Katha sedang dihadapkan dengan beberapa dokumen saat Kandara keluar dari ruangannya. Lelaki itu tiba-tiba tertawa sambil menunjuk-nunjuk Katha yang sedamg serius bekerja. Maka, mau tak mau konsentrasi Katha terganggu. Dia melotot ke arah kakaknya itu.
"Apa? Mau ngolok-ngolokin gue apa lo?" semprot Katha.
Kandara menggelengkan kepala, lalu tertawa. "Gimana? Semalam ngapain aja sama Rabu?" godanya.
Pertanyaan Kandara membuat Katha mengingat kejadian semalam. Tentang bagaimana Rabu yang tiba-tiba meminta sebuah pelukan, tepat setelah dia menanyakan tentang Felycia. Entah kenapa hal itu membuatnya tak nyaman. Ya, meski semalam akhirnya dia tertidur saat memeluk Rabu, dan masih berpelukan juga hingga bangun. Tetapi, pagi ini dia bangun dengan memikirkan seberapa jauh perasaan Rabu tersisa untuk seorang Felycia, hingga menyinggung namanya saja, kini lelaki itu butuh sebuah pelukan.
"Heh! Mikirin apa lo?" tanya Kandara.
Katha mengerjap. Lalu sadar kalau d
Rabu duduk terdiam di depan televisi yang tidak menyala. Mood-nya sedang anjlok akibat hal yang dia lihat siang tadi. Terlebih, Katha belum pulang meski sekarang sudah lewat empat jam dari waktu seharusnya dia pulang. Jelas Rabu menjadi resah. Kepalanya terus membayangkan hal-hal yang kemungkinan dilakukan Katha dan Sakha bersama. Namun, dia masih belum punya nyali untuk menanyai keberadaan Katha saat ini. Dia rasanya akan sangat kesal sekali kalau tahu Katha masih bersama putra Atmaja itu sampai saat ini.Lalu, suara pintu yang dibuka membuat Rabu terperanjat. Kepalanya yang tadi bersandar di dinding, kini malah terantuk. Rasa sakit yang tidak begitu menyengat menjalari kepalanya.Kemudian, tanpa salam atau apa pun, Katha masuk dengan wajah kelelahan. Perempuan itu melemparkan tas ke atas meja dekat pintu geser, lalu berbaring dan merebahkan kepala di pangkuan Rabu.Rabu memalingkan muka. Dia merasa senang sekaligus dongkol.“Bu, bu,&rdquo
“Kayaknya kita harus ke rumah Shae,” ujar Rabu akhirnya.Katha dan Rendara yang sedari tadi bergerak gelisah akhirnya menoleh kembali.“Gue udah ke sana, Bu,” sahut Rendra.Rabu menghela napas panjang. Lalu dia masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa pun.Sementara itu, kini gilirang Katha dan Rendra yang saling berpandangan. Mereka butuh Rabu. Seseorang yang tenang dan bisa berpikir jernih yang sangat mereka butuhkan. Namun kenapa Rabu malah memilih masuk ke dalam rumah? pikir Katha.Akan tetapi, tidak sampai dua menit, Rabu kembali keluar dengan napas yang sedikit memburu. Di tangannya ada jaket merah muda milik Katha dan kunci mobil.“Ayo jalan!” ajaknya sembari melempar jaket ke arah Katha.Tanpa banyak tanya, Katha segera mengenakan jaketnya dan menyusul langkah Rabu menuju garasi. Sementara Rendra masih terbengong di teras. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Rabu mengajaknya ke rumah Sha
“Lo mau bolos?”Katha menjauhkan ponselnya sejenak. Dia menatap Rabu yang duduk di depannya dengan ekspresi menolak melanjutkan panggilan dengan seseorang yang baru saja berteriak itu. Sayangnya, Rabu menggeleng dan memberinya isyarat untuk melanjutkan pembicaraannya.“Gue izin buat hari ini, deh, Kan,” pinta Katha setelah gawai kembali melekat di telinga kanannya.Terdengar suara dengkusan di seberang sana. Lalu, suara Kandara yang menggelegar kembali terdengar. “Nggak ada alasan-alasan lagi. Lo udah sering bolos, dan gue sudah sering memaklumi. Cepat ke sini!”Setelah itu, sambungan diputus. Katha menatap gawainya dengan raut tak percaya. Apa yang terjadi, sampai kakaknya itu bahkan tak bertanya apa alasan dia tidak masuk kerja hari ini.“Lo lihat, Bu? Dia bahkan nggak tanya alasan gue,” gerutu Katha.Rabu menghela napas. Kalau dia jadi Kandara pun, dia akan melakukan hal yang sama. Selama in
Katha segera keluar dari mobil Sakha begitu mobil itu berhenti di depan Angkasa. Dia bahkan nyaris terjatuh karena terburu-buru, tapi beruntung bisa mendapatkan kembali keseimbangannya. Lalu, tanpa mengucapkan terima kasih, dia berlari masuk ke dalam Angkasa. Pintu kaca dia dorong keras, hingga beberapa pelanggan menoleh.Langit dan Rabu sedang berdiri di sebelah meja kasir. Keduanya menatap Katha, sementara gadis itu langsung berlari mendekat.“Mana Shae?” todong Katha. “Mana?” Dia kemudian melarikan pandangannya ke sekeliling ruangan. Siapa tahu Shae muncul entah dari mana.Kini Katha beralih lagi pada Rabu. Dia mulai merasa kesal, karena Rabu sedari tadi tak memberinya kabar. “Kenapa Hp lo mati?”Rabu menyugar rambutnya. Dia tau Katha akan marah. Namun tadi memang gawainya kehabisan daya, sehingga dia segera menuju Angkasa. Ketika gawainya terisi sekian persen, telepon masuk dari Kandara. Kakak iparnya itu mengabarka
Tidak ada lagi ketenangan. Sejak tadi, Katha tak bisa menahan tangisnya. Terlebih setelah dokter menjelaskan kondisi sahabatnya. Namun, bukan dia sendiri yang tampak sangat terpukul dengan kejadian itu. Lelaki yang dulu hampir dijadikan suaminya oleh sang ayah, jauh lebih kacau.Wajah Rendra masih memerah. Urat-urat dan pembuluh darah di sekitar leher dan pelipisnya bertonjolan. Dia menelan teriakannya dalam-dalam saat Rabu tadi memukul wajahnya di depan ruang bersalin.“Tha, lo gue antar pulang, ya,” ujar Rabu. Dia memecahkan sunyi di antara mereka bertiga. Langit sudah meninggalkan rumah sakit sepuluh menit yang lalu. Dia hendak ke rumah Shae untuk mengambilkan pakaian.Katha menggeleng. Dia kembali menatap Rendra yang kini tertunduk. Sampai-sampai dahinya nyaris menyentuh lutut. “Dia tidur?” bisiknya.Rabu menggelengkan kepala. Meski belum pernah mengalami hal yang sama, sebagai lelaki Rabu mengerti perasaan Rendra saat ini.
Shae terbaring di atas tempat tidur dengan beberapa alat yang masih menempel di tubuhnya. Dia memalingkan wajah dari Katha yang sejak lima menit tadi berdiri di sisinya. Rasa malu sekaligus bersalah mengungkung dirinya. Harusnya dia menceritakan masalah itu sebelum ini semua terjadi. Harusnya dia jujur pada Katha. Kalau sudah begini, dia jadi malu karena menyuguhkan bagian paling buruk pada Katha.“Sampai kapan lo ngehindarin tatapan gue?” tanya Katha. Dia pura-pura berkata dingin, menyiratkan kemarahan yang sebenarnya sudah banyak tertutupi. Kemarahannya sekarang hanya berpusat pada Theo. Seorang kakak yang sangat tidak bertanggung jawab dan berengsek. “Lo mau gue panggilin Rendra ke sini? Dia udah nyaris mukul Rabu karena dilarang masuk.”Shae cepat-cepat mengusap air mata yang entah sejak kapan mengaliri pelipisnya. Matanya menemukan wajah tanpa ekspersi milik Katha. Kalau seperti itu, dia seperti melihat diri Rabu dalam versi perempuan.
Setelah beberapa kali memaksa, akhirnya Rabu berhasil menyeret Katha untuk pulang ke rumah. Ya, meski perempuan itu memberikan banyak pesan pada Rendra yang menggantikannya menjaga Shae sebelum setuju untuk pulang.Sebetulnya Rabu juga cukup khawatir dengan kondisi Rendra. Lelaki yang tanpa direncakan menjadi temannya itu, tampak sangat kelelahan. Wajahnya kuyu dan berantakan. Meski begitu, dipaksa bagaimanapun, dia tak mau meninggalkan rumah sakit.Sebagai sesama lelaki, dia tau apa yang sedang bercokol dalam hati dan pikiran lelaki itu. Apalagi saat perempuan yang dikasihinya sedang terbaring di rumah sakit.Rabu menghela napas, lalu melirik Katha yang tertidur di sebelahnya. Meski tadi bersikeras tak mau pulang, tubuh perempuan itu tak mengkhianati. Katha langsung tertidur setelah sepuluh menit perjalanan.“Tha, bangun.” Rabu sudah mendiamkan mobilnya di depan gerbang terbuka selama dua puluh menit akhirnya mulai membangunkan Katha.
“Pokoknya Shae bakal tinggal sama gue dan Rabu,” ujar Katha sekali lagi.Rabu hanya menghela napas panjang sambil berdiri di sebelah istrinya itu. Dia sudah malas terlibat dalam perdebatan dua orang di depannya.Saat ini, Rabu, Katha, Shae dan Rendra sedang berada di parkiran rumah sakit. Shae sendiri sudah terduduk di kursi penumpang mobil Rabu. Namun, Rendra masih bersikeras mengajak Shae tinggal di apartemennya.“Dia butuh ketenangan, Tha. Apartemen gue tempat yang tepat.” Rendra tidak menunjukkan tanda-tanda mengalah sama sekali.“Sama lo? Lo mau gue percaya kalau lo nggak bakal ngapa-ngapain Shae?” tanya Katha sinis.Rendra menyugar rambutnya kesal. “Udah gue bilang berapa kali kalau gue bakal tinggal di rumah ortu. Apartemen gue free buat Shae.”Katha lagi-lagi menggeleng. Dia masih tidak bisa membiarkan Shae tinggal sendiri di apartemen Rendra. Siapa bisa jamin Rendra tidak akan melakuka