Rasa tidak nyaman tentu makin tidak nyaman jika dipelihara. Oleh karena itu, saat jam makan siang, Katha langsung mendatangi kantor Atj. Rungan Sakha menjadi tujuan utamanya. Beruntung, Sakha sedang berada di tempat dan nyaris pergi untuk makan siang.
“Katha? Kok nggak kasih kabar?” tanya Sakha. Kening lelaki itu berkerut, meski tadi dia sudah mendapat pemberitahuan dari resepsionis bahwa Katha ingin bertemu dengannya.
“Surprise?” Katha balik bertanya tak yakin. Tapi, dia mengulas senyum lebar seolah tak hal penting apa pun yang perlu dia bicarakan.
Sakha akhirnya ikut tertawa. Dia kemudian mengajak Katha untuk makan siang bersama di restoran depan kantor, karena memang sudah waktunya makan siang.
“Restoran depan tidak seenak Angkasa, tapi tetap bisa kita nikmati,” ujar Sakha saat keduanya keluar dari elevator.
“Oke, tidak masalah. Lagi pula bentuknya terlihat meyakinkan,” sahut Katha sambil
“Jadi, ini acara makan malam apa?” tanya Katha. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di sebelahnya ada Rabu yang baru saja datang. “Acara penyambutan Bening,” jawab Langit. Bening yang namanya disebut langsung menoleh dan menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk membolak-balik udang bakar. “Wih, udah sepakat, nih, berarti?” tanya Katha “Seperti yang lo rasain?” Langit balik bertanya sambil menunjuk makanan-makanan di atas meja. “Akhirnya gue bisa istirahan sesekali.” Lelaki itu tertawa puas. Katha, Bening dan Rabu serempak tertawa melihat ekspresi Langit yang sedikit berlebihan. Sejak memulai usaha restoran, Langit sempat beberapa kali mempekerjakan juru masak. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka punya cita rasa masakan yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan rasanya terlalu jauh, hingga membuat pelanggan kadang bertanya-tanya. Sebab itu, tiga tahun terakhir, hanya Langit sendiri yang menangani masal
Suara mobil yang berlalu-lalang tidak merusak sedikit pun fokus Katha. Perempuan itu berjalan mantap ke arah mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan. Sosok yang jadi incarannya sedang menatap ban depan mobil yang ternyata bocor. “Sepertinya ada yang butuh bantuan,” ujar Katha. Tentu saja sapaanya yang mendadak itu membuat Rakha tersentak. Lelaki itu langsung mundur selangkah, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Ah, Katha. Sedang apa kamu di sini?” tanyanya. Katha tidak menjawab. Dia hanya memandangi ban mobil Rakha yang kehilangan isinya hingga terlihat menyedihkan. “Kena paku,” ucap Rakha tanpa ditanya. Lelaki itu kembali memandangi nasib ban mobilnya. “Mau saya bantu ganti ban?” tanya Katha. Dia hanya membual, sebab bertahun-tahun selama dia bisa mengendarai mobil, sampai malas-malasan mengemudikannya, dia tak pernah melakukan pekerjaan itu. “Tidak apa. Saya sudah panggil montir. Kebetulan juga tidak ada ban pengganti di be
Sekarang tanggal 31 Desember. Keadaan jalanan sangat ramai, begitu juga dengan tempat wisata, pusat perbelanjaan dan lain-lain. Semua tampak antusias menyambut dan merayakan tahun baru bersama keluarga dan teman-teman.Sayangnya berbeda dengan Katha. Kali ini dia memang akan merayakannya bersama keluarga, namun sedikit terlambat. Kedua orang tuanya dan juga Kaia sudah lebih dulu berangkat liburan ke Jogjakarta sejak tiga hari yang lalu. Sementara dia dan Kandara harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum libur sepenuhnya.Kali ini dia terpaksa berada di tengah keramaian, karena Rabu sejak pagi sudah memaksanya menemani lelaki itu ke pusat perbelanjaan. Sahabatnya itu mengaku kalau dia lupa membeli hadiah natal untuk karyawannya yang merayakan. Sebab itu, sebelum tahun baru berakhir, dia akan mengirimkan satu per satu hadiah itu ke rumah karyawannya yang sudah libur. Maka dari itu, satu-satunya orang yang bisa dia repotkan adalah Katha.“Pakai acara lup
Rabu tersenyum lebar melihat reaksi Katha. Dia sudah mempersiapkan kejutan yang ada di ruangan ini untuk Katha sejak kemarin malam. Dia pun sengaja menjadikan hadiah natal untuk para pegawai sebagai alasan untuk bisa mengajak Katha keluar. Ya, meski tanpa itu pun, Katha akan mau jika dia paksa.“Bu!” pekik Katha.Lelaki itu akhirya berjalan dengan mantap mendekati sahabatnya yang tampak sangat terkejut. Rasa malu yang sudah dia bayangkan sebelumnya hilang akibat reaksi Katha. Menyiapkan hal-hal seperti ini bukanlah kemampuan dirinya. Dia bahkan tak pernah membuat kejutan untuk ulang tahun sahabatnya itu sejak pertama kali mereka berteman sampai sekarang. Akan tetapi, kejutan di ruang tengah ini jadi sebuah hal baru yang membuatnya merasakan malu tiap kali menduga-duga reaksi Katha.“Katharina, gue mau ngelamar lo dengan cara yang benar,” ungkap Rabu. Meski tadi dia merasa rasa malunya sudah hilang, tetapi begitu mengeluarkan kata-kata sep
“Gue nggak nyangka kalian udah sejauh itu.” Langit melanjutkan godaannya pada Katha dan Rabu atas kejadian semalam. “Mulut lo, ya!” decak Katha. Sementara Rabu hanya diam saja. Dia kali ini bertugas sebagai tuan rumah yang baik dengan menyiapkan sarapan, padahal ada koki handal di rumahnya. “Kalau gue nggak datang kalian bakal ngapaian, ya?” Langit tak mengindahkan peringatan Katha. Sejak semalam hanya kantuk yang menghentikan ocehan mulutnya. Katha yang kesal akhirnya berdiri dari duduknya di meja makan. Dia menghampiri Langit yang kini tertawa-tawa sambil membuat perisai di depan mukanya dengan kedua lengan yang disilangkan. Tanpa ragu, Katha mengambil sendok bersih dari atas meja, lalu memukulkannya keras-keras di atas kepala Langit. “Woy! Tha! Sadar, Tha!” teriak Langit heboh. “Rasain lo!” Katha meneruskan pukulannya, meski terhalang lengan Langit. Dia bahkan kini sudah mengikut sertakan tangan kirinya untuk menarik kerah kaus lela
“Akhirnya liburan ini benar-benar disponsori Ibu Katharina!” pekik Langit. Dia yang tengah berbaring di sofa ruang tengah, meregangkan otot-ototnya.Katha sendiri duduk di sisi lain sambil melipat lengan di depan dada. Matanya mentap sinis ke arah Langit yang masih saja menyebalkan sejak datang pagi tadi. Di ruangan itu juga ada Rabu, Shae dan Bening. Ya, koki baru itu diajak oleh Langit, karena katanya Bening tidak punya rencana apa pun untuk liburan tahun baru. Beruntung rumah eyangnya punya banyak kamar di sekeliling rumah utama—karena memang dia punya banyak pegawai dan murid—sehingga teman-temannya tak perlu mencari penginapan. “Makasih, ya, Mbak, udah izinin aku ikut liburan ke sini,” ujar Bening yang duduk di seberang Katha.Katha langsung berdecak, lagi-lagi Bening memanggilnya Mbak. Namun, sebelum protesnya keluar, Rabu sudah lebih dulu menyikut lengannya.“Udah pantas dipanggil mbak-mbak juga, mas
Sejak siang, sampai jam sembilan malam ini, Katha, Rabu, Shae, Langit dan Berlian pergi jalan-jalan. Mereka mengunjungi beberapa tempat, tapi tak menghabiskan banyak waktu di sana, karena Katha yang terlalu cerewet. Hal itu membuat Langit jadi uring-uringan. Dia pun memaksa Katha untuk mentraktirnya berbagai macam jajanan dan oleh-oleh. Hingga kali ini, Malioboro jadi tempat terakhir Katha menguras isi dompetnya untuk Langit. “Bangkrut, dah, gue,” keluh Katha sambil memasukkan dompet ke dalam tas. “Untung terakhir lo minta ke sini.” Bukannya berterima kasih, Langit masih saja menyuguhkan wajah masam pada Katha. Dia benar-benar tidak puas di liburan ini. Padahal dia sudah rela menutup Angkasa dan mengajak koki barunya selama beberapa hari, meski di masa liburan seperti ini penghasilannya bisa meningkat pesat. “Masih marah dia,” bisik Rabu pada Katha. “Gimana nggak marah? Kita cuma ngabisin tenaga di jalan!” gerutu Langit. Shae yang berdiri di s
Makan-makan sebagai perayaan tahun baru yang sedikit terlambat di rumah eyang cukup ramai. Semua sanak saudar berkumpul dan sibuk membakar berbagai bahan makanan yang disipakan. Pekerja eyang juga ikut berkumpul dan berpesta bersama. Mereka bahkan mengajak keluarga masing-masing, hingga semakin menyemarakkan malam ini. Api panggangan terus saja menyala. Arang berulang kali ditambahkan. Beberapa jenis makanan berkuah juga disediakan oleh Bening. Sebagai penyeimbang kalau kata eyang. Makan-makan kering hasil pembakaran secara terus-menerus tentu akan membosankan. Akan tetapi, makanan-makanan yang dibuat Bening rupanya membuat Kandara jadi risau. Dia sedari tadi duduk sambil memperhatikan gerak-gerik Bening yang sibuk menuangkan makanan ke dalam mangkuk dan juga memotong-motong bawang untuk campuran bumbu sate. Bermacam-macam dugaan muncul di kepala. Namun, dia tiada tahu bagaimana cara menyampaikannya pada Bening. Bagaimana cara menanyakannya tanpa terkesan aneh.
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya