Katha turun dari mobil Shae dengan sedikit kesusahan akibat pakaiannya. Sedangkan Shae yang ada di balik kemudi menatap sahabatnya dengan perasaan separuh jengkel, sisanya was-was.
“Lo tunggu di sini,” perintah Katha. Setelah itu, dia mengangkat rok span panjangnya agar bisa melangkah cepat.
Shae menggeleng-gelengkan kepala. Dia menyilangkan lengan di atas kemudi, lalu menidurkan kepalanya di sana. Pasti sekarang rumah Katha sedang kacau balau. Mereka tadi pergi tanpa pamit. Dia bahkan meninggalkan gawainya di atas tempat tidur Katha. Begitu juga dengan gawai sahabatnya itu.
“Mati, gue. Bisa-bisa dilahap Om Agung.” Shae menghela napas panjang.
Sementara itu, Katha membuka pintu rumah Rabu yang tidak terkunci. Tadi, sewaktu dia dan Shae mengobrol di kamar, tiba-tiba Langit telepon. Lelaki itu mengabarkan kalau cincin pernikahan yang dibeli Rabu hilang. Dan sejak subuh tadi keduanya mencari, tapi belum juga ketemu.
“Gima
Katha berbaring di tempat tidurnya karena kelelahan. Padahal ini baru akad saja. Resepsi masih akan berlangsung malam nanti. Selain itu, rupanya Rabu memang menyediakan banyak undangan untuk para relasi papanya. Dia sudah bisa membayangkan bagiamana sibuknya nanti malam. Sayup-sayup Katha mendengar suara orang berbicara dan langkah kaki di lorong lantai dua ini. Hal itu membuatnya tak bisa lekas tertidur, meski sudah menutup mata dan mencoba menghiraukan. Lantas, kemudian pintu terbuka. Rabu masuk ke kamar Katha tanpa canggung. Dia memang sudah beberapa kali juga masuk ke kamar ini untuk sekadar membangunkan atau memaksa perempuan pemalas itu agar mau olahraga di akhir pekan. “Tha? Tidur lo?” tanya Rabu. Katha berdeham dalam pejaman mataya. Dalam hari dia menyoraki Rabu yang sepertinya sudah tak marah padanya lagi. Kalau begini, dia jadi tak perlu canggung atau sungkan lagi melakukan hal apa pun di sekitar Rabu. Apalagi dalam masa seperti ini, dia dan
Rendra sudah meninggalkan gedung resepsi sejak dua puluh menit lalu, tapi Katha masih terkejut dengan informasi yang baru didengarnya. Dia seraca tak percaya, meski dulu sekali dia punya pikiran menuju ke sana. Pantas saja selama ini Shae bersikap aneh. Dia seperti punya masalah dan berusaha menutupinya dengan rapat, bahkan dari Katha yang dianggapnya sahabat. Satu hal lain yang membuat kesal Katha adalah perihal ketahuan Rabu soal permasalahan yang dialami Shae. “Kok, lo nggak bilang gue, sih? Kapan lo cari taunya?” bisik Katha setelah menyalami salah satu teman papanya. “Itu tetap saja masalah Shae. Kita tidak punya keterlibatan, sampai Shae mau membaginya dengan kita. Sementara itu, kita bantu dia dari belakang,” ujar Rabu, cukup tak menjawab pertanyaan Katha. “Trus kenapa lo bisa tau?” Katha benar-benar tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rasa-rasanya saat itu dia ingin naik ke kamar yang sudah disewanya untuk Shae dan memeluk perempuan itu erat-erat, b
Lagi-lagi pertengkaran muncul di antara Rabu dan Katha. Namun, tidak perlu khawatir karena ini seperti pertengkaran mereka sebelum-sebelumnya, tapi dalam status baru, yaitu suami-istri. Keduanya terkadang sama-sama keras kepala hingga cukup alot dalam membahas sesuatu, kecuali nanti Rabu mau mengalah.“Pokoknya kita nggak boleh sekamar!” tekan Katha. Dia mendudukkan diri di ujung tempat tidur, masih dengan gaun pernikahannya. Hiasan rambut pun masih terpasang seluruhnya, hingga pening mulai mendera.“Ya, pikir aja, Tha, kalau gue keluar sekarang dan booking kamar, semua orang bisa tau ntar. Apalagi semua pada nginep di sini!” sahut Rabu.Katha menunju udara berkali-kali dengan kesal. Tadi, sebelum masuk ke kamar ini, dia sudah lebih dahulu ke kamar Shae. Namun, dasar sahabatnya itu sepertinya sudah tidur karena tak menyahut saat dia panggil, dan telfon pun tak diangkat. Katha tidak bisa memaksa lagi, karena Rabu mengingatkannya p
Katha dan Rabu sedang dalam perjalanan menuju rumah Rabu. Mereka baru saja mengambil barang-barang dari rumah Katha. Selama itu pula, Rabu terus-terusan saja mengatakan pada Katha kalau dia akan membelikan rumah baru yang lebih besar untuk mereka tinggali berdua. Hal itu didasari oleh permintaan Agung sebelumnya. Dia meminta pasangan baru menikah itu untuk tinggal di rumahnya dengan alasan kalau ukurannya lebih besar.Namun, Katha sediri jadi kesal mendengar ucapan Rabu. Dia sampai berulang kali berdecak. “Papa nggak nyindir lo, Bu!”“Gue tau. Gue juga ingin beli rumah biar setidaknya selama lo tinggal sama gue, lo nggak ngerasa turun kasta,” jawab Rabu.“Sejak kapan lo mikirin kasta segala?”“Sejak ngelamar lo.” Rabu mengurangi kecepatan mobilnya ketika nyaris sampai di lampu merah yang menyala.Katha menggeleng-gelengkan kepala. Dia masih tidak paham kenapa Rabu sampai berpikir demikian, padahal mer
Keributan sepertinya enggah terpisah dari sosok Katha dan Rabu. Keduanya kini kembali bersitegang setelah usai membersihkan rumah dan makan malam hasil pesan lewat delivery ojol. Seperti bisanya, tidak ada yang mau mengalah dan sama-sama mencari celah untuk mempertahankan keinginannya.“Di sini aja kenapa, sih? Toh, udah sah,” ujar Rabu. Dia berdri di muka kamar dengan lengan terlipat di depan dada.Katha mendengkus. Dia memaju mundurkan satu koper dari banyak koper miliknya masih ada di ruang tamu. Semalam ini, dia baru ingat kalau mereka belum menyediakan kamar untuk Katha. Semua ruangan di rumah Rabu terpakai. Selain itu, satu-satunya ruangan yang memiliki ukuran paling besar adalah kamar lelaki itu.“Nggak bisa, Bu!” tolak Katha lagi. Yang jelas, untuk yang kesekian kali.“Kenapa, sih? Gue nggak mau, ya, ngalah trus di suruh tidur di situ.” Rabu menunjuk karpet di depan televisi. Mereka tadi sepaka
Katha sedang dihadapkan dengan beberapa dokumen saat Kandara keluar dari ruangannya. Lelaki itu tiba-tiba tertawa sambil menunjuk-nunjuk Katha yang sedamg serius bekerja. Maka, mau tak mau konsentrasi Katha terganggu. Dia melotot ke arah kakaknya itu."Apa? Mau ngolok-ngolokin gue apa lo?" semprot Katha.Kandara menggelengkan kepala, lalu tertawa. "Gimana? Semalam ngapain aja sama Rabu?" godanya.Pertanyaan Kandara membuat Katha mengingat kejadian semalam. Tentang bagaimana Rabu yang tiba-tiba meminta sebuah pelukan, tepat setelah dia menanyakan tentang Felycia. Entah kenapa hal itu membuatnya tak nyaman. Ya, meski semalam akhirnya dia tertidur saat memeluk Rabu, dan masih berpelukan juga hingga bangun. Tetapi, pagi ini dia bangun dengan memikirkan seberapa jauh perasaan Rabu tersisa untuk seorang Felycia, hingga menyinggung namanya saja, kini lelaki itu butuh sebuah pelukan."Heh! Mikirin apa lo?" tanya Kandara.Katha mengerjap. Lalu sadar kalau d
Rabu duduk terdiam di depan televisi yang tidak menyala. Mood-nya sedang anjlok akibat hal yang dia lihat siang tadi. Terlebih, Katha belum pulang meski sekarang sudah lewat empat jam dari waktu seharusnya dia pulang. Jelas Rabu menjadi resah. Kepalanya terus membayangkan hal-hal yang kemungkinan dilakukan Katha dan Sakha bersama. Namun, dia masih belum punya nyali untuk menanyai keberadaan Katha saat ini. Dia rasanya akan sangat kesal sekali kalau tahu Katha masih bersama putra Atmaja itu sampai saat ini.Lalu, suara pintu yang dibuka membuat Rabu terperanjat. Kepalanya yang tadi bersandar di dinding, kini malah terantuk. Rasa sakit yang tidak begitu menyengat menjalari kepalanya.Kemudian, tanpa salam atau apa pun, Katha masuk dengan wajah kelelahan. Perempuan itu melemparkan tas ke atas meja dekat pintu geser, lalu berbaring dan merebahkan kepala di pangkuan Rabu.Rabu memalingkan muka. Dia merasa senang sekaligus dongkol.“Bu, bu,&rdquo
“Kayaknya kita harus ke rumah Shae,” ujar Rabu akhirnya.Katha dan Rendara yang sedari tadi bergerak gelisah akhirnya menoleh kembali.“Gue udah ke sana, Bu,” sahut Rendra.Rabu menghela napas panjang. Lalu dia masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa pun.Sementara itu, kini gilirang Katha dan Rendra yang saling berpandangan. Mereka butuh Rabu. Seseorang yang tenang dan bisa berpikir jernih yang sangat mereka butuhkan. Namun kenapa Rabu malah memilih masuk ke dalam rumah? pikir Katha.Akan tetapi, tidak sampai dua menit, Rabu kembali keluar dengan napas yang sedikit memburu. Di tangannya ada jaket merah muda milik Katha dan kunci mobil.“Ayo jalan!” ajaknya sembari melempar jaket ke arah Katha.Tanpa banyak tanya, Katha segera mengenakan jaketnya dan menyusul langkah Rabu menuju garasi. Sementara Rendra masih terbengong di teras. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Rabu mengajaknya ke rumah Sha