“Kenapa? Masih kesel?” tanya Katha sambil membuka kotak makanan berisi satu porsi sate ayam. “Uh … ini enak banget pasti.”
Rabu melipat lengan di depan dada sambil berdiri di muka kulkas. Dia tak menanggapi ucapan Katha itu dan hanya memperhatikan sahabatnya yang tampak tergiur dengan makanan yang katanya dibawakan untuknya.
“Eh, gue ikut makan, ya?” Itu bukan permintaan, melainkan pernyataan. Sebab, tanpa menunggu jawaban Rabu, Katha sudah mengambil piring kosong dan melangkah menuju rice cooker. “Lo mau diambilin juga, nggak?” tanyanya ketika separuh piring sudah terisi.
Pertanyaan Katha akhirnya menuai respon Rabu. Lelaki itu mengangkat kotak sate ayam yang dibawa Katha tadi, dan membawanya menuju ruang tengah. “Jadiin satu aja sama lo,” sahutnya kemudian.
Katha mencibir, namun menurut. Dia isi lagi piringnya hingga penuh dengan nasi. Setelah itu, diambilnya dua pasang sendok-g
Katha tidak tahu apa yang dilakukan Rabu selama ini di belakangnya. Tiba-tiba segalanya berjalan begitu cepat dan lancar. Dia bahkan sampai tak memercayai dirinya sendiri kalau ternyata hari ini acara sederhana itu sudah dilewatinya.Ya, yang Katha maksud adalah acara lamaran yang tidak benar-benar pernah dibahasnya bersama Rabu. Dia hanya memberikan izin jika memang Rabu dan ibunya ingin melalui serangkaian acara sebelum acara pernikahan direncanakan dan dilaksanakan. Dia sendiri mulanya berpikir bahwa pernikahan yang tidak serius ini, tak perlu direncanakan dengan sungguh-sungguh, apalagi tampak khidmat. Namun, sebagai anak yang menipu, bagaimana bisa dia berlaku seenaknya? Beruntung, ada Rabu yang setidaknya bisa melakukan ini-itu untuknya.“Lo dapat informasi soal beginian dari mana?” tanya Katha. Dia menyentuh dekorasi yang dipasang di ruang tamunya.“Informasi ada di mana-mana, bisa petik kapan saja,” sahut Rabu. Malam ini, lelaki i
Rasa tidak nyaman tentu makin tidak nyaman jika dipelihara. Oleh karena itu, saat jam makan siang, Katha langsung mendatangi kantor Atj. Rungan Sakha menjadi tujuan utamanya. Beruntung, Sakha sedang berada di tempat dan nyaris pergi untuk makan siang.“Katha? Kok nggak kasih kabar?” tanya Sakha. Kening lelaki itu berkerut, meski tadi dia sudah mendapat pemberitahuan dari resepsionis bahwa Katha ingin bertemu dengannya.“Surprise?” Katha balik bertanya tak yakin. Tapi, dia mengulas senyum lebar seolah tak hal penting apa pun yang perlu dia bicarakan.Sakha akhirnya ikut tertawa. Dia kemudian mengajak Katha untuk makan siang bersama di restoran depan kantor, karena memang sudah waktunya makan siang.“Restoran depan tidak seenak Angkasa, tapi tetap bisa kita nikmati,” ujar Sakha saat keduanya keluar dari elevator.“Oke, tidak masalah. Lagi pula bentuknya terlihat meyakinkan,” sahut Katha sambil
“Jadi, ini acara makan malam apa?” tanya Katha. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di sebelahnya ada Rabu yang baru saja datang. “Acara penyambutan Bening,” jawab Langit. Bening yang namanya disebut langsung menoleh dan menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk membolak-balik udang bakar. “Wih, udah sepakat, nih, berarti?” tanya Katha “Seperti yang lo rasain?” Langit balik bertanya sambil menunjuk makanan-makanan di atas meja. “Akhirnya gue bisa istirahan sesekali.” Lelaki itu tertawa puas. Katha, Bening dan Rabu serempak tertawa melihat ekspresi Langit yang sedikit berlebihan. Sejak memulai usaha restoran, Langit sempat beberapa kali mempekerjakan juru masak. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka punya cita rasa masakan yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan rasanya terlalu jauh, hingga membuat pelanggan kadang bertanya-tanya. Sebab itu, tiga tahun terakhir, hanya Langit sendiri yang menangani masal
Suara mobil yang berlalu-lalang tidak merusak sedikit pun fokus Katha. Perempuan itu berjalan mantap ke arah mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan. Sosok yang jadi incarannya sedang menatap ban depan mobil yang ternyata bocor. “Sepertinya ada yang butuh bantuan,” ujar Katha. Tentu saja sapaanya yang mendadak itu membuat Rakha tersentak. Lelaki itu langsung mundur selangkah, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Ah, Katha. Sedang apa kamu di sini?” tanyanya. Katha tidak menjawab. Dia hanya memandangi ban mobil Rakha yang kehilangan isinya hingga terlihat menyedihkan. “Kena paku,” ucap Rakha tanpa ditanya. Lelaki itu kembali memandangi nasib ban mobilnya. “Mau saya bantu ganti ban?” tanya Katha. Dia hanya membual, sebab bertahun-tahun selama dia bisa mengendarai mobil, sampai malas-malasan mengemudikannya, dia tak pernah melakukan pekerjaan itu. “Tidak apa. Saya sudah panggil montir. Kebetulan juga tidak ada ban pengganti di be
Sekarang tanggal 31 Desember. Keadaan jalanan sangat ramai, begitu juga dengan tempat wisata, pusat perbelanjaan dan lain-lain. Semua tampak antusias menyambut dan merayakan tahun baru bersama keluarga dan teman-teman.Sayangnya berbeda dengan Katha. Kali ini dia memang akan merayakannya bersama keluarga, namun sedikit terlambat. Kedua orang tuanya dan juga Kaia sudah lebih dulu berangkat liburan ke Jogjakarta sejak tiga hari yang lalu. Sementara dia dan Kandara harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum libur sepenuhnya.Kali ini dia terpaksa berada di tengah keramaian, karena Rabu sejak pagi sudah memaksanya menemani lelaki itu ke pusat perbelanjaan. Sahabatnya itu mengaku kalau dia lupa membeli hadiah natal untuk karyawannya yang merayakan. Sebab itu, sebelum tahun baru berakhir, dia akan mengirimkan satu per satu hadiah itu ke rumah karyawannya yang sudah libur. Maka dari itu, satu-satunya orang yang bisa dia repotkan adalah Katha.“Pakai acara lup
Rabu tersenyum lebar melihat reaksi Katha. Dia sudah mempersiapkan kejutan yang ada di ruangan ini untuk Katha sejak kemarin malam. Dia pun sengaja menjadikan hadiah natal untuk para pegawai sebagai alasan untuk bisa mengajak Katha keluar. Ya, meski tanpa itu pun, Katha akan mau jika dia paksa.“Bu!” pekik Katha.Lelaki itu akhirya berjalan dengan mantap mendekati sahabatnya yang tampak sangat terkejut. Rasa malu yang sudah dia bayangkan sebelumnya hilang akibat reaksi Katha. Menyiapkan hal-hal seperti ini bukanlah kemampuan dirinya. Dia bahkan tak pernah membuat kejutan untuk ulang tahun sahabatnya itu sejak pertama kali mereka berteman sampai sekarang. Akan tetapi, kejutan di ruang tengah ini jadi sebuah hal baru yang membuatnya merasakan malu tiap kali menduga-duga reaksi Katha.“Katharina, gue mau ngelamar lo dengan cara yang benar,” ungkap Rabu. Meski tadi dia merasa rasa malunya sudah hilang, tetapi begitu mengeluarkan kata-kata sep
“Gue nggak nyangka kalian udah sejauh itu.” Langit melanjutkan godaannya pada Katha dan Rabu atas kejadian semalam. “Mulut lo, ya!” decak Katha. Sementara Rabu hanya diam saja. Dia kali ini bertugas sebagai tuan rumah yang baik dengan menyiapkan sarapan, padahal ada koki handal di rumahnya. “Kalau gue nggak datang kalian bakal ngapaian, ya?” Langit tak mengindahkan peringatan Katha. Sejak semalam hanya kantuk yang menghentikan ocehan mulutnya. Katha yang kesal akhirnya berdiri dari duduknya di meja makan. Dia menghampiri Langit yang kini tertawa-tawa sambil membuat perisai di depan mukanya dengan kedua lengan yang disilangkan. Tanpa ragu, Katha mengambil sendok bersih dari atas meja, lalu memukulkannya keras-keras di atas kepala Langit. “Woy! Tha! Sadar, Tha!” teriak Langit heboh. “Rasain lo!” Katha meneruskan pukulannya, meski terhalang lengan Langit. Dia bahkan kini sudah mengikut sertakan tangan kirinya untuk menarik kerah kaus lela
“Akhirnya liburan ini benar-benar disponsori Ibu Katharina!” pekik Langit. Dia yang tengah berbaring di sofa ruang tengah, meregangkan otot-ototnya.Katha sendiri duduk di sisi lain sambil melipat lengan di depan dada. Matanya mentap sinis ke arah Langit yang masih saja menyebalkan sejak datang pagi tadi. Di ruangan itu juga ada Rabu, Shae dan Bening. Ya, koki baru itu diajak oleh Langit, karena katanya Bening tidak punya rencana apa pun untuk liburan tahun baru. Beruntung rumah eyangnya punya banyak kamar di sekeliling rumah utama—karena memang dia punya banyak pegawai dan murid—sehingga teman-temannya tak perlu mencari penginapan. “Makasih, ya, Mbak, udah izinin aku ikut liburan ke sini,” ujar Bening yang duduk di seberang Katha.Katha langsung berdecak, lagi-lagi Bening memanggilnya Mbak. Namun, sebelum protesnya keluar, Rabu sudah lebih dulu menyikut lengannya.“Udah pantas dipanggil mbak-mbak juga, mas