Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus.
Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami.
“Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung.
Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya.
“Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi.
Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.”
Agung mengerang frustasi. Dia meremas rambutnya sendiri hingga kusut masai. Dia bahkan ingin sekali menghancurkan meja kaca di ruang tamu itu. Tapi, dia juga tahu kalau perbuatan itu akan membuatnya merasa menyesal setelahnya.
“Harus aku apakan dia, Ma?” tanya Agung pada istrinya.
Dewi menghela napas. “Mungkin Katha sungguh-sungguh, Pa.” Dia akhirnya memutuskan membela Katha, meski sadar juga kalau putrinya berbuat salah. Namun kalau dibiarkan, bisa saja suaminya berbuat nekat dengan langsung menyeret Katha ke KUA agar menikah dengan Rendra. Meski dia menyetujui perjodohan Katha dan Rendra, bukan berarti dia mau putrinya terlalu dipaksa.
Agung mencebik. “Tumben sekali kamu bela ini anak.” Jari telunjuknya mengarah pada puncak kepala Katha yang duduk tak tenang di sofa.
Karena tidak ingin mamanya jadi sasaran kemarahan sang papa, Katha mulai bersuara lagi. “Katha sama Sakha serius, Pa. Kami berdua cocok.” Mengenai kata cocok ini, Katha tidak berbohong. Maksudnya, dia memang merasa demikian saat berbincang dengan Sakha walau dalam waktu yang bisa dikatakan singkat.
Agung mendengus lagi mendengar pembelaan Katha. “Tha, kalau bohong yang pintar sedikit. Papa yakin kamu sama Sakha merencanakan pernikahan kontrak. Iya, kan?” tudingnya tepat sasaran.
Katha yang ditodong begitu langsung gelagapan. Matanya diam-diam mengitari sekitar, mencoba mencari keberadaan Kandara. Ini hari Jumat, harusnya kakaknya itu sudah ada di rumah karena harus menghabiskan waktu bersama sang putri. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda lelaki itu di rumah.
“Kenapa lirik-lirik? Cari kakakmu buat minta bantuan?”
Karena tertangkap basah, Katha kembali menunduk. Dia terus bertanya-tanya bagaimana papanya bisa sebegitu curiga padanya. Padahal dia sudah menata skenario sedemikian rupa bersama Sakha.
“Papa kok bisa nuduh begitu?” Mengabaikan rasa takutnya, Katha memutuskan untuk bertanya.
Lantas, Katha dengar suara papanya yang tertawa mengejek. Dia memberanikan diri mengangkat kepala. Hal itu malah membuat matanya bersitatap dengan manik papanya yang tampak menyeramkan. Bulu kuduknya bahkan sekarang meremang. Hawa panas merayapi kulit punggung hingga kepalanya.
“Akhirnya tanya juga kamu,” cibir Agung. “Coba jawab, Ma,” pintanya pada sang istri.
Dewi menghela napas panjang, lalu ditatapnya Katha yang menunggu jawaban. Sebetulnya dia juga menduga hal yang sama dengan suaminya, hanya saja dia tak ingin berburuk sangka. Tadinya dia ingin membahas soal itu saat Sakha pulang dan dalam keadaan tenang. Namun, rupanya sang suami sudah tak bisa menahan kemarahannya.
“Waktu kamu sama Kandara rapat di kantor Atj, Papa sama Mama lagi main golf. Di sana kami ketemu Atmaja dan Sakha. Kami memang ngobrol dengan Atmaja sebentar dan tidak sempat menyapa Sakha yang sedang fokus bermain. Hanya saja, Atmaja jelas menyebutkan bahwa anak yang sedang bersamanya adalah Sakha. Jadi, tidak mungkin dia bertemu denganmu di Atj.” Dewi mengembuskan napas panjang. Wajahnya menyiratkan penyesalan karena tak bisa membantu Katha lolos dari amukan sang papa.
Angin dingin serasa bertiup di telinga Katha. Jawaban sang mama benar-benar memukul telak dirinya. Terbongkar sudah kebohongan yang dia buat. Namun, kepalanya masih tak ingin menyerah. Dengan perasaan takut Katha melirik papanya yang berdiri menjulang sambil melipat lengan di depan dadanya.
“Pa,” panggil Katha.
“Apa? Mau buat alasan apa lagi kamu?” tanya Agung.
“Em … itu ….” Katha memutar otaknya mencari penyelesaian. “Anu … Katha sebenarnya ketemu lagi sama Sakha setelah kencan dengan Rakha.”
“Lalu? Kamu mengakui, kan, kalau kamu mau nikah kontrak sama Sakha? Papa tahu kalau Sakha juga sedang diburu-buru Atmaja untuk segera menikah.”
Seperti baru saja mengunyah irisan lemon, Katha tak bisa menahan ekspresinya. Dia benar-benar kalah telak. Kalau sudah begini, lebih baik dia diam saja daripada semakin menyulut amarah sang papa.
Agung mendengkus kala melihat Katha diam tak berkutik. Dia menoleh ke arah Dewi yang menggeleng-gelengkan kepala—mengisyaratkan agar dia tak melanjutkan amarahnya. Pada akhirnya dia menghela napas panjang, lantas beranjak meninggalkan ruang tamu.
Suara pintu yang tertutup membuat Katha mendongak. Napas yang tadi serasa tertahan, kini bisa berembus lega. Lalu, kepalanya menoleh ke arah Dewi yang menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu ini, Tha. Cari masalah aja,” tegur Dewi.
Katha nyengir. “Maaf, Ma. Habisnya aku nggak mau dijodohin sama Rendra,” akunya.
Dewi tak menjawab lagi. Dia berdiri dari duduknya dan hendak menyusul ke dalam kamar. Tetapi, sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu, dia kembali menoleh ke Katha. “Mama akan coba bujuk Papamu. Tapi, besok kamu harus minta maaf ke Papa.”
Katha langsung tersenyum lebar. “Siap, Ma.” Dia menempelkan pinggiran jari telunjuknya di pelipis, membentuk posisi hormat.
Mamanya tersenyum tipis, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Dalam hati dia bersyukur bahwa Katha punya kepribadian yang cukup ceria, hingga dia tak perlu terlalu khawatir.
***
“Katha nggak di sini? Tumben banget,” ujar Rabu sembari meletakkan tas kerja di sebelah kursi yang kosong.
Shae yang duduk sendiri sambil melamun jadi tersentak. Dia terbelalak ke arah Rabu, lalu menghela napas lega saat mengenali sahabat Katha itu.
“Astaga, bikin kaget.” Shae mengusap dadanya pelan.
“Atau lagi di ruangannya Langit dia?” tanya Rabu, mengabaikan keterkejutan Shae atas kedatangannya yang tiba-tiba.
Shae mencebik, lantas menandaskan jus mangga yang tadinya tinggal seperempat gelas. “Beliin gue minum lagi, Bu,” pintanya.
Permintaan Shae itu malah membuat Rabu tertawa. Dia pun segera memanggil pelayan, lalu membiarkan Shae menyebutkan pesanannya.
“Jadi, mana si Biang Kerok?” tanya Rabu.
“Yang pasti, dia nggak di sini. Kalau di sini, pasti lagi adu mulut sama gue dan Langit,” sahut Shae. “Emangnya lo nggak chat dia?”
Rabu menggeleng, lalu meraih gawainya dari saku jas yang masih terpasang rapi di badan. “Kehabisan daya.” Dia menunjukkan layar gawainya yang gelap kepada Shae.
Shae akhirnya mengambil gawai miliknya di atas meja. Dia mengirimkan pesan pada Katha yang mengatakan bahwa Rabu sedang menunggunya di Angkasa. “Lo nggak makan?” tanya Shae sembari meletakkan gawainya di tempat semula.
“Gue tunggu Katha aja,” jawab Rabu.
“Dasar bucin,” kekeh Shae.
Rabu tak menjawab dan matanya malah berkeliling mencari sosok Langit untuk meminta beberapa camilan. Dia sebetulnya sudah merasa lapar, tapi memutuskan menunggu Katha. Walau sebenarnya malam ini mereka tak membuat janji temu apa pun. Hanya saja, seperti sebuah kebiasaan, sepulang kerja mereka sering nongkrong di Angkasa.
“Lapar?” tanya Shae yang disambut anggukan kepala Rabu. “Ya, udah, pesan aja dulu. Katha kayaknya nggak bakal ke sini hari ini.” Gawai Shae bergetar, hingga perempuan itu kini fokus ke benda kotak itu.
“Memangnya dia ada urusan apa?” tanya Rabu.
Shae tak kunjung menjawab, karena sibuk sekali menatap gawai. Tangannya bergerak-gerak mengetikkan sesuatu dengan ekspresi yang terlihat jengkel. Namun, tiga detik kemudian, ekspresinya berubah.
Merasa tak bisa menahan rasa penasarannya, Rabu kembali bertanya, “Shae, Katha ada urusan apa memangnya? Rapat?” Pertanyaan terakhir itu dia ragukan sendiri. Sebab Katha memang jarang mau ikut rapat hingga malam.
“Katha?” tanya Shae tak fokus.
Rabu mengiyakan. Dia menunggu jawaban sambil memperhatikan ibu jari Shae yang bergerak ganas di atas layar gawai. “Kenapa? Lagi kesel lo?” tanyanya kemudian.
“Ini si Katha.” Shae terkekeh. Matanya masih fokus di depan layar. “Dia ketahuan Om Agung kalau mau nikah kontrak.”
Ucapan Shae membuat Rabu membeku sejenak. Kepalanya mencerna hal aneh yang baru saja dia dengar. Katha? Katharina? Katha nikah kontrak? Ketahuan Om Agung? batinnya.
“Siapa nikah kontrak, Sha?” Rabu bertanya ulang saat dia sadar bahwa Shae tadi kelepasan bicara.
Perempuan yang sedang terkekeh pelan itu, seketika langsung terdiam. Matanya teralihkan dari layar gawai dan menatap Rabu dengan mata melotot. Gawai di tangannya meluncur dengan mudah dan jatuh menghantam lantai. Perasaan bersalah langsung memenuhi hatinya. “Bu …” panggilnya.
Namun, Rabu tak menjawab. Lelaki itu malah menunduk untuk mengambil gawai milik Shae yang tergeletak mengenaskan di lantai.
“Shae! Ha ha ha. Lo udah tahu belum? Katha ketahuan Om kalau mau nikah kontrak sama si Atmaja itu.” Langit tahu-tahu muncul sambil memandangi layar gawainya. Dia tertawa-tawa puas, sedangkan Shae sedang menatapnya dengan tatapan mengancam.
Langit baru mengalihkan mata saat dia tak mendengar respon Shae. Namun, saat itu pula dia sadar kalau Shae yang tiba-tiba pasif itu punya alasan. Dan alasan itu baru saja keluar dari bawah meja dengan ekspresi menakutkan yang menuntut penjelasan.
“Eh, Rabu. Kapan datang? Sudah makan?” tanya Langit sambil cengengesan—berusaha menyembunyikan kecanggungannya akibat tertangkap basah.
Rabu berdeham pelan, hingga aura kemarahannya jadi menguar. “Jadi, kenapa Katha ada urusan sama nikah kontrak? Siapa tadi? Atmaja?” tanyanya yang seketika membuat Shae dan Langit menatap saling menyalahkan.
***
Sampai di rumahnya, Rabu menemukan Katha sedang duduk di depan televisi sambil makan nasi goreng. Perempuan itu masih mengenakan pakaian kerja, namun dengan rambut yang sudah acak-acakan.
“Lama amat, Bu, pulangnya. Gue udah nunggu dari tadi. Ditelfon juga nggak bisa,” cerocos Katha. “Tuh, nasi goreng. Lo makan dulu sana.” Dia menunjuk bungkusan yang ada di atas meja.
Namun, sampai beberapa detik berlalu, Rabu tak kunjung membuka suara. Lelaki itu juga tak tampak beranjak dari tempatnya berdiri. Hal itu tentu mengganggu Katha. Dia tak lagi bisa fokus menonton televisi sambil makan.
“Kenapa, sih, Bu? Gue pakai baju normal ini.” Dia menunjuk pakaiannya sendiri. Namun, Rabu juga masih tak memberi respon.
Katha menoleh ke arah Rabu. Dia pun akhirnya melihat ekspresi yang tak biasa. Rabu terlihat sangat marah dan dia tahu itu. Hanya saja, alasannyalah yang tidak dia ketahui. Seketika dia beranjak mendekati Rabu. “Bu? Lo kenapa? Ada masalah?” tanyanya.
Keberadaan Katha membuat Rabu tak bisa lagi menahan marahnya. Wajah lelaki itu bahkan sudah memerah sebelum dia sempat memuntahkan letupan-letupan di kepala.
“Lo mau nikah kontrak? Iya?” tanya Rabu, masih berupaya menahan amukannya.
Ditanya begitu, seketika Katha teringat Langit dan Shae. Dia yakin salah satu dari mereka yang pasti sudah kelepasan bicara.
“Ha? Nikah kontrak apaan? Ngaco lo,” kekeh Katha pura-pura. Tangan kanannya beralih mengusap tengkuk dengan resah.
Rabu tiba-tiba saja dengan cepat menarik tangan kanan Katha. Dia mencengkram pergelangan tangan sahabat yang susah mengawaninya sejak SMP itu. Matanya menatap tajam pada perempuan yang sekarang menampilkan wajah terkejut dan tak bisa disembunyikan.
“Kenapa lo bisa buat rencana konyol begitu, Tha?” geram Rabu.
Katha meringis, sebab rasa bersalah. “Bu ….”
“Segitu putus asanya lo dijodohin sama Om?” tuduh Rabu, namun tepat sasaran.
“Bu ….” Katha tahu bahwa tak seharusnya dia merahasiakan hal ini dari Rabu. Padahal dia bisa menceritakannya dengan mudah pada Langit dan Shae. Kalaupun ditertawakan Rabu, harusnya dia tak melanggar janji tak tertulis yang mereka buat, bahwa tak boleh ada rahasia apa pun di antara mereka. “Maaf. Tapi, gue memang harus cari cara biar nggak dijodohin sama Rendra.”
“Lo kenapa nggak cerita sama gue? Takut gue ketawain?”
Kini pergelangan tangan Katha sudah bebas dari cengkraman Rabu. Sayangnya, kini kedua bahunya yang jadi sasaran. Rabu bahkan sudah mengguncangkan kedua bahunya.
“Maaf,” ujar Katha. Saat kejadian seperti ini, dia baru sadar kalau mungkin dia akan sangat marah juga kalau ada di posisi Rabu. Menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu itu benar-benar tak enak. “Gue bener-bener harus cari cara buat batalin niat Papa jodohin gue sama Rendra.”
“Tapi, ya, nggak gitu caranya, Tha,” balas Rabu kesal. “Lo juga nggak bisa kencan buta sembarangan gitu.”
“Itu nggak sembarangan, Bu.”
“Nggak sembarangan gimana, Tha!” bentak Rabu. “Kalau lo diapa-apain gimana? Ha!” Ucapan Katha menyulut kemarahan yang sedari tadi ditahannya sekuat tenaga.
“Itu yang dikenalin ke gue orang-orang pilihan Papa sama Kandara, Bu.”
“Tapi nggak menjamin kalau aman! Gue yakin kalau lo pasti nggak datang kencan dengan pakaian normal.” Napas Rabu mulai memburu akibat dadanya yang serasa hampir meledak.
“Selama itu bisa buat gue nunda perjodohan sama Rendra, bakal gue lakuin. Apalagi bisa sampai membatalkan,” ucap Katha.
Itulah saat di mana kemarahan Rabu memuncak. Kalau terlihat, mungkin puncak kepala lelaki itu tak ada bedanya dengan gunung meletus, dan lahar merah membaranya sedang meleleh di sepanjang wajah.
“Katha!” bentaknya, hingga tubuh perempuan itu tersentak.
Katha membalas tatapan Rabu yang terlihat tak biasa. Baru kali ini dia melihat kemarahan yang teramat sangat di wajah sahabatnya itu.
“Gue bakal nikahin lo,” putus Rabu. Tentu saja hal itu membuat bola mata Katha nyaris melompat dari rongganya. “Kalau itu memang bisa buat lo berhenti ikut kencan buta atau berhenti ngerencanain nikah kontrak yang jauh lebih konyol dengan sembarang laki-laki itu, iya, gue bakal nikahin lo.”
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu
Beberapa penumpang yang baru naik, menarik koper atau tas mereka dengan susah payah di tengah gerbong yang ramai. Beberapa lainnya lagi, bergerak menuju pintu untuk turun. Beruntung kereta eksekutif punya kondisi yang nyaman, pendinginnya berfungsi dengan baik, hingga aroma-aroma keringat tak bertebaran seenaknya. “Kenapa lo ikut segala?” tanya Rabu pada Katha yang antusias melihat sekeliling. “Ha?” tanya Katha. Dia kini sudah menoleh ke arah Rabu yang menatapnya dengan raut serius. “Eh, ini karena jelang akhir pekan makanya ramai, ya?” Katha menunjuk orang-orang yang belum duduk di kursi mereka dan mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu. “Kenapa lo ikut gue, Tha?” ulang Rabu. Katha kini sepenuhnya menatap Rabu. Fokusnya sudah kembali, seiring dengan bunyi suara peluit yang ditiup petugas kereta api. “Mau ikut lo. Mau jenguk Ibu juga,” jawabnya. Rabu berdecak sambil mengurut pelipisnya. Tadi sewaktu mereka sampai di stasiun, tahu-tahu Katha tur
Rahayu menatap Katha sambil berkacang pinggang. Kepalanya terus digeleng-gelengkan, sementara Katha nyengir sembari sibuk menarik-narik jas yang dipakai putranya. “Itu kalau nggak ditutupin, Ibu goreng kamu,” ancam Rahayu. Dia menjatuhkan selang yang sudah mati airnya dan menunjuk rok Katha. “Bu, lepasin, ih!” bisik Katha sambil terus menarik lengan jas Rabu. Lelaki itu akhirnya mengalah dan merelakan jasnya dipakai Katha. “Udah ini, Bu. Udah,” ujar Katha usai mengikatkan jas Rabu mengelilingi pinggangnya. “Aku ikut Rabu mendadak, Bu. Dari kantor langsung naik kereta api.” Rahayu tiba-tiba saja terkekeh. “Eh, Nduk, Ibu masih suka aneh kalau ada yang manggil Rabu dengan panggilan Bu. Apalagi kalau kami ada di tempat yang sama.” “Aku juga, Bu,” timpal Rabu sembari melirik Katha. “Ya, gimana, dong? Mau diganti Guntur?” tawar Katha. “Beledek?” kekeh Rahayu. Katha langsung tertawa terbahak-bahak, lantas berlari menyongsong R
“Mau ngapain?” tanya Katha kala Rabu menitipkan air mineral padanya. “Ke toilet. Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” perintah Rabu. Katha mengangguk. Dia pun tak ingin ke mana-mana karena keadaan sekeliling sangat ramai. Saat ini Rabu dan Katha sedang berada di alun-alun Kota Batu. Mereka berangkat jam tujuh malam dengan balutan jaket tebal. Siang hingga sore tadi hujan mengguyur Malang, maka malam ini yang tersisa ialah hawa dingin, terlebih di Batu memang punya udara yang jauh lebih dingin. Kesendirian membuat Katha kembali menelusuri barisan para pedangang. Aroma berbagai macam jajanan membuat perutnya terasa lapar kembali. Padahal sebelum berangkat Rahayu sudah memaksa mereka makan malam. Katha tak tahu apa namanya, namun wilayan yang digunakan khusus untuk para pedagang ini cukup luas dan punya dua lantai. Dari lantai atas dia bisa mendengar suara live music yang mengalun. Ah, alun-alun ini banyak berubah, pikirnya.
Kunjungan singkat ke Malang itu berakhir. Katha dan Rabu pun sudah kembali terjun dalam kesibukan masing-masing. Namun, malam ini mereka janjian bertemu di Angkasa untuk membahas soal kontrak pernikahan yang sudah mereka sepakati di alun-alun Batu malam itu. Usai kerja, Katha menyempatkan pulang sebentar untuk berganti pakaian. Kali ini tak seperti biasanya, dia memilih memakai sweater dan celana jeans panjang, rambutnya pun dia ikat ekor kuda agar ringkas. “Tumben pakai baju kayak gitu,” celetuk Dewi. “Mau ke mana?” “Hehe, mau ke Angkasa,” jawab Katha sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Kamu ajak Kaia, ya?” pinta Dewi. Katha mengernyit. Dia hendak membahas sesuatu yang penting, jadi tidak mungkin rasanya membawa Kaia turut serta. “Memangnya Mama mau ke mana?” tanyanya kemudian. “Mama sama Papa ada undangan. Tempatnya lumayan jauh. Kasihan Kaia kalau diajak.” Helaan napas panjang keluar dari mulut