Curhat pada Sakha ternyata membuahkan empat tips yang sebetulnya masih tak bisa diyakini oleh Katha. Akan tetapi, dia tak punya pilihan lain, selain mencobanya. Sakha pun menyuruhnya untuk mencoba, karena siapa tahu tips itu berhasil saat diaplikasikan langsung pada Rabu.
Maka seusai petang, Katha datang ke Angkasa. Dia tahu kalau kemungkinan besar Rabu akan ada di sana. Akan tetapi, memikirkan kemungkinan itu saja dia jadi tak bisa menahan panas di tubuhnya akibat rasa malu yang menggebu-gebu. Namun, dia harus mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Kalau terus-terusan, bisa jadi dia akan terus kepikiran dengan satu kesalahan bodoh itu.
Seperti biasa, Angkasa ramai oleh para pelanggan yang baru pulang kerja. Mereka menyantap makanan mereka sambil saling bercengkrama. Wajah ceria setelah seharian bekerjan tampak di antara gurat-gurat lelah.
Lantas, tiba-tiba Katha merasa seperti orang yang tersesat. Terlebih setelah dia benar-benar menemukan mobi
“Eh, itu bajumu, Tha!” “Ataga, si Katha make-upnya kena bajunya Kaia.” “Makanya Mama bilang jangan gendong-gendong Kaia!” “Tha, ini Ibu beliin makan. Bubur ayam aja biar kamu nggak kelaparan.” “Mbak, HP-nya aku bawain.” “Mbak, kamu beli bubur di mana? Katha kasih susu aja. Bajunya nggak muat.” “Ma, Ibu, biarin Katha sendiri dulu. Kasihan dia udah nggak bisa tidur di kamar sendiri nanti.” Yang terakhir, itu teriakan Kandara yang sangat memalukan. Kalau saja tamu undangan sudah datang, Katha yakin kalau kakaknya itu tak akan berani berulah atau mempermalukan diri sendiri. Beruntung ini masih jam enam pagi, meski dandanan Katha sudah berese sejak dua puluh menit yang lalu. “Kamu habis ini ya, Kan?” “Katha mbok, ya carikan masmu pasangan.” “Habisin makanannya. Kalau kurang nanti Ibu ambilin jus. Atau mau makan yang lain?” “Tha! Bude mau dong keripik pisang cokelatnya Rabu!” “Kai mau!
Katha turun dari mobil Shae dengan sedikit kesusahan akibat pakaiannya. Sedangkan Shae yang ada di balik kemudi menatap sahabatnya dengan perasaan separuh jengkel, sisanya was-was.“Lo tunggu di sini,” perintah Katha. Setelah itu, dia mengangkat rok span panjangnya agar bisa melangkah cepat.Shae menggeleng-gelengkan kepala. Dia menyilangkan lengan di atas kemudi, lalu menidurkan kepalanya di sana. Pasti sekarang rumah Katha sedang kacau balau. Mereka tadi pergi tanpa pamit. Dia bahkan meninggalkan gawainya di atas tempat tidur Katha. Begitu juga dengan gawai sahabatnya itu.“Mati, gue. Bisa-bisa dilahap Om Agung.” Shae menghela napas panjang.Sementara itu, Katha membuka pintu rumah Rabu yang tidak terkunci. Tadi, sewaktu dia dan Shae mengobrol di kamar, tiba-tiba Langit telepon. Lelaki itu mengabarkan kalau cincin pernikahan yang dibeli Rabu hilang. Dan sejak subuh tadi keduanya mencari, tapi belum juga ketemu.“Gima
Katha berbaring di tempat tidurnya karena kelelahan. Padahal ini baru akad saja. Resepsi masih akan berlangsung malam nanti. Selain itu, rupanya Rabu memang menyediakan banyak undangan untuk para relasi papanya. Dia sudah bisa membayangkan bagiamana sibuknya nanti malam. Sayup-sayup Katha mendengar suara orang berbicara dan langkah kaki di lorong lantai dua ini. Hal itu membuatnya tak bisa lekas tertidur, meski sudah menutup mata dan mencoba menghiraukan. Lantas, kemudian pintu terbuka. Rabu masuk ke kamar Katha tanpa canggung. Dia memang sudah beberapa kali juga masuk ke kamar ini untuk sekadar membangunkan atau memaksa perempuan pemalas itu agar mau olahraga di akhir pekan. “Tha? Tidur lo?” tanya Rabu. Katha berdeham dalam pejaman mataya. Dalam hari dia menyoraki Rabu yang sepertinya sudah tak marah padanya lagi. Kalau begini, dia jadi tak perlu canggung atau sungkan lagi melakukan hal apa pun di sekitar Rabu. Apalagi dalam masa seperti ini, dia dan
Rendra sudah meninggalkan gedung resepsi sejak dua puluh menit lalu, tapi Katha masih terkejut dengan informasi yang baru didengarnya. Dia seraca tak percaya, meski dulu sekali dia punya pikiran menuju ke sana. Pantas saja selama ini Shae bersikap aneh. Dia seperti punya masalah dan berusaha menutupinya dengan rapat, bahkan dari Katha yang dianggapnya sahabat. Satu hal lain yang membuat kesal Katha adalah perihal ketahuan Rabu soal permasalahan yang dialami Shae. “Kok, lo nggak bilang gue, sih? Kapan lo cari taunya?” bisik Katha setelah menyalami salah satu teman papanya. “Itu tetap saja masalah Shae. Kita tidak punya keterlibatan, sampai Shae mau membaginya dengan kita. Sementara itu, kita bantu dia dari belakang,” ujar Rabu, cukup tak menjawab pertanyaan Katha. “Trus kenapa lo bisa tau?” Katha benar-benar tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rasa-rasanya saat itu dia ingin naik ke kamar yang sudah disewanya untuk Shae dan memeluk perempuan itu erat-erat, b
Lagi-lagi pertengkaran muncul di antara Rabu dan Katha. Namun, tidak perlu khawatir karena ini seperti pertengkaran mereka sebelum-sebelumnya, tapi dalam status baru, yaitu suami-istri. Keduanya terkadang sama-sama keras kepala hingga cukup alot dalam membahas sesuatu, kecuali nanti Rabu mau mengalah.“Pokoknya kita nggak boleh sekamar!” tekan Katha. Dia mendudukkan diri di ujung tempat tidur, masih dengan gaun pernikahannya. Hiasan rambut pun masih terpasang seluruhnya, hingga pening mulai mendera.“Ya, pikir aja, Tha, kalau gue keluar sekarang dan booking kamar, semua orang bisa tau ntar. Apalagi semua pada nginep di sini!” sahut Rabu.Katha menunju udara berkali-kali dengan kesal. Tadi, sebelum masuk ke kamar ini, dia sudah lebih dahulu ke kamar Shae. Namun, dasar sahabatnya itu sepertinya sudah tidur karena tak menyahut saat dia panggil, dan telfon pun tak diangkat. Katha tidak bisa memaksa lagi, karena Rabu mengingatkannya p
Katha dan Rabu sedang dalam perjalanan menuju rumah Rabu. Mereka baru saja mengambil barang-barang dari rumah Katha. Selama itu pula, Rabu terus-terusan saja mengatakan pada Katha kalau dia akan membelikan rumah baru yang lebih besar untuk mereka tinggali berdua. Hal itu didasari oleh permintaan Agung sebelumnya. Dia meminta pasangan baru menikah itu untuk tinggal di rumahnya dengan alasan kalau ukurannya lebih besar.Namun, Katha sediri jadi kesal mendengar ucapan Rabu. Dia sampai berulang kali berdecak. “Papa nggak nyindir lo, Bu!”“Gue tau. Gue juga ingin beli rumah biar setidaknya selama lo tinggal sama gue, lo nggak ngerasa turun kasta,” jawab Rabu.“Sejak kapan lo mikirin kasta segala?”“Sejak ngelamar lo.” Rabu mengurangi kecepatan mobilnya ketika nyaris sampai di lampu merah yang menyala.Katha menggeleng-gelengkan kepala. Dia masih tidak paham kenapa Rabu sampai berpikir demikian, padahal mer
Keributan sepertinya enggah terpisah dari sosok Katha dan Rabu. Keduanya kini kembali bersitegang setelah usai membersihkan rumah dan makan malam hasil pesan lewat delivery ojol. Seperti bisanya, tidak ada yang mau mengalah dan sama-sama mencari celah untuk mempertahankan keinginannya.“Di sini aja kenapa, sih? Toh, udah sah,” ujar Rabu. Dia berdri di muka kamar dengan lengan terlipat di depan dada.Katha mendengkus. Dia memaju mundurkan satu koper dari banyak koper miliknya masih ada di ruang tamu. Semalam ini, dia baru ingat kalau mereka belum menyediakan kamar untuk Katha. Semua ruangan di rumah Rabu terpakai. Selain itu, satu-satunya ruangan yang memiliki ukuran paling besar adalah kamar lelaki itu.“Nggak bisa, Bu!” tolak Katha lagi. Yang jelas, untuk yang kesekian kali.“Kenapa, sih? Gue nggak mau, ya, ngalah trus di suruh tidur di situ.” Rabu menunjuk karpet di depan televisi. Mereka tadi sepaka
Katha sedang dihadapkan dengan beberapa dokumen saat Kandara keluar dari ruangannya. Lelaki itu tiba-tiba tertawa sambil menunjuk-nunjuk Katha yang sedamg serius bekerja. Maka, mau tak mau konsentrasi Katha terganggu. Dia melotot ke arah kakaknya itu."Apa? Mau ngolok-ngolokin gue apa lo?" semprot Katha.Kandara menggelengkan kepala, lalu tertawa. "Gimana? Semalam ngapain aja sama Rabu?" godanya.Pertanyaan Kandara membuat Katha mengingat kejadian semalam. Tentang bagaimana Rabu yang tiba-tiba meminta sebuah pelukan, tepat setelah dia menanyakan tentang Felycia. Entah kenapa hal itu membuatnya tak nyaman. Ya, meski semalam akhirnya dia tertidur saat memeluk Rabu, dan masih berpelukan juga hingga bangun. Tetapi, pagi ini dia bangun dengan memikirkan seberapa jauh perasaan Rabu tersisa untuk seorang Felycia, hingga menyinggung namanya saja, kini lelaki itu butuh sebuah pelukan."Heh! Mikirin apa lo?" tanya Kandara.Katha mengerjap. Lalu sadar kalau d
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya