Siang ini Katha dan Rabu menemui Wedding Organizer yang sudah mereka pilih dari beberapa yang direkomendasikan oleh mama Katha. Jadilah janji makan siang mereka sekalian dengan janji temu dengan pihak WO. Tentu saja tempat yang mereka pilih sebagai tempat pertemuan adalah Angkasa. Walaupun nanti resikonya rapat mereka terdengar oleh Langit yang rese.
Pihak WO baru saja datang ketika Katha dan Rabu duduk di salah satu kursi di Angkasa. Sebuah kebetulan yang tepat, sebab tidak ada yang perlu saling menunggu. Seorang perempuan berambut cepak dengan pakaian suit berwarna merah muda berjalan di atas high heels hitam. Dari penampilannya yang tampak sangat berkelas itu, Katha jadi suka. Dia menyenggol Rabu, lantas membisikkan kalau orang seperti perempuan itu mungkin sangat bisa menggaet kepercayaan kliennya. Seperti biasa, Rabu hanya mengiyakan apa yang dikatakan Katha.
“Selamat siang, Pak Rabu, Bu Katha,” sapa perempuan berambut cepak tadi. Mereka memang sudah p
Setelah perjanjian disepakati, Katha setiap pagi datang ke rumah Rabu. Dia melakukan tugasnya meski sesekali protes, karena harus bangun lebih pagi dan bersiap ke kantor dari rumah Rabu. Hal yang cukup merepotkan, tapi tak lebih repot dari Rabu sendiri.Sementara Rabu setiap harinya juga sibuk rapat dengan para vendor dan WO yang akan mengurus pernikahannya. Segalanya dia pilih tanpa pertimbangan bersama Katha lagi. Bahkan perempuan itu tak penah lagi menanyakan konsep atau makanan apa yang akan disediakan di pernikahan mereka. Cukup memudahkan, walaupun kadang kala Rabu sebetulnya butuh pendapat. Hal itu sesekali dia alihkan ke Langit. Beruntung laki-laki cerewet itu mau membantunya tanpa mengolok-olok.“Kamu mau ke rumah Rabu lagi?” tanya Agung. Lelaki paruh baya itu masuk ke dapur dengan baju olahraga.Katha yang sedang memasukkan beberapa sayuran ke dalam kantung plastik, langsung menoleh. Dia mengelus dada, karena mengira yang muncul adalah sang
Katha memukuli kepalanya sendiri setelah memasukkan beras ke dalam penanak nasi. Dia merutuki apa yang baru saja terjadi di antara dia dan Rabu. Itu adalah kesalahan yang cukup fatal. Harusnya dia tidak membalas ciuman Rabu. Harusnya Rabu tidak melakukan itu padanya. Ah, salah! Harusnya dia tidak tidur di tempat tidur sahabatnya itu pagi-pagi begini. “Argh!” Lagi-lagi Katha memekik tertahan. Dia mengacak-acak rambutnya kembali. Beruntung pagi ini dia memang belum mandi dan berniat mandi di rumah Rabu. Namun, kalau kondisinya begini, dia akan menadi di kamar mandi ruang kerja dibanding di kamar mandi Rabu. Lalu, gawai Katha berdering. Dia terlonjak, dan seketika ingat bahwa tas belanjaan dan miliknya sendiri tadi diletakkannya di depan kamar Rabu. Kalau sudah begini, bagaimana dia berani ke sana? Bagaimana kalau Rabu tiba-tiba keluar? Gawai it uterus berdering, sementara Katha mendengar suara air dari arah kamar Rabu. Sepertinya lelaki itu sedang mandi. Maka,
Curhat pada Sakha ternyata membuahkan empat tips yang sebetulnya masih tak bisa diyakini oleh Katha. Akan tetapi, dia tak punya pilihan lain, selain mencobanya. Sakha pun menyuruhnya untuk mencoba, karena siapa tahu tips itu berhasil saat diaplikasikan langsung pada Rabu. Maka seusai petang, Katha datang ke Angkasa. Dia tahu kalau kemungkinan besar Rabu akan ada di sana. Akan tetapi, memikirkan kemungkinan itu saja dia jadi tak bisa menahan panas di tubuhnya akibat rasa malu yang menggebu-gebu. Namun, dia harus mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Kalau terus-terusan, bisa jadi dia akan terus kepikiran dengan satu kesalahan bodoh itu. Seperti biasa, Angkasa ramai oleh para pelanggan yang baru pulang kerja. Mereka menyantap makanan mereka sambil saling bercengkrama. Wajah ceria setelah seharian bekerjan tampak di antara gurat-gurat lelah. Lantas, tiba-tiba Katha merasa seperti orang yang tersesat. Terlebih setelah dia benar-benar menemukan mobi
“Eh, itu bajumu, Tha!” “Ataga, si Katha make-upnya kena bajunya Kaia.” “Makanya Mama bilang jangan gendong-gendong Kaia!” “Tha, ini Ibu beliin makan. Bubur ayam aja biar kamu nggak kelaparan.” “Mbak, HP-nya aku bawain.” “Mbak, kamu beli bubur di mana? Katha kasih susu aja. Bajunya nggak muat.” “Ma, Ibu, biarin Katha sendiri dulu. Kasihan dia udah nggak bisa tidur di kamar sendiri nanti.” Yang terakhir, itu teriakan Kandara yang sangat memalukan. Kalau saja tamu undangan sudah datang, Katha yakin kalau kakaknya itu tak akan berani berulah atau mempermalukan diri sendiri. Beruntung ini masih jam enam pagi, meski dandanan Katha sudah berese sejak dua puluh menit yang lalu. “Kamu habis ini ya, Kan?” “Katha mbok, ya carikan masmu pasangan.” “Habisin makanannya. Kalau kurang nanti Ibu ambilin jus. Atau mau makan yang lain?” “Tha! Bude mau dong keripik pisang cokelatnya Rabu!” “Kai mau!
Katha turun dari mobil Shae dengan sedikit kesusahan akibat pakaiannya. Sedangkan Shae yang ada di balik kemudi menatap sahabatnya dengan perasaan separuh jengkel, sisanya was-was.“Lo tunggu di sini,” perintah Katha. Setelah itu, dia mengangkat rok span panjangnya agar bisa melangkah cepat.Shae menggeleng-gelengkan kepala. Dia menyilangkan lengan di atas kemudi, lalu menidurkan kepalanya di sana. Pasti sekarang rumah Katha sedang kacau balau. Mereka tadi pergi tanpa pamit. Dia bahkan meninggalkan gawainya di atas tempat tidur Katha. Begitu juga dengan gawai sahabatnya itu.“Mati, gue. Bisa-bisa dilahap Om Agung.” Shae menghela napas panjang.Sementara itu, Katha membuka pintu rumah Rabu yang tidak terkunci. Tadi, sewaktu dia dan Shae mengobrol di kamar, tiba-tiba Langit telepon. Lelaki itu mengabarkan kalau cincin pernikahan yang dibeli Rabu hilang. Dan sejak subuh tadi keduanya mencari, tapi belum juga ketemu.“Gima
Katha berbaring di tempat tidurnya karena kelelahan. Padahal ini baru akad saja. Resepsi masih akan berlangsung malam nanti. Selain itu, rupanya Rabu memang menyediakan banyak undangan untuk para relasi papanya. Dia sudah bisa membayangkan bagiamana sibuknya nanti malam. Sayup-sayup Katha mendengar suara orang berbicara dan langkah kaki di lorong lantai dua ini. Hal itu membuatnya tak bisa lekas tertidur, meski sudah menutup mata dan mencoba menghiraukan. Lantas, kemudian pintu terbuka. Rabu masuk ke kamar Katha tanpa canggung. Dia memang sudah beberapa kali juga masuk ke kamar ini untuk sekadar membangunkan atau memaksa perempuan pemalas itu agar mau olahraga di akhir pekan. “Tha? Tidur lo?” tanya Rabu. Katha berdeham dalam pejaman mataya. Dalam hari dia menyoraki Rabu yang sepertinya sudah tak marah padanya lagi. Kalau begini, dia jadi tak perlu canggung atau sungkan lagi melakukan hal apa pun di sekitar Rabu. Apalagi dalam masa seperti ini, dia dan
Rendra sudah meninggalkan gedung resepsi sejak dua puluh menit lalu, tapi Katha masih terkejut dengan informasi yang baru didengarnya. Dia seraca tak percaya, meski dulu sekali dia punya pikiran menuju ke sana. Pantas saja selama ini Shae bersikap aneh. Dia seperti punya masalah dan berusaha menutupinya dengan rapat, bahkan dari Katha yang dianggapnya sahabat. Satu hal lain yang membuat kesal Katha adalah perihal ketahuan Rabu soal permasalahan yang dialami Shae. “Kok, lo nggak bilang gue, sih? Kapan lo cari taunya?” bisik Katha setelah menyalami salah satu teman papanya. “Itu tetap saja masalah Shae. Kita tidak punya keterlibatan, sampai Shae mau membaginya dengan kita. Sementara itu, kita bantu dia dari belakang,” ujar Rabu, cukup tak menjawab pertanyaan Katha. “Trus kenapa lo bisa tau?” Katha benar-benar tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rasa-rasanya saat itu dia ingin naik ke kamar yang sudah disewanya untuk Shae dan memeluk perempuan itu erat-erat, b
Lagi-lagi pertengkaran muncul di antara Rabu dan Katha. Namun, tidak perlu khawatir karena ini seperti pertengkaran mereka sebelum-sebelumnya, tapi dalam status baru, yaitu suami-istri. Keduanya terkadang sama-sama keras kepala hingga cukup alot dalam membahas sesuatu, kecuali nanti Rabu mau mengalah.“Pokoknya kita nggak boleh sekamar!” tekan Katha. Dia mendudukkan diri di ujung tempat tidur, masih dengan gaun pernikahannya. Hiasan rambut pun masih terpasang seluruhnya, hingga pening mulai mendera.“Ya, pikir aja, Tha, kalau gue keluar sekarang dan booking kamar, semua orang bisa tau ntar. Apalagi semua pada nginep di sini!” sahut Rabu.Katha menunju udara berkali-kali dengan kesal. Tadi, sebelum masuk ke kamar ini, dia sudah lebih dahulu ke kamar Shae. Namun, dasar sahabatnya itu sepertinya sudah tidur karena tak menyahut saat dia panggil, dan telfon pun tak diangkat. Katha tidak bisa memaksa lagi, karena Rabu mengingatkannya p