai Katha. “Udah ini, Bu. Udah,” ujar Katha usai mengikatkan jas Rabu mengelilingi pinggangnya. “Aku ikut Rabu mendadak, Bu. Dari kantor langsung naik kereta api.” Rahayu tiba-tiba saja terkekeh. “Eh, Nduk, Ibu masih suka aneh kalau ada yang manggil Rabu dengan panggilan Bu. Apalagi kalau kami ada di tempat yang sama.” “Aku juga, Bu,” timpal Rabu sembari melirik Katha. “Ya, gimana, dong? Mau diganti Guntur?” tawar Katha. “Beledek?” kekeh Rahayu. Katha langsung tertawa terbahak-bahak, lantas berlari menyongsong R
“Mau ngapain?” tanya Katha kala Rabu menitipkan air mineral padanya. “Ke toilet. Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” perintah Rabu. Katha mengangguk. Dia pun tak ingin ke mana-mana karena keadaan sekeliling sangat ramai. Saat ini Rabu dan Katha sedang berada di alun-alun Kota Batu. Mereka berangkat jam tujuh malam dengan balutan jaket tebal. Siang hingga sore tadi hujan mengguyur Malang, maka malam ini yang tersisa ialah hawa dingin, terlebih di Batu memang punya udara yang jauh lebih dingin. Kesendirian membuat Katha kembali menelusuri barisan para pedangang. Aroma berbagai macam jajanan membuat perutnya terasa lapar kembali. Padahal sebelum berangkat Rahayu sudah memaksa mereka makan malam. Katha tak tahu apa namanya, namun wilayan yang digunakan khusus untuk para pedagang ini cukup luas dan punya dua lantai. Dari lantai atas dia bisa mendengar suara live music yang mengalun. Ah, alun-alun ini banyak berubah, pikirnya.
Kunjungan singkat ke Malang itu berakhir. Katha dan Rabu pun sudah kembali terjun dalam kesibukan masing-masing. Namun, malam ini mereka janjian bertemu di Angkasa untuk membahas soal kontrak pernikahan yang sudah mereka sepakati di alun-alun Batu malam itu. Usai kerja, Katha menyempatkan pulang sebentar untuk berganti pakaian. Kali ini tak seperti biasanya, dia memilih memakai sweater dan celana jeans panjang, rambutnya pun dia ikat ekor kuda agar ringkas. “Tumben pakai baju kayak gitu,” celetuk Dewi. “Mau ke mana?” “Hehe, mau ke Angkasa,” jawab Katha sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Kamu ajak Kaia, ya?” pinta Dewi. Katha mengernyit. Dia hendak membahas sesuatu yang penting, jadi tidak mungkin rasanya membawa Kaia turut serta. “Memangnya Mama mau ke mana?” tanyanya kemudian. “Mama sama Papa ada undangan. Tempatnya lumayan jauh. Kasihan Kaia kalau diajak.” Helaan napas panjang keluar dari mulut
Agung mengangguk-anggukkan kepala sembari masih menatap Katha. Dia tahu bahwa keputusan putrinya itu berat, namun tak ada pilihan lain yang bisa dia berikan selain dua pilihan kala itu. Sekarang, Katha telah membuat keputusan, dan dia merasa bahwa keputusan itu merupakan yang paling tepat. Dia tidak ragu ataupun punya rasa khawatir lagi. “Jadi Rabu?” Kini suara Dewi yang terdengar. “Iya,” jawab Katha. “Kayaknya dia pilihan terbaik.” “Nggak nyesel?” tanya Dewi lagi. Menyesal jelas ada dalam benak Katha. Tetapi, dia sudah tidak bisa menarik lagi ucapannya. Walaupun menikah, dia dan Rabu tetaplah sahabat. Menikah hanyalah status yang tampak di muka orang-orang, berikut cincin yang nantinya tersemat. Akan tetapi bagi mereka sendiri, mereka adalah sepasang sahabat yang tidak bisa diganggu gugat sampai akhir hayat. Setidaknya itu yang diyakini oleh Katha. “Semoga enggak,” jawab perempuan berambut panjang itu sambil nyengir. “Ya, sudah. Mama
“Kenapa lo itu rajin masak, tapi males banget buat isi dispenser, ha?” omel Katha sambil menuang bubuk matcha ke dalam cangkir. Langit menirukan kata-kata Katha tanpa suara sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi susu hangatnya yang tinggal seperempat. “Padahal tinggal minta anak-anak apa susahnya, sih!” omel Katha lagi, sambil menuangkan air dari teko listrik. Seketika aroma matcha menguar di dalam ruang kerja Langit itu. “Lagian udah ada teko listrik itu, Tha. Atau kalau lo males masak air, bisa tuh minta ke dapur,” sahut Langit sambil memejamkan mata setelah dia letakkan gelasnya di atas meja. Lalu, dia rasakan sofa di sebelahnya bergerak. “Terserah lo, deh.” Katha meletakkan cangkirnya di sebelah gelas Langit, lalu ikut menyandarkan badan ke sofa. “Eh, Tha.” Tahu-tahu Langit sudah membuka matanya lagi. Dia duduk tegak dan memfokuskan perhatiannya pada Katha yang terlihat bersantai. “Apa?” “Lo masih berhubungan sama Atmaja
“Kamu biasa ikut gala premier gini?” tanya Sakha saat dia dan Katha keluar dari gedung bioskop yang disewa untuk acara gala premier film ‘Tidak Mau Cinta Lagi’. Katha menggelengkan kepala. “Jarang banget. Kamu sendiri? Kayaknya hanya karena salah satu aktrismu main sebuah film, nggak akan buat kamu mau susah payah datang ke acara seperti itu,” tebaknya. Sakha membenarkan tebakan Katha. Dia memang jarang datang ke acara-acara seperti ini. Biasanya dia hanya datang untuk rapat-rapat penting dengan stasiun televisi atau lainnya. “Tadi iseng datang, eh, ternyata bisa ketemu kamu,” ujarnya sambil mengusap lengannya. Malam ini dia hanya mengenakan kemeja lengan pendek, hingga angin dengan mudah bertiup langsung di kulitnya. Katha yang melihat itu, lantas melebarkan jaket yang sedari tadi hanya dia sampirkan di lengan. “Kamu kedinginan? Mau pinjam jaketku?” tawar Katha. Sakha langsung tertawa dan menunjuk jaket kuning Katha. “Kamu suruh aku pakai itu? Yang b