Hari ini Katha ikut pulang bersama Rabu, Langit, Shae dan Bening. Sedangkan keluarganya masih berada di rumah eyang untuk beberapa hari ke depan. Katha pun sebenarnya masih ingin berada di rumah eyang. Akan tetapi, dengan suasana hati Rabu yang buruk—yang juga karenanya—sejak kemarin, di jadi perlu menghindari pertanyaan-pertanyaan para saudara perihal pernikahannya dengan Rabu. Bertemu WO adalah alasan yang Katha berikan pada keluarga di Jogja. Sementara dia sengaja ikut Rabu agar bisa berbaikan dengan sahabatnya itu.
Katha tak begitu tak berperasaan. Dia tahu kalau sudah salah. Rabu telah menjadikan dirinya sendiri sebagai perahu penyelamat untuk dirinya yang berada di atas kapal yang nyaris tenggelam. Rabu telah berkorban atas dasar persahabatan mereka yang dalam. Akan tetapi, semalam dia malah mengatakan hal seperti itu pada Rabu, seolah-olah tak menghargai pengorbanan sahabatnya itu.
Katha melirik Rabu melalui spion depan. Dia kali ini duduk bertiga di kursi pen
Pagi tadi, Katha datang ke rumah Rabu. Dia membawa beberapa buah sebagai sogokan—ya, meski tahu cara seperti itu tidak selau berhasil. Dia dan Rabu sering bertengkar, tapi bisa kembali berbaikan tanpa usaha yang berarti. Mereka akan saling mencari. Namun, kali ini jadi sesuatu yang berbeda. Katha sampai kehabisan akal untuk kembali mendapatkan maaf Rabu. Tidak banyak yang berubah. Rabu kembali mendiamkan dan mengabaikannya. Padahal kemarin sewaktu di rumah makan, lelaki itu mau menanggapi ceritanya soal Rendra. Dia tak tahu apa penyebabnya, tapi berkelahi terlalu lama dengan Rabu sangat tidak cocok untuk dirinya. Jadilah Katha tadi berangkt ke kentor sendiri, menggunakan taksi. Rabu berangkat lebih dahulu menggunakan mobil, tanpa menawarkan tumpangan padanya. Kalau diingat, dia merasa cukup kesal juga, tapi dia ada di posisi terangka. Katha menghela napasnya lagi. Sekarang sudah jam makan siang, dan Katha tidak berniat makan di Angkasa. Dia hanya duduk sendir
Rabu baru saja menyirami tanaman di halaman belakang, saat terdengar suara ketukan dari pintu depan. Dia mengernyit dan merasa heran, sebab ada bel di sebelah gerbang. Namun, lelaki itu meletakkan gembor di atas rerumputan, lalu bergegas ke depan dan membuka pintu untuk tamu yang kepagian ini. Wajah tersenyum Katha langsung terpampang kala daun pintu ditarik ke dalam. Rabu menghela napas. Bisa-bisanya dia tak curiga kalau yang datang adalah Katha. Ya, memang dia tak patut curiga, karena sebelum berangkat ke Jogja, dia sempat memberikan kunci rumahnya pada perempuan itu. Beberapa hari yang lalu pun, Katha masuk seenaknya ke rumah sambil membawa buah-buahan untuk menyogok dirinya. “Aku mau masak loh, Bu,” ujar Katha cerita. Dia menggeser tubuh Rabu dan berjalan cepat menuju dapur sebelum diusir Rabu. Di tangannya ada satu tas belanjaan berukurang besar. Helai daun bawang tampak mencuat, menandakan bahwa tas itu benar-benar berisi bahan masakan. Rabu menut
Siang ini Katha dan Rabu menemui Wedding Organizer yang sudah mereka pilih dari beberapa yang direkomendasikan oleh mama Katha. Jadilah janji makan siang mereka sekalian dengan janji temu dengan pihak WO. Tentu saja tempat yang mereka pilih sebagai tempat pertemuan adalah Angkasa. Walaupun nanti resikonya rapat mereka terdengar oleh Langit yang rese.Pihak WO baru saja datang ketika Katha dan Rabu duduk di salah satu kursi di Angkasa. Sebuah kebetulan yang tepat, sebab tidak ada yang perlu saling menunggu. Seorang perempuan berambut cepak dengan pakaian suit berwarna merah muda berjalan di atas high heels hitam. Dari penampilannya yang tampak sangat berkelas itu, Katha jadi suka. Dia menyenggol Rabu, lantas membisikkan kalau orang seperti perempuan itu mungkin sangat bisa menggaet kepercayaan kliennya. Seperti biasa, Rabu hanya mengiyakan apa yang dikatakan Katha.“Selamat siang, Pak Rabu, Bu Katha,” sapa perempuan berambut cepak tadi. Mereka memang sudah p
Setelah perjanjian disepakati, Katha setiap pagi datang ke rumah Rabu. Dia melakukan tugasnya meski sesekali protes, karena harus bangun lebih pagi dan bersiap ke kantor dari rumah Rabu. Hal yang cukup merepotkan, tapi tak lebih repot dari Rabu sendiri.Sementara Rabu setiap harinya juga sibuk rapat dengan para vendor dan WO yang akan mengurus pernikahannya. Segalanya dia pilih tanpa pertimbangan bersama Katha lagi. Bahkan perempuan itu tak penah lagi menanyakan konsep atau makanan apa yang akan disediakan di pernikahan mereka. Cukup memudahkan, walaupun kadang kala Rabu sebetulnya butuh pendapat. Hal itu sesekali dia alihkan ke Langit. Beruntung laki-laki cerewet itu mau membantunya tanpa mengolok-olok.“Kamu mau ke rumah Rabu lagi?” tanya Agung. Lelaki paruh baya itu masuk ke dapur dengan baju olahraga.Katha yang sedang memasukkan beberapa sayuran ke dalam kantung plastik, langsung menoleh. Dia mengelus dada, karena mengira yang muncul adalah sang
Katha memukuli kepalanya sendiri setelah memasukkan beras ke dalam penanak nasi. Dia merutuki apa yang baru saja terjadi di antara dia dan Rabu. Itu adalah kesalahan yang cukup fatal. Harusnya dia tidak membalas ciuman Rabu. Harusnya Rabu tidak melakukan itu padanya. Ah, salah! Harusnya dia tidak tidur di tempat tidur sahabatnya itu pagi-pagi begini. “Argh!” Lagi-lagi Katha memekik tertahan. Dia mengacak-acak rambutnya kembali. Beruntung pagi ini dia memang belum mandi dan berniat mandi di rumah Rabu. Namun, kalau kondisinya begini, dia akan menadi di kamar mandi ruang kerja dibanding di kamar mandi Rabu. Lalu, gawai Katha berdering. Dia terlonjak, dan seketika ingat bahwa tas belanjaan dan miliknya sendiri tadi diletakkannya di depan kamar Rabu. Kalau sudah begini, bagaimana dia berani ke sana? Bagaimana kalau Rabu tiba-tiba keluar? Gawai it uterus berdering, sementara Katha mendengar suara air dari arah kamar Rabu. Sepertinya lelaki itu sedang mandi. Maka,
Curhat pada Sakha ternyata membuahkan empat tips yang sebetulnya masih tak bisa diyakini oleh Katha. Akan tetapi, dia tak punya pilihan lain, selain mencobanya. Sakha pun menyuruhnya untuk mencoba, karena siapa tahu tips itu berhasil saat diaplikasikan langsung pada Rabu. Maka seusai petang, Katha datang ke Angkasa. Dia tahu kalau kemungkinan besar Rabu akan ada di sana. Akan tetapi, memikirkan kemungkinan itu saja dia jadi tak bisa menahan panas di tubuhnya akibat rasa malu yang menggebu-gebu. Namun, dia harus mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Kalau terus-terusan, bisa jadi dia akan terus kepikiran dengan satu kesalahan bodoh itu. Seperti biasa, Angkasa ramai oleh para pelanggan yang baru pulang kerja. Mereka menyantap makanan mereka sambil saling bercengkrama. Wajah ceria setelah seharian bekerjan tampak di antara gurat-gurat lelah. Lantas, tiba-tiba Katha merasa seperti orang yang tersesat. Terlebih setelah dia benar-benar menemukan mobi
“Eh, itu bajumu, Tha!” “Ataga, si Katha make-upnya kena bajunya Kaia.” “Makanya Mama bilang jangan gendong-gendong Kaia!” “Tha, ini Ibu beliin makan. Bubur ayam aja biar kamu nggak kelaparan.” “Mbak, HP-nya aku bawain.” “Mbak, kamu beli bubur di mana? Katha kasih susu aja. Bajunya nggak muat.” “Ma, Ibu, biarin Katha sendiri dulu. Kasihan dia udah nggak bisa tidur di kamar sendiri nanti.” Yang terakhir, itu teriakan Kandara yang sangat memalukan. Kalau saja tamu undangan sudah datang, Katha yakin kalau kakaknya itu tak akan berani berulah atau mempermalukan diri sendiri. Beruntung ini masih jam enam pagi, meski dandanan Katha sudah berese sejak dua puluh menit yang lalu. “Kamu habis ini ya, Kan?” “Katha mbok, ya carikan masmu pasangan.” “Habisin makanannya. Kalau kurang nanti Ibu ambilin jus. Atau mau makan yang lain?” “Tha! Bude mau dong keripik pisang cokelatnya Rabu!” “Kai mau!
Katha turun dari mobil Shae dengan sedikit kesusahan akibat pakaiannya. Sedangkan Shae yang ada di balik kemudi menatap sahabatnya dengan perasaan separuh jengkel, sisanya was-was.“Lo tunggu di sini,” perintah Katha. Setelah itu, dia mengangkat rok span panjangnya agar bisa melangkah cepat.Shae menggeleng-gelengkan kepala. Dia menyilangkan lengan di atas kemudi, lalu menidurkan kepalanya di sana. Pasti sekarang rumah Katha sedang kacau balau. Mereka tadi pergi tanpa pamit. Dia bahkan meninggalkan gawainya di atas tempat tidur Katha. Begitu juga dengan gawai sahabatnya itu.“Mati, gue. Bisa-bisa dilahap Om Agung.” Shae menghela napas panjang.Sementara itu, Katha membuka pintu rumah Rabu yang tidak terkunci. Tadi, sewaktu dia dan Shae mengobrol di kamar, tiba-tiba Langit telepon. Lelaki itu mengabarkan kalau cincin pernikahan yang dibeli Rabu hilang. Dan sejak subuh tadi keduanya mencari, tapi belum juga ketemu.“Gima