“Gue nggak nyangka kalian udah sejauh itu.” Langit melanjutkan godaannya pada Katha dan Rabu atas kejadian semalam.
“Mulut lo, ya!” decak Katha.
Sementara Rabu hanya diam saja. Dia kali ini bertugas sebagai tuan rumah yang baik dengan menyiapkan sarapan, padahal ada koki handal di rumahnya.
“Kalau gue nggak datang kalian bakal ngapaian, ya?” Langit tak mengindahkan peringatan Katha. Sejak semalam hanya kantuk yang menghentikan ocehan mulutnya.
Katha yang kesal akhirnya berdiri dari duduknya di meja makan. Dia menghampiri Langit yang kini tertawa-tawa sambil membuat perisai di depan mukanya dengan kedua lengan yang disilangkan. Tanpa ragu, Katha mengambil sendok bersih dari atas meja, lalu memukulkannya keras-keras di atas kepala Langit.
“Woy! Tha! Sadar, Tha!” teriak Langit heboh.
“Rasain lo!” Katha meneruskan pukulannya, meski terhalang lengan Langit. Dia bahkan kini sudah mengikut sertakan tangan kirinya untuk menarik kerah kaus lela
“Akhirnya liburan ini benar-benar disponsori Ibu Katharina!” pekik Langit. Dia yang tengah berbaring di sofa ruang tengah, meregangkan otot-ototnya.Katha sendiri duduk di sisi lain sambil melipat lengan di depan dada. Matanya mentap sinis ke arah Langit yang masih saja menyebalkan sejak datang pagi tadi. Di ruangan itu juga ada Rabu, Shae dan Bening. Ya, koki baru itu diajak oleh Langit, karena katanya Bening tidak punya rencana apa pun untuk liburan tahun baru. Beruntung rumah eyangnya punya banyak kamar di sekeliling rumah utama—karena memang dia punya banyak pegawai dan murid—sehingga teman-temannya tak perlu mencari penginapan. “Makasih, ya, Mbak, udah izinin aku ikut liburan ke sini,” ujar Bening yang duduk di seberang Katha.Katha langsung berdecak, lagi-lagi Bening memanggilnya Mbak. Namun, sebelum protesnya keluar, Rabu sudah lebih dulu menyikut lengannya.“Udah pantas dipanggil mbak-mbak juga, mas
Sejak siang, sampai jam sembilan malam ini, Katha, Rabu, Shae, Langit dan Berlian pergi jalan-jalan. Mereka mengunjungi beberapa tempat, tapi tak menghabiskan banyak waktu di sana, karena Katha yang terlalu cerewet. Hal itu membuat Langit jadi uring-uringan. Dia pun memaksa Katha untuk mentraktirnya berbagai macam jajanan dan oleh-oleh. Hingga kali ini, Malioboro jadi tempat terakhir Katha menguras isi dompetnya untuk Langit. “Bangkrut, dah, gue,” keluh Katha sambil memasukkan dompet ke dalam tas. “Untung terakhir lo minta ke sini.” Bukannya berterima kasih, Langit masih saja menyuguhkan wajah masam pada Katha. Dia benar-benar tidak puas di liburan ini. Padahal dia sudah rela menutup Angkasa dan mengajak koki barunya selama beberapa hari, meski di masa liburan seperti ini penghasilannya bisa meningkat pesat. “Masih marah dia,” bisik Rabu pada Katha. “Gimana nggak marah? Kita cuma ngabisin tenaga di jalan!” gerutu Langit. Shae yang berdiri di s
Makan-makan sebagai perayaan tahun baru yang sedikit terlambat di rumah eyang cukup ramai. Semua sanak saudar berkumpul dan sibuk membakar berbagai bahan makanan yang disipakan. Pekerja eyang juga ikut berkumpul dan berpesta bersama. Mereka bahkan mengajak keluarga masing-masing, hingga semakin menyemarakkan malam ini. Api panggangan terus saja menyala. Arang berulang kali ditambahkan. Beberapa jenis makanan berkuah juga disediakan oleh Bening. Sebagai penyeimbang kalau kata eyang. Makan-makan kering hasil pembakaran secara terus-menerus tentu akan membosankan. Akan tetapi, makanan-makanan yang dibuat Bening rupanya membuat Kandara jadi risau. Dia sedari tadi duduk sambil memperhatikan gerak-gerik Bening yang sibuk menuangkan makanan ke dalam mangkuk dan juga memotong-motong bawang untuk campuran bumbu sate. Bermacam-macam dugaan muncul di kepala. Namun, dia tiada tahu bagaimana cara menyampaikannya pada Bening. Bagaimana cara menanyakannya tanpa terkesan aneh.
Hari ini Katha ikut pulang bersama Rabu, Langit, Shae dan Bening. Sedangkan keluarganya masih berada di rumah eyang untuk beberapa hari ke depan. Katha pun sebenarnya masih ingin berada di rumah eyang. Akan tetapi, dengan suasana hati Rabu yang buruk—yang juga karenanya—sejak kemarin, di jadi perlu menghindari pertanyaan-pertanyaan para saudara perihal pernikahannya dengan Rabu. Bertemu WO adalah alasan yang Katha berikan pada keluarga di Jogja. Sementara dia sengaja ikut Rabu agar bisa berbaikan dengan sahabatnya itu. Katha tak begitu tak berperasaan. Dia tahu kalau sudah salah. Rabu telah menjadikan dirinya sendiri sebagai perahu penyelamat untuk dirinya yang berada di atas kapal yang nyaris tenggelam. Rabu telah berkorban atas dasar persahabatan mereka yang dalam. Akan tetapi, semalam dia malah mengatakan hal seperti itu pada Rabu, seolah-olah tak menghargai pengorbanan sahabatnya itu. Katha melirik Rabu melalui spion depan. Dia kali ini duduk bertiga di kursi pen
Pagi tadi, Katha datang ke rumah Rabu. Dia membawa beberapa buah sebagai sogokan—ya, meski tahu cara seperti itu tidak selau berhasil. Dia dan Rabu sering bertengkar, tapi bisa kembali berbaikan tanpa usaha yang berarti. Mereka akan saling mencari. Namun, kali ini jadi sesuatu yang berbeda. Katha sampai kehabisan akal untuk kembali mendapatkan maaf Rabu. Tidak banyak yang berubah. Rabu kembali mendiamkan dan mengabaikannya. Padahal kemarin sewaktu di rumah makan, lelaki itu mau menanggapi ceritanya soal Rendra. Dia tak tahu apa penyebabnya, tapi berkelahi terlalu lama dengan Rabu sangat tidak cocok untuk dirinya. Jadilah Katha tadi berangkt ke kentor sendiri, menggunakan taksi. Rabu berangkat lebih dahulu menggunakan mobil, tanpa menawarkan tumpangan padanya. Kalau diingat, dia merasa cukup kesal juga, tapi dia ada di posisi terangka. Katha menghela napasnya lagi. Sekarang sudah jam makan siang, dan Katha tidak berniat makan di Angkasa. Dia hanya duduk sendir
Rabu baru saja menyirami tanaman di halaman belakang, saat terdengar suara ketukan dari pintu depan. Dia mengernyit dan merasa heran, sebab ada bel di sebelah gerbang. Namun, lelaki itu meletakkan gembor di atas rerumputan, lalu bergegas ke depan dan membuka pintu untuk tamu yang kepagian ini. Wajah tersenyum Katha langsung terpampang kala daun pintu ditarik ke dalam. Rabu menghela napas. Bisa-bisanya dia tak curiga kalau yang datang adalah Katha. Ya, memang dia tak patut curiga, karena sebelum berangkat ke Jogja, dia sempat memberikan kunci rumahnya pada perempuan itu. Beberapa hari yang lalu pun, Katha masuk seenaknya ke rumah sambil membawa buah-buahan untuk menyogok dirinya. “Aku mau masak loh, Bu,” ujar Katha cerita. Dia menggeser tubuh Rabu dan berjalan cepat menuju dapur sebelum diusir Rabu. Di tangannya ada satu tas belanjaan berukurang besar. Helai daun bawang tampak mencuat, menandakan bahwa tas itu benar-benar berisi bahan masakan. Rabu menut
Siang ini Katha dan Rabu menemui Wedding Organizer yang sudah mereka pilih dari beberapa yang direkomendasikan oleh mama Katha. Jadilah janji makan siang mereka sekalian dengan janji temu dengan pihak WO. Tentu saja tempat yang mereka pilih sebagai tempat pertemuan adalah Angkasa. Walaupun nanti resikonya rapat mereka terdengar oleh Langit yang rese.Pihak WO baru saja datang ketika Katha dan Rabu duduk di salah satu kursi di Angkasa. Sebuah kebetulan yang tepat, sebab tidak ada yang perlu saling menunggu. Seorang perempuan berambut cepak dengan pakaian suit berwarna merah muda berjalan di atas high heels hitam. Dari penampilannya yang tampak sangat berkelas itu, Katha jadi suka. Dia menyenggol Rabu, lantas membisikkan kalau orang seperti perempuan itu mungkin sangat bisa menggaet kepercayaan kliennya. Seperti biasa, Rabu hanya mengiyakan apa yang dikatakan Katha.“Selamat siang, Pak Rabu, Bu Katha,” sapa perempuan berambut cepak tadi. Mereka memang sudah p
Setelah perjanjian disepakati, Katha setiap pagi datang ke rumah Rabu. Dia melakukan tugasnya meski sesekali protes, karena harus bangun lebih pagi dan bersiap ke kantor dari rumah Rabu. Hal yang cukup merepotkan, tapi tak lebih repot dari Rabu sendiri.Sementara Rabu setiap harinya juga sibuk rapat dengan para vendor dan WO yang akan mengurus pernikahannya. Segalanya dia pilih tanpa pertimbangan bersama Katha lagi. Bahkan perempuan itu tak penah lagi menanyakan konsep atau makanan apa yang akan disediakan di pernikahan mereka. Cukup memudahkan, walaupun kadang kala Rabu sebetulnya butuh pendapat. Hal itu sesekali dia alihkan ke Langit. Beruntung laki-laki cerewet itu mau membantunya tanpa mengolok-olok.“Kamu mau ke rumah Rabu lagi?” tanya Agung. Lelaki paruh baya itu masuk ke dapur dengan baju olahraga.Katha yang sedang memasukkan beberapa sayuran ke dalam kantung plastik, langsung menoleh. Dia mengelus dada, karena mengira yang muncul adalah sang