Tidak ada lagi ketenangan. Sejak tadi, Katha tak bisa menahan tangisnya. Terlebih setelah dokter menjelaskan kondisi sahabatnya. Namun, bukan dia sendiri yang tampak sangat terpukul dengan kejadian itu. Lelaki yang dulu hampir dijadikan suaminya oleh sang ayah, jauh lebih kacau.
Wajah Rendra masih memerah. Urat-urat dan pembuluh darah di sekitar leher dan pelipisnya bertonjolan. Dia menelan teriakannya dalam-dalam saat Rabu tadi memukul wajahnya di depan ruang bersalin.
“Tha, lo gue antar pulang, ya,” ujar Rabu. Dia memecahkan sunyi di antara mereka bertiga. Langit sudah meninggalkan rumah sakit sepuluh menit yang lalu. Dia hendak ke rumah Shae untuk mengambilkan pakaian.
Katha menggeleng. Dia kembali menatap Rendra yang kini tertunduk. Sampai-sampai dahinya nyaris menyentuh lutut. “Dia tidur?” bisiknya.
Rabu menggelengkan kepala. Meski belum pernah mengalami hal yang sama, sebagai lelaki Rabu mengerti perasaan Rendra saat ini.
Shae terbaring di atas tempat tidur dengan beberapa alat yang masih menempel di tubuhnya. Dia memalingkan wajah dari Katha yang sejak lima menit tadi berdiri di sisinya. Rasa malu sekaligus bersalah mengungkung dirinya. Harusnya dia menceritakan masalah itu sebelum ini semua terjadi. Harusnya dia jujur pada Katha. Kalau sudah begini, dia jadi malu karena menyuguhkan bagian paling buruk pada Katha.“Sampai kapan lo ngehindarin tatapan gue?” tanya Katha. Dia pura-pura berkata dingin, menyiratkan kemarahan yang sebenarnya sudah banyak tertutupi. Kemarahannya sekarang hanya berpusat pada Theo. Seorang kakak yang sangat tidak bertanggung jawab dan berengsek. “Lo mau gue panggilin Rendra ke sini? Dia udah nyaris mukul Rabu karena dilarang masuk.”Shae cepat-cepat mengusap air mata yang entah sejak kapan mengaliri pelipisnya. Matanya menemukan wajah tanpa ekspersi milik Katha. Kalau seperti itu, dia seperti melihat diri Rabu dalam versi perempuan.
Setelah beberapa kali memaksa, akhirnya Rabu berhasil menyeret Katha untuk pulang ke rumah. Ya, meski perempuan itu memberikan banyak pesan pada Rendra yang menggantikannya menjaga Shae sebelum setuju untuk pulang.Sebetulnya Rabu juga cukup khawatir dengan kondisi Rendra. Lelaki yang tanpa direncakan menjadi temannya itu, tampak sangat kelelahan. Wajahnya kuyu dan berantakan. Meski begitu, dipaksa bagaimanapun, dia tak mau meninggalkan rumah sakit.Sebagai sesama lelaki, dia tau apa yang sedang bercokol dalam hati dan pikiran lelaki itu. Apalagi saat perempuan yang dikasihinya sedang terbaring di rumah sakit.Rabu menghela napas, lalu melirik Katha yang tertidur di sebelahnya. Meski tadi bersikeras tak mau pulang, tubuh perempuan itu tak mengkhianati. Katha langsung tertidur setelah sepuluh menit perjalanan.“Tha, bangun.” Rabu sudah mendiamkan mobilnya di depan gerbang terbuka selama dua puluh menit akhirnya mulai membangunkan Katha.
“Pokoknya Shae bakal tinggal sama gue dan Rabu,” ujar Katha sekali lagi.Rabu hanya menghela napas panjang sambil berdiri di sebelah istrinya itu. Dia sudah malas terlibat dalam perdebatan dua orang di depannya.Saat ini, Rabu, Katha, Shae dan Rendra sedang berada di parkiran rumah sakit. Shae sendiri sudah terduduk di kursi penumpang mobil Rabu. Namun, Rendra masih bersikeras mengajak Shae tinggal di apartemennya.“Dia butuh ketenangan, Tha. Apartemen gue tempat yang tepat.” Rendra tidak menunjukkan tanda-tanda mengalah sama sekali.“Sama lo? Lo mau gue percaya kalau lo nggak bakal ngapa-ngapain Shae?” tanya Katha sinis.Rendra menyugar rambutnya kesal. “Udah gue bilang berapa kali kalau gue bakal tinggal di rumah ortu. Apartemen gue free buat Shae.”Katha lagi-lagi menggeleng. Dia masih tidak bisa membiarkan Shae tinggal sendiri di apartemen Rendra. Siapa bisa jamin Rendra tidak akan melakuka
“Gue masih nggak tenang lo di sini,” keluh Katha. Dia membantu membawakan tas pakaian yang sudah diambil paksa oleh Rabu dari rumah Shae.Shae mengulas senyum tipis sambil berjalan canggung di belakang Rendra. Sungguh, sikap ini bukan dia sekali. Katha pun sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa sahabat perempuannya banyak berubah. Kesan tangguh dan bar-barnya entah ditelan siapa.“Lo tenang aja, Tha. Shae bakal aman. Penjagaan di sini bagus. Gue juga nggak bakal nginep di sini kalau-kalau lo khawatir.” Rendra mempersilahkan Shae duduk di sofa. Sementara Katha dan Rabu mengikuti.“Laki-laki tuh predator. Gue nggak bisa percaya seratus persen pokoknya.” Katha melipat lengan di depan dada. Lalu, dia merasa pinggangnya dicolek oleh Rabu yang sedang duduk di sebelahnya. Kernyitan muncul di dahinya. Dia menatap Rabu dengan mata melotot.“Gue laki, Tha,” bisik Rabu.Lalu, ekspresi terkejut muncul di wajah Kath
Orang-orang di dapur sedang sibuk memindahkan piring-piring lauk ke meja makan. Sementara itu, kursi-kursi di meja makan sudah dihuni oleh semua anggota keluarga. Mereka menunggu sambil mengobrol ringan mengenai pekerjaan dan rencana di masa depan.Katha sendiri baru saja meletakkan piring berisi ayam kecap—salah satu makanan kesukaan Rabu. Ya, walaupun sebenarnya Rabu termasuk orang yang suka makan apa saja. Namun yang pasti, Katha tahu Rabu lebih suka cokelat dibanding apa pun.“Udah duduk aja,” bisik Rabu, “biar gue gantiin.”Dengkusan kesal keluar dari mulut Katha. Dia menatap malas ke arah Rabu. Itu tadi memang tawaran yang cukup menggiurkan. Sayangnya, kalau dia meletakkan bokong di kursi sebelum sema makanan terhidang di meja makan, sudah dipastikan papanya akan mengomel. Kejadian ini baru terjadi sejak Rabu resmi menjadi anggota keluarga mereka.“Beneran. Ntar gue yang bilang ke Papa.” Rabu kembali bersuar
Katha dan Rabu sudah kembali ke kamar saat jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Perut mereka kenyang, begitu juga dengan pikiran, terutama Katha. Dia kesal karena setelah makan malam tadi, papa malah sibuk mengajak dirinya dan Rabu membahas bulan madu. Dia bahkan berniat membelikan tiket ke hawai agar Katha dan Rabu bisa bulan madu dengan nyaman di tempat yang indah. Dan Katha semakin sebal saat Rabu malah meladeni ucapan ayahnya. “Masih marah?” tanya Rabu saat sudah selesai mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Katha sendiri sudah berganti lebih dulu tadi begitu masuk ke kamar. Dia sekarang duduk di depan meja rias, mengoleskan berbagai krim yang dulu dijuluki Rabu sebagai petaka. Ada asal usulnya julukan aneh itu. Dulu, Rabu pernah tak sengaja menjatuhkan tas Katha dari lantai dua rumah orang tuanya saat sahabatnya itu menginap setelah dimarahi Agung. Saat itu Katha sangat marah. Dia bahkan sampai urung menginap dan mendiamkan Rabu selama d
Sejak mendapati telepon Felysia semalam, entah kenapa Katha jadi malas sekali berbicara dengan Rabu. Apalagi perdebatan mereka semalam soal tiket bulan madu juga masih membuat Rabu sedikit ngambek. Alhasil, keduanya tak bertegur sapa sama sekali sejak bangun, hingga duduk di ruang makan dengan pakaian kantor.Ketika adu mulut yang biasa terjadi antara Katha dan Rabu tiba-tiba lenyap, maka semua penghuni meja mulai menebak-nebak sesuatu yang mereka yakini benar.“Kalian bertengkar?” tanya Agung.Katha yang baru saja duduk di kursi ruang makan setelah berdiri tak berguna di dapur, menoleh. “Siapa bertengkar?” tanyanya. Dia melirik piring Rabu yang sudah terisi. Lalu dia mulai bisa memikirkan kalimat apa yang muncul dari mulut papanya setelah ini.“Ya kamu sama Rabu.” Agung menjawab sambil menunjuk Katha dan Rabu bergantian dengan jari telunjuknya.“Iya, nih. Tumben banget Katha berhenti adu mulut sama Rabu.&r
Setelah kejadian perjodohan dengan Rendra, Katha baru menyadarai bahwa dirinya berubah dari sosok yang cuek, jadi banyak mikir. Rasa-rasanya semua hal sekarang dia pikirkan berlarut-larut. Bodohnya, kadang dia jadi suka membuat asumsi sendiri. Saat sadar seperti sekarang, ingin sekali dia menyalahkan papanya.Gawai Katha yang ada di atas meja bergetar, hingga menarik atensi perempuan itu dari pikiran yang semrawut macam kabel headset yang lama dalam tas. Namun, saat dia initip siap pengirimnya, semua energinya terasa terkuras. Ah, Rabu. Lelaki itu yang memang sedang dia pikirkan sekarang. Ucapan Kandara tadi cukup jadi racun yang kuat untuk pikirannya.Dulu, sewaktu mengajukan kontrak pernikahan pada Rabu, Katha berpikir bahwa dia juga yang nantinya akan membatalkan kontrak itu. Sebab, selama mengenal Rabu, jarang sekali dia lihat sang sahabat bercerita soal cinta, kecuali soal Felysia. Itu pun terjadi saat Rabu sudah pacaran dengan Fely. Makin menjadi-jadi saat hubung