“Kayaknya kita harus ke rumah Shae,” ujar Rabu akhirnya.
Katha dan Rendara yang sedari tadi bergerak gelisah akhirnya menoleh kembali.
“Gue udah ke sana, Bu,” sahut Rendra.
Rabu menghela napas panjang. Lalu dia masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa pun.
Sementara itu, kini gilirang Katha dan Rendra yang saling berpandangan. Mereka butuh Rabu. Seseorang yang tenang dan bisa berpikir jernih yang sangat mereka butuhkan. Namun kenapa Rabu malah memilih masuk ke dalam rumah? pikir Katha.
Akan tetapi, tidak sampai dua menit, Rabu kembali keluar dengan napas yang sedikit memburu. Di tangannya ada jaket merah muda milik Katha dan kunci mobil.
“Ayo jalan!” ajaknya sembari melempar jaket ke arah Katha.
Tanpa banyak tanya, Katha segera mengenakan jaketnya dan menyusul langkah Rabu menuju garasi. Sementara Rendra masih terbengong di teras. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Rabu mengajaknya ke rumah Sha
“Lo mau bolos?”Katha menjauhkan ponselnya sejenak. Dia menatap Rabu yang duduk di depannya dengan ekspresi menolak melanjutkan panggilan dengan seseorang yang baru saja berteriak itu. Sayangnya, Rabu menggeleng dan memberinya isyarat untuk melanjutkan pembicaraannya.“Gue izin buat hari ini, deh, Kan,” pinta Katha setelah gawai kembali melekat di telinga kanannya.Terdengar suara dengkusan di seberang sana. Lalu, suara Kandara yang menggelegar kembali terdengar. “Nggak ada alasan-alasan lagi. Lo udah sering bolos, dan gue sudah sering memaklumi. Cepat ke sini!”Setelah itu, sambungan diputus. Katha menatap gawainya dengan raut tak percaya. Apa yang terjadi, sampai kakaknya itu bahkan tak bertanya apa alasan dia tidak masuk kerja hari ini.“Lo lihat, Bu? Dia bahkan nggak tanya alasan gue,” gerutu Katha.Rabu menghela napas. Kalau dia jadi Kandara pun, dia akan melakukan hal yang sama. Selama in
Katha segera keluar dari mobil Sakha begitu mobil itu berhenti di depan Angkasa. Dia bahkan nyaris terjatuh karena terburu-buru, tapi beruntung bisa mendapatkan kembali keseimbangannya. Lalu, tanpa mengucapkan terima kasih, dia berlari masuk ke dalam Angkasa. Pintu kaca dia dorong keras, hingga beberapa pelanggan menoleh.Langit dan Rabu sedang berdiri di sebelah meja kasir. Keduanya menatap Katha, sementara gadis itu langsung berlari mendekat.“Mana Shae?” todong Katha. “Mana?” Dia kemudian melarikan pandangannya ke sekeliling ruangan. Siapa tahu Shae muncul entah dari mana.Kini Katha beralih lagi pada Rabu. Dia mulai merasa kesal, karena Rabu sedari tadi tak memberinya kabar. “Kenapa Hp lo mati?”Rabu menyugar rambutnya. Dia tau Katha akan marah. Namun tadi memang gawainya kehabisan daya, sehingga dia segera menuju Angkasa. Ketika gawainya terisi sekian persen, telepon masuk dari Kandara. Kakak iparnya itu mengabarka
Tidak ada lagi ketenangan. Sejak tadi, Katha tak bisa menahan tangisnya. Terlebih setelah dokter menjelaskan kondisi sahabatnya. Namun, bukan dia sendiri yang tampak sangat terpukul dengan kejadian itu. Lelaki yang dulu hampir dijadikan suaminya oleh sang ayah, jauh lebih kacau.Wajah Rendra masih memerah. Urat-urat dan pembuluh darah di sekitar leher dan pelipisnya bertonjolan. Dia menelan teriakannya dalam-dalam saat Rabu tadi memukul wajahnya di depan ruang bersalin.“Tha, lo gue antar pulang, ya,” ujar Rabu. Dia memecahkan sunyi di antara mereka bertiga. Langit sudah meninggalkan rumah sakit sepuluh menit yang lalu. Dia hendak ke rumah Shae untuk mengambilkan pakaian.Katha menggeleng. Dia kembali menatap Rendra yang kini tertunduk. Sampai-sampai dahinya nyaris menyentuh lutut. “Dia tidur?” bisiknya.Rabu menggelengkan kepala. Meski belum pernah mengalami hal yang sama, sebagai lelaki Rabu mengerti perasaan Rendra saat ini.
Shae terbaring di atas tempat tidur dengan beberapa alat yang masih menempel di tubuhnya. Dia memalingkan wajah dari Katha yang sejak lima menit tadi berdiri di sisinya. Rasa malu sekaligus bersalah mengungkung dirinya. Harusnya dia menceritakan masalah itu sebelum ini semua terjadi. Harusnya dia jujur pada Katha. Kalau sudah begini, dia jadi malu karena menyuguhkan bagian paling buruk pada Katha.“Sampai kapan lo ngehindarin tatapan gue?” tanya Katha. Dia pura-pura berkata dingin, menyiratkan kemarahan yang sebenarnya sudah banyak tertutupi. Kemarahannya sekarang hanya berpusat pada Theo. Seorang kakak yang sangat tidak bertanggung jawab dan berengsek. “Lo mau gue panggilin Rendra ke sini? Dia udah nyaris mukul Rabu karena dilarang masuk.”Shae cepat-cepat mengusap air mata yang entah sejak kapan mengaliri pelipisnya. Matanya menemukan wajah tanpa ekspersi milik Katha. Kalau seperti itu, dia seperti melihat diri Rabu dalam versi perempuan.
Setelah beberapa kali memaksa, akhirnya Rabu berhasil menyeret Katha untuk pulang ke rumah. Ya, meski perempuan itu memberikan banyak pesan pada Rendra yang menggantikannya menjaga Shae sebelum setuju untuk pulang.Sebetulnya Rabu juga cukup khawatir dengan kondisi Rendra. Lelaki yang tanpa direncakan menjadi temannya itu, tampak sangat kelelahan. Wajahnya kuyu dan berantakan. Meski begitu, dipaksa bagaimanapun, dia tak mau meninggalkan rumah sakit.Sebagai sesama lelaki, dia tau apa yang sedang bercokol dalam hati dan pikiran lelaki itu. Apalagi saat perempuan yang dikasihinya sedang terbaring di rumah sakit.Rabu menghela napas, lalu melirik Katha yang tertidur di sebelahnya. Meski tadi bersikeras tak mau pulang, tubuh perempuan itu tak mengkhianati. Katha langsung tertidur setelah sepuluh menit perjalanan.“Tha, bangun.” Rabu sudah mendiamkan mobilnya di depan gerbang terbuka selama dua puluh menit akhirnya mulai membangunkan Katha.
“Pokoknya Shae bakal tinggal sama gue dan Rabu,” ujar Katha sekali lagi.Rabu hanya menghela napas panjang sambil berdiri di sebelah istrinya itu. Dia sudah malas terlibat dalam perdebatan dua orang di depannya.Saat ini, Rabu, Katha, Shae dan Rendra sedang berada di parkiran rumah sakit. Shae sendiri sudah terduduk di kursi penumpang mobil Rabu. Namun, Rendra masih bersikeras mengajak Shae tinggal di apartemennya.“Dia butuh ketenangan, Tha. Apartemen gue tempat yang tepat.” Rendra tidak menunjukkan tanda-tanda mengalah sama sekali.“Sama lo? Lo mau gue percaya kalau lo nggak bakal ngapa-ngapain Shae?” tanya Katha sinis.Rendra menyugar rambutnya kesal. “Udah gue bilang berapa kali kalau gue bakal tinggal di rumah ortu. Apartemen gue free buat Shae.”Katha lagi-lagi menggeleng. Dia masih tidak bisa membiarkan Shae tinggal sendiri di apartemen Rendra. Siapa bisa jamin Rendra tidak akan melakuka
“Gue masih nggak tenang lo di sini,” keluh Katha. Dia membantu membawakan tas pakaian yang sudah diambil paksa oleh Rabu dari rumah Shae.Shae mengulas senyum tipis sambil berjalan canggung di belakang Rendra. Sungguh, sikap ini bukan dia sekali. Katha pun sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa sahabat perempuannya banyak berubah. Kesan tangguh dan bar-barnya entah ditelan siapa.“Lo tenang aja, Tha. Shae bakal aman. Penjagaan di sini bagus. Gue juga nggak bakal nginep di sini kalau-kalau lo khawatir.” Rendra mempersilahkan Shae duduk di sofa. Sementara Katha dan Rabu mengikuti.“Laki-laki tuh predator. Gue nggak bisa percaya seratus persen pokoknya.” Katha melipat lengan di depan dada. Lalu, dia merasa pinggangnya dicolek oleh Rabu yang sedang duduk di sebelahnya. Kernyitan muncul di dahinya. Dia menatap Rabu dengan mata melotot.“Gue laki, Tha,” bisik Rabu.Lalu, ekspresi terkejut muncul di wajah Kath
Orang-orang di dapur sedang sibuk memindahkan piring-piring lauk ke meja makan. Sementara itu, kursi-kursi di meja makan sudah dihuni oleh semua anggota keluarga. Mereka menunggu sambil mengobrol ringan mengenai pekerjaan dan rencana di masa depan.Katha sendiri baru saja meletakkan piring berisi ayam kecap—salah satu makanan kesukaan Rabu. Ya, walaupun sebenarnya Rabu termasuk orang yang suka makan apa saja. Namun yang pasti, Katha tahu Rabu lebih suka cokelat dibanding apa pun.“Udah duduk aja,” bisik Rabu, “biar gue gantiin.”Dengkusan kesal keluar dari mulut Katha. Dia menatap malas ke arah Rabu. Itu tadi memang tawaran yang cukup menggiurkan. Sayangnya, kalau dia meletakkan bokong di kursi sebelum sema makanan terhidang di meja makan, sudah dipastikan papanya akan mengomel. Kejadian ini baru terjadi sejak Rabu resmi menjadi anggota keluarga mereka.“Beneran. Ntar gue yang bilang ke Papa.” Rabu kembali bersuar
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya