Lagi-lagi pertengkaran muncul di antara Rabu dan Katha. Namun, tidak perlu khawatir karena ini seperti pertengkaran mereka sebelum-sebelumnya, tapi dalam status baru, yaitu suami-istri. Keduanya terkadang sama-sama keras kepala hingga cukup alot dalam membahas sesuatu, kecuali nanti Rabu mau mengalah.
“Pokoknya kita nggak boleh sekamar!” tekan Katha. Dia mendudukkan diri di ujung tempat tidur, masih dengan gaun pernikahannya. Hiasan rambut pun masih terpasang seluruhnya, hingga pening mulai mendera.
“Ya, pikir aja, Tha, kalau gue keluar sekarang dan booking kamar, semua orang bisa tau ntar. Apalagi semua pada nginep di sini!” sahut Rabu.
Katha menunju udara berkali-kali dengan kesal. Tadi, sebelum masuk ke kamar ini, dia sudah lebih dahulu ke kamar Shae. Namun, dasar sahabatnya itu sepertinya sudah tidur karena tak menyahut saat dia panggil, dan telfon pun tak diangkat. Katha tidak bisa memaksa lagi, karena Rabu mengingatkannya p
Katha dan Rabu sedang dalam perjalanan menuju rumah Rabu. Mereka baru saja mengambil barang-barang dari rumah Katha. Selama itu pula, Rabu terus-terusan saja mengatakan pada Katha kalau dia akan membelikan rumah baru yang lebih besar untuk mereka tinggali berdua. Hal itu didasari oleh permintaan Agung sebelumnya. Dia meminta pasangan baru menikah itu untuk tinggal di rumahnya dengan alasan kalau ukurannya lebih besar.Namun, Katha sediri jadi kesal mendengar ucapan Rabu. Dia sampai berulang kali berdecak. “Papa nggak nyindir lo, Bu!”“Gue tau. Gue juga ingin beli rumah biar setidaknya selama lo tinggal sama gue, lo nggak ngerasa turun kasta,” jawab Rabu.“Sejak kapan lo mikirin kasta segala?”“Sejak ngelamar lo.” Rabu mengurangi kecepatan mobilnya ketika nyaris sampai di lampu merah yang menyala.Katha menggeleng-gelengkan kepala. Dia masih tidak paham kenapa Rabu sampai berpikir demikian, padahal mer
Keributan sepertinya enggah terpisah dari sosok Katha dan Rabu. Keduanya kini kembali bersitegang setelah usai membersihkan rumah dan makan malam hasil pesan lewat delivery ojol. Seperti bisanya, tidak ada yang mau mengalah dan sama-sama mencari celah untuk mempertahankan keinginannya.“Di sini aja kenapa, sih? Toh, udah sah,” ujar Rabu. Dia berdri di muka kamar dengan lengan terlipat di depan dada.Katha mendengkus. Dia memaju mundurkan satu koper dari banyak koper miliknya masih ada di ruang tamu. Semalam ini, dia baru ingat kalau mereka belum menyediakan kamar untuk Katha. Semua ruangan di rumah Rabu terpakai. Selain itu, satu-satunya ruangan yang memiliki ukuran paling besar adalah kamar lelaki itu.“Nggak bisa, Bu!” tolak Katha lagi. Yang jelas, untuk yang kesekian kali.“Kenapa, sih? Gue nggak mau, ya, ngalah trus di suruh tidur di situ.” Rabu menunjuk karpet di depan televisi. Mereka tadi sepaka
Katha sedang dihadapkan dengan beberapa dokumen saat Kandara keluar dari ruangannya. Lelaki itu tiba-tiba tertawa sambil menunjuk-nunjuk Katha yang sedamg serius bekerja. Maka, mau tak mau konsentrasi Katha terganggu. Dia melotot ke arah kakaknya itu."Apa? Mau ngolok-ngolokin gue apa lo?" semprot Katha.Kandara menggelengkan kepala, lalu tertawa. "Gimana? Semalam ngapain aja sama Rabu?" godanya.Pertanyaan Kandara membuat Katha mengingat kejadian semalam. Tentang bagaimana Rabu yang tiba-tiba meminta sebuah pelukan, tepat setelah dia menanyakan tentang Felycia. Entah kenapa hal itu membuatnya tak nyaman. Ya, meski semalam akhirnya dia tertidur saat memeluk Rabu, dan masih berpelukan juga hingga bangun. Tetapi, pagi ini dia bangun dengan memikirkan seberapa jauh perasaan Rabu tersisa untuk seorang Felycia, hingga menyinggung namanya saja, kini lelaki itu butuh sebuah pelukan."Heh! Mikirin apa lo?" tanya Kandara.Katha mengerjap. Lalu sadar kalau d
Rabu duduk terdiam di depan televisi yang tidak menyala. Mood-nya sedang anjlok akibat hal yang dia lihat siang tadi. Terlebih, Katha belum pulang meski sekarang sudah lewat empat jam dari waktu seharusnya dia pulang. Jelas Rabu menjadi resah. Kepalanya terus membayangkan hal-hal yang kemungkinan dilakukan Katha dan Sakha bersama. Namun, dia masih belum punya nyali untuk menanyai keberadaan Katha saat ini. Dia rasanya akan sangat kesal sekali kalau tahu Katha masih bersama putra Atmaja itu sampai saat ini.Lalu, suara pintu yang dibuka membuat Rabu terperanjat. Kepalanya yang tadi bersandar di dinding, kini malah terantuk. Rasa sakit yang tidak begitu menyengat menjalari kepalanya.Kemudian, tanpa salam atau apa pun, Katha masuk dengan wajah kelelahan. Perempuan itu melemparkan tas ke atas meja dekat pintu geser, lalu berbaring dan merebahkan kepala di pangkuan Rabu.Rabu memalingkan muka. Dia merasa senang sekaligus dongkol.“Bu, bu,&rdquo
“Kayaknya kita harus ke rumah Shae,” ujar Rabu akhirnya.Katha dan Rendara yang sedari tadi bergerak gelisah akhirnya menoleh kembali.“Gue udah ke sana, Bu,” sahut Rendra.Rabu menghela napas panjang. Lalu dia masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa pun.Sementara itu, kini gilirang Katha dan Rendra yang saling berpandangan. Mereka butuh Rabu. Seseorang yang tenang dan bisa berpikir jernih yang sangat mereka butuhkan. Namun kenapa Rabu malah memilih masuk ke dalam rumah? pikir Katha.Akan tetapi, tidak sampai dua menit, Rabu kembali keluar dengan napas yang sedikit memburu. Di tangannya ada jaket merah muda milik Katha dan kunci mobil.“Ayo jalan!” ajaknya sembari melempar jaket ke arah Katha.Tanpa banyak tanya, Katha segera mengenakan jaketnya dan menyusul langkah Rabu menuju garasi. Sementara Rendra masih terbengong di teras. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Rabu mengajaknya ke rumah Sha
“Lo mau bolos?”Katha menjauhkan ponselnya sejenak. Dia menatap Rabu yang duduk di depannya dengan ekspresi menolak melanjutkan panggilan dengan seseorang yang baru saja berteriak itu. Sayangnya, Rabu menggeleng dan memberinya isyarat untuk melanjutkan pembicaraannya.“Gue izin buat hari ini, deh, Kan,” pinta Katha setelah gawai kembali melekat di telinga kanannya.Terdengar suara dengkusan di seberang sana. Lalu, suara Kandara yang menggelegar kembali terdengar. “Nggak ada alasan-alasan lagi. Lo udah sering bolos, dan gue sudah sering memaklumi. Cepat ke sini!”Setelah itu, sambungan diputus. Katha menatap gawainya dengan raut tak percaya. Apa yang terjadi, sampai kakaknya itu bahkan tak bertanya apa alasan dia tidak masuk kerja hari ini.“Lo lihat, Bu? Dia bahkan nggak tanya alasan gue,” gerutu Katha.Rabu menghela napas. Kalau dia jadi Kandara pun, dia akan melakukan hal yang sama. Selama in
Katha segera keluar dari mobil Sakha begitu mobil itu berhenti di depan Angkasa. Dia bahkan nyaris terjatuh karena terburu-buru, tapi beruntung bisa mendapatkan kembali keseimbangannya. Lalu, tanpa mengucapkan terima kasih, dia berlari masuk ke dalam Angkasa. Pintu kaca dia dorong keras, hingga beberapa pelanggan menoleh.Langit dan Rabu sedang berdiri di sebelah meja kasir. Keduanya menatap Katha, sementara gadis itu langsung berlari mendekat.“Mana Shae?” todong Katha. “Mana?” Dia kemudian melarikan pandangannya ke sekeliling ruangan. Siapa tahu Shae muncul entah dari mana.Kini Katha beralih lagi pada Rabu. Dia mulai merasa kesal, karena Rabu sedari tadi tak memberinya kabar. “Kenapa Hp lo mati?”Rabu menyugar rambutnya. Dia tau Katha akan marah. Namun tadi memang gawainya kehabisan daya, sehingga dia segera menuju Angkasa. Ketika gawainya terisi sekian persen, telepon masuk dari Kandara. Kakak iparnya itu mengabarka
Tidak ada lagi ketenangan. Sejak tadi, Katha tak bisa menahan tangisnya. Terlebih setelah dokter menjelaskan kondisi sahabatnya. Namun, bukan dia sendiri yang tampak sangat terpukul dengan kejadian itu. Lelaki yang dulu hampir dijadikan suaminya oleh sang ayah, jauh lebih kacau.Wajah Rendra masih memerah. Urat-urat dan pembuluh darah di sekitar leher dan pelipisnya bertonjolan. Dia menelan teriakannya dalam-dalam saat Rabu tadi memukul wajahnya di depan ruang bersalin.“Tha, lo gue antar pulang, ya,” ujar Rabu. Dia memecahkan sunyi di antara mereka bertiga. Langit sudah meninggalkan rumah sakit sepuluh menit yang lalu. Dia hendak ke rumah Shae untuk mengambilkan pakaian.Katha menggeleng. Dia kembali menatap Rendra yang kini tertunduk. Sampai-sampai dahinya nyaris menyentuh lutut. “Dia tidur?” bisiknya.Rabu menggelengkan kepala. Meski belum pernah mengalami hal yang sama, sebagai lelaki Rabu mengerti perasaan Rendra saat ini.