“Kenapa lo itu rajin masak, tapi males banget buat isi dispenser, ha?” omel Katha sambil menuang bubuk matcha ke dalam cangkir.
Langit menirukan kata-kata Katha tanpa suara sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi susu hangatnya yang tinggal seperempat.
“Padahal tinggal minta anak-anak apa susahnya, sih!” omel Katha lagi, sambil menuangkan air dari teko listrik. Seketika aroma matcha menguar di dalam ruang kerja Langit itu.
“Lagian udah ada teko listrik itu, Tha. Atau kalau lo males masak air, bisa tuh minta ke dapur,” sahut Langit sambil memejamkan mata setelah dia letakkan gelasnya di atas meja. Lalu, dia rasakan sofa di sebelahnya bergerak.
“Terserah lo, deh.” Katha meletakkan cangkirnya di sebelah gelas Langit, lalu ikut menyandarkan badan ke sofa.
“Eh, Tha.” Tahu-tahu Langit sudah membuka matanya lagi. Dia duduk tegak dan memfokuskan perhatiannya pada Katha yang terlihat bersantai.
“Apa?”
“Lo masih berhubungan sama Atmaja
“Kamu biasa ikut gala premier gini?” tanya Sakha saat dia dan Katha keluar dari gedung bioskop yang disewa untuk acara gala premier film ‘Tidak Mau Cinta Lagi’. Katha menggelengkan kepala. “Jarang banget. Kamu sendiri? Kayaknya hanya karena salah satu aktrismu main sebuah film, nggak akan buat kamu mau susah payah datang ke acara seperti itu,” tebaknya. Sakha membenarkan tebakan Katha. Dia memang jarang datang ke acara-acara seperti ini. Biasanya dia hanya datang untuk rapat-rapat penting dengan stasiun televisi atau lainnya. “Tadi iseng datang, eh, ternyata bisa ketemu kamu,” ujarnya sambil mengusap lengannya. Malam ini dia hanya mengenakan kemeja lengan pendek, hingga angin dengan mudah bertiup langsung di kulitnya. Katha yang melihat itu, lantas melebarkan jaket yang sedari tadi hanya dia sampirkan di lengan. “Kamu kedinginan? Mau pinjam jaketku?” tawar Katha. Sakha langsung tertawa dan menunjuk jaket kuning Katha. “Kamu suruh aku pakai itu? Yang b
Tiba-tiba saja sepulang kerja Katha dihampiri oleh Kaia yang menangis. Bocah itu memaksa tantenya untuk menuntaskan janji yang sudah dibuatnya sejak lama, namun belum terealisasikan. Karenanya, tanpa mengganti pakaian, Katha langsung membawa Kaia ke salah satu toko milik Rabu setelah memesan taksi online.“Segini aja, ya,” ujar Katha sembari menunjuk dua bungkus keripik pisang cokelat di tangannya.Kaia menggeleng. “Masa cuma beli dua?” protesnya.Pegawai yang kebetulan kenal dengan Katha tertawa mendengar ucapan Kaia. “Lagian Mbak Katha masa cuma ambil dua. Tambah, Mbak, nggak usah bayar. Nggak dibolehin juga sama Pak Rabu nerima uang dari Mbak Katha.”“Mau-maunya kamu disuruh Rabu,” canda Katha. “Lagian dia nggak tahu kalau aku ke sini.”“Kan menjalankan amanah, Mbak.” Pegawai perempuan itu menaik-turunkan alisnya.Katha tertawa, lalu kembali fokus pada keponakan
“Tha, kamu janjian sama Rabu?” tanya Dewi. Dia menggoyang-goyangkan kaki Katha agar anak perempuannya itu segera bangun.Katha menggeliat sebentar, sebelum akhirnya mengabaikan lagi pertanyaan mamanya dan melanjutkan tidur yang sejak dua menit lalu terganggu.“Tha!” panggil Dewi lagi. Kali ini dia membuka selimut Katha dengan paksa.“Apa, sih, Ma!” erang Katha kesal. Dia berusaha menarik kembali selimut itu. Udara pagi yang berembus dari jendela yang dibuka, membuat rambut-rambut kulitnya berdiri.“Kamu ada janjian sama Rabu, kan?” tanya Dewi lagi.Katha menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak ada. Males juga ketemu Rabu,” sahutnya masih dengan mata terpejam. Dia akhirnya mengabaikan selimut yang sedari tadi ditarik oleh mamanya dan tidur dengan posisi meringkuk.“Rabu di bawah, tuh,” ujar Dewi.Perempuan yang kini kian meringkuk itu berdecak. Dia jadi tahu alasan gaw
“Makanya pakai baju yang bener!” omel Rabu. Dia sudah melepaskan hoodie yang seharian dipakainya, hingga menyisakan kaus oblong warna putih polos. “Salah kursinya, tuh! Mana gue tau di sana ada paku yang mencuat,” balas Katha. Dia tidak terima karena Rabu sejak tadi mengomel karena celananya robek di bagian pantat. “Haih!” Dia melempar hoodie yang diberikan Rabu dan melepas cardigannya sendiri. “Heh! Heh! Kenapa itu dilepas?” Rabu memelototkan matanya. “Buat nutupin ini, lah,” jawab Katha sambil menunjuk pantatnya yang terduduk di ujung kursi. Kejadian celana robek ini terjadi karena keterkejutan Katha atas pertanyaan Rabu mengenai lamaran. Dia dengan gegabah langsung berdiri dan hendak memukul punggung Rabu. Sayangnya, keberuntungan adalah milik Rabu. Tanpa Katha tahu, ternyata ada paku yang sedikit mencuat di bagian tengah kursi. Sebetulnya paku itu tidak akan menyebabkan masalah apa pun kalau Katha mengangkat pantatnya kala hendak berdiri. Namun, k
Katha datang ke Angkasa dengan wajah kuyu. Dia menghampiri Langit yang kebetulan baru saja menemui salah satu pelanggan. “Ada Shae, tuh,” ujar Langit kala mendapati Katha sudah ada di sampingnya. “Mana?” “Di ruangan gue. Lagi makan,” jawab Langit. Lalu, lelaki itu mengerutkan dahi saat melihat bahwa Katha tidak bersemangat seperti biasanya. “Kenapa lo? Bertengkar sama Rabu?” Katha mengangguk begitu saja. Dia sudah memprediksi kalau Rabu akan marah bila tahu kejadian pertemuannya dengan Felysia yang isinya tentu tak berakhir baik. Hanya saja dia tidak tahu kalau Rabu akan semarah itu. Sialnya, Katha tidak tahu siapa yang memberitahu Rabu perihal pertemuan itu, apalagi obrolan dia dan Felysia. Dia belum bercerita pada siapa pun perihal kejadian itu, dan orang yang tau hanyalah Sakha dan Felysia sendiri. Rasa-rasanya tidak mungkin saja bila Sakha yang membocorkannya. Satu-satunya kemungkinan adalah Rabu bertemu dengan Felysia, dan perempuan itu mencerita
Memasuki jam makan siang, kantin kantor Katha penuh. Namun, saat ini terlihat sesuatu yang berbeda, yaitu keresahan di wajah tim casting. Selain itu juga tampak wajah orang-orang yang sibuk membicarakan sesuatu sambil menggulir layar gawainya masing-masing.Katha sendiri kali ini memilih makan siang di kantor, karena tepat usai jam makan siang, ada pertemuan penting yang harus dia hadiri bersama Kandara. Jadilah dia terburu-buru memasuki kantin seorang diri, dan malah menemukan sesuatu yang tampak berbeda. Tidak asing sebetulnya, sebab beberapa kali dia menemukan kondisi yang sama. Bisanya keadaan seperti ini terjadi saat muncul berita-berita yang kurang mengenakkan.Usai memenuhi piringnya dengan nasi dan tumis jamur, Katha berjalan mendekati meja yang ditempati oleh tim casting. Ada beberapa orang yang duduk di sana dengan raut serius dan kesal.“Bu, makan siang di sini?” tegur seorang karyawan.Katha menganggukkan kepala d
“Tadi kita nggak jadi keluar karena lo katanya dapat panggilan penting. Besok lo nggak bisa juga?” tanya Rabu dari seberang telepon. Katha mengapit gawainya di antara telinga dan bahu, sebab kedua tangannya sibuk menata pakaian di dalam lemari. Tadi dia terlalu keras menarik pakaian ganti, akibatnya baju-baju lainnya jadi berjatuhan di lantai. Perkara batalnya obrolan Katha dan Rabu di lobi Athandara tadi, itu dikarenakan datanganya kabar dari tim casting. Maharani yang menghubunginya. Perempuan itu mengatakan kalau Surya setuju jika mereka melewatkan casting ulang, dan mengiyakan kalau Jemima dipilih sebagai pemeran utama tanpa casting. Sayangnya, timbul masalah baru. Ketika mereka mencoba mengontak agensi Jemima dan meminta perempuan itu untuk jadi pemeran utama di project film terbaru Athandara, tanpa ragu aktris cantik itu menolak. Makanya mereka seperti kehilangan harapan dan segera menghubungi Katha. “Ya, gimana, Bu. Ini hal y
“Aku harus antar kamu pulang,” ujar Sakha ketika dia dan Katha keluar dari UGD klinik. Tadi sempat terjadi kecelakaan kecil. Motor yang memotong jalan di depan mobil Sakha tidak mengalami apa pun, sebab dengan cepat Sakha menginjak rem. Akan tetapi, hal itu malah berdampak pada Katha yang tangannya sedang terulur meraih tisu. Maka saat rem diinjak, tangan perempuan itu reflek mencengkram dasbor. Tekanan akhirnya membuat pergelangan tangan Katha terkilir. Kabar baiknya, seperti sebuah takdir, ada klinik kecil yang tak jauh dari tempat kejadian. Sakha langsung bergegas membawa Katha ke sana, meski perempuan itu terus mengatakan kalau dia baik-baik saja. “Kita lanjut keluar aja, Kha. Ayo makan!” ajak Katha bersemangat. Kejadian tadi tak punya dampak apa pun untuknya. Sakha berdecak. Dia bertolak pinggang sambil menatap Katha dengan dua ujung alis nyaris menyatu. “Kondisi kamu nggak oke, Tha.” Katha menyentuh pergelangan tangan kanannya yang