Tiba-tiba saja sepulang kerja Katha dihampiri oleh Kaia yang menangis. Bocah itu memaksa tantenya untuk menuntaskan janji yang sudah dibuatnya sejak lama, namun belum terealisasikan. Karenanya, tanpa mengganti pakaian, Katha langsung membawa Kaia ke salah satu toko milik Rabu setelah memesan taksi online.
“Segini aja, ya,” ujar Katha sembari menunjuk dua bungkus keripik pisang cokelat di tangannya.
Kaia menggeleng. “Masa cuma beli dua?” protesnya.
Pegawai yang kebetulan kenal dengan Katha tertawa mendengar ucapan Kaia. “Lagian Mbak Katha masa cuma ambil dua. Tambah, Mbak, nggak usah bayar. Nggak dibolehin juga sama Pak Rabu nerima uang dari Mbak Katha.”
“Mau-maunya kamu disuruh Rabu,” canda Katha. “Lagian dia nggak tahu kalau aku ke sini.”
“Kan menjalankan amanah, Mbak.” Pegawai perempuan itu menaik-turunkan alisnya.
Katha tertawa, lalu kembali fokus pada keponakan
“Tha, kamu janjian sama Rabu?” tanya Dewi. Dia menggoyang-goyangkan kaki Katha agar anak perempuannya itu segera bangun.Katha menggeliat sebentar, sebelum akhirnya mengabaikan lagi pertanyaan mamanya dan melanjutkan tidur yang sejak dua menit lalu terganggu.“Tha!” panggil Dewi lagi. Kali ini dia membuka selimut Katha dengan paksa.“Apa, sih, Ma!” erang Katha kesal. Dia berusaha menarik kembali selimut itu. Udara pagi yang berembus dari jendela yang dibuka, membuat rambut-rambut kulitnya berdiri.“Kamu ada janjian sama Rabu, kan?” tanya Dewi lagi.Katha menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak ada. Males juga ketemu Rabu,” sahutnya masih dengan mata terpejam. Dia akhirnya mengabaikan selimut yang sedari tadi ditarik oleh mamanya dan tidur dengan posisi meringkuk.“Rabu di bawah, tuh,” ujar Dewi.Perempuan yang kini kian meringkuk itu berdecak. Dia jadi tahu alasan gaw
“Makanya pakai baju yang bener!” omel Rabu. Dia sudah melepaskan hoodie yang seharian dipakainya, hingga menyisakan kaus oblong warna putih polos. “Salah kursinya, tuh! Mana gue tau di sana ada paku yang mencuat,” balas Katha. Dia tidak terima karena Rabu sejak tadi mengomel karena celananya robek di bagian pantat. “Haih!” Dia melempar hoodie yang diberikan Rabu dan melepas cardigannya sendiri. “Heh! Heh! Kenapa itu dilepas?” Rabu memelototkan matanya. “Buat nutupin ini, lah,” jawab Katha sambil menunjuk pantatnya yang terduduk di ujung kursi. Kejadian celana robek ini terjadi karena keterkejutan Katha atas pertanyaan Rabu mengenai lamaran. Dia dengan gegabah langsung berdiri dan hendak memukul punggung Rabu. Sayangnya, keberuntungan adalah milik Rabu. Tanpa Katha tahu, ternyata ada paku yang sedikit mencuat di bagian tengah kursi. Sebetulnya paku itu tidak akan menyebabkan masalah apa pun kalau Katha mengangkat pantatnya kala hendak berdiri. Namun, k
Katha datang ke Angkasa dengan wajah kuyu. Dia menghampiri Langit yang kebetulan baru saja menemui salah satu pelanggan. “Ada Shae, tuh,” ujar Langit kala mendapati Katha sudah ada di sampingnya. “Mana?” “Di ruangan gue. Lagi makan,” jawab Langit. Lalu, lelaki itu mengerutkan dahi saat melihat bahwa Katha tidak bersemangat seperti biasanya. “Kenapa lo? Bertengkar sama Rabu?” Katha mengangguk begitu saja. Dia sudah memprediksi kalau Rabu akan marah bila tahu kejadian pertemuannya dengan Felysia yang isinya tentu tak berakhir baik. Hanya saja dia tidak tahu kalau Rabu akan semarah itu. Sialnya, Katha tidak tahu siapa yang memberitahu Rabu perihal pertemuan itu, apalagi obrolan dia dan Felysia. Dia belum bercerita pada siapa pun perihal kejadian itu, dan orang yang tau hanyalah Sakha dan Felysia sendiri. Rasa-rasanya tidak mungkin saja bila Sakha yang membocorkannya. Satu-satunya kemungkinan adalah Rabu bertemu dengan Felysia, dan perempuan itu mencerita
Memasuki jam makan siang, kantin kantor Katha penuh. Namun, saat ini terlihat sesuatu yang berbeda, yaitu keresahan di wajah tim casting. Selain itu juga tampak wajah orang-orang yang sibuk membicarakan sesuatu sambil menggulir layar gawainya masing-masing.Katha sendiri kali ini memilih makan siang di kantor, karena tepat usai jam makan siang, ada pertemuan penting yang harus dia hadiri bersama Kandara. Jadilah dia terburu-buru memasuki kantin seorang diri, dan malah menemukan sesuatu yang tampak berbeda. Tidak asing sebetulnya, sebab beberapa kali dia menemukan kondisi yang sama. Bisanya keadaan seperti ini terjadi saat muncul berita-berita yang kurang mengenakkan.Usai memenuhi piringnya dengan nasi dan tumis jamur, Katha berjalan mendekati meja yang ditempati oleh tim casting. Ada beberapa orang yang duduk di sana dengan raut serius dan kesal.“Bu, makan siang di sini?” tegur seorang karyawan.Katha menganggukkan kepala d
“Tadi kita nggak jadi keluar karena lo katanya dapat panggilan penting. Besok lo nggak bisa juga?” tanya Rabu dari seberang telepon. Katha mengapit gawainya di antara telinga dan bahu, sebab kedua tangannya sibuk menata pakaian di dalam lemari. Tadi dia terlalu keras menarik pakaian ganti, akibatnya baju-baju lainnya jadi berjatuhan di lantai. Perkara batalnya obrolan Katha dan Rabu di lobi Athandara tadi, itu dikarenakan datanganya kabar dari tim casting. Maharani yang menghubunginya. Perempuan itu mengatakan kalau Surya setuju jika mereka melewatkan casting ulang, dan mengiyakan kalau Jemima dipilih sebagai pemeran utama tanpa casting. Sayangnya, timbul masalah baru. Ketika mereka mencoba mengontak agensi Jemima dan meminta perempuan itu untuk jadi pemeran utama di project film terbaru Athandara, tanpa ragu aktris cantik itu menolak. Makanya mereka seperti kehilangan harapan dan segera menghubungi Katha. “Ya, gimana, Bu. Ini hal y
“Aku harus antar kamu pulang,” ujar Sakha ketika dia dan Katha keluar dari UGD klinik. Tadi sempat terjadi kecelakaan kecil. Motor yang memotong jalan di depan mobil Sakha tidak mengalami apa pun, sebab dengan cepat Sakha menginjak rem. Akan tetapi, hal itu malah berdampak pada Katha yang tangannya sedang terulur meraih tisu. Maka saat rem diinjak, tangan perempuan itu reflek mencengkram dasbor. Tekanan akhirnya membuat pergelangan tangan Katha terkilir. Kabar baiknya, seperti sebuah takdir, ada klinik kecil yang tak jauh dari tempat kejadian. Sakha langsung bergegas membawa Katha ke sana, meski perempuan itu terus mengatakan kalau dia baik-baik saja. “Kita lanjut keluar aja, Kha. Ayo makan!” ajak Katha bersemangat. Kejadian tadi tak punya dampak apa pun untuknya. Sakha berdecak. Dia bertolak pinggang sambil menatap Katha dengan dua ujung alis nyaris menyatu. “Kondisi kamu nggak oke, Tha.” Katha menyentuh pergelangan tangan kanannya yang
“Ayo cepet-cepet!” seru Katha sambil berlari kecil. Di belakangnya ada Sakha yang mengikuti sambil mempercepat langkah.“Belum jam sembilan ini,” ujar Sakha.“Tapi bentar lagi jam sembilan,” sahut Katha. Dia menarik Rabu memasuki toko pakaian anak-anak.Seorang pramuniaga menghampiri Katha dan Sakha. Dia menanyakan barang apa yang sekiranya perlu mereka dapatkan di toko itu.“Topi, ada di sebelah mana, ya?” tanya Katha sambil mengedarkan pandangan, mencoba menemukan sendiri bagian yang dia cari.“Oh, ada di sebelah sini, Kak.” Pramuniaga itu kemudian menunjukkan arah di mana Katha bisa mendapatkan topi.Sakha sendiri tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mengikuti Katha, karena memang tadi mereka sepakat bahwa kado itu akan dipilih atas saran Katha. Dia bilang, dia tak ingin berpusing-pusing kepala memikirkan apa yang harus dibeli. Hal itu pula yang membuat masalah kado itu jadi bahan
“Kenapa? Masih kesel?” tanya Katha sambil membuka kotak makanan berisi satu porsi sate ayam. “Uh … ini enak banget pasti.”Rabu melipat lengan di depan dada sambil berdiri di muka kulkas. Dia tak menanggapi ucapan Katha itu dan hanya memperhatikan sahabatnya yang tampak tergiur dengan makanan yang katanya dibawakan untuknya.“Eh, gue ikut makan, ya?” Itu bukan permintaan, melainkan pernyataan. Sebab, tanpa menunggu jawaban Rabu, Katha sudah mengambil piring kosong dan melangkah menuju rice cooker. “Lo mau diambilin juga, nggak?” tanyanya ketika separuh piring sudah terisi.Pertanyaan Katha akhirnya menuai respon Rabu. Lelaki itu mengangkat kotak sate ayam yang dibawa Katha tadi, dan membawanya menuju ruang tengah. “Jadiin satu aja sama lo,” sahutnya kemudian.Katha mencibir, namun menurut. Dia isi lagi piringnya hingga penuh dengan nasi. Setelah itu, diambilnya dua pasang sendok-g
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya