“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar.
Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri.
“Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah.
Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?”
“Karena Papa mau aku segera menikah.”
“Kenapa?”
Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya.
Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Rakha yang terlalu terbuka perihal masalah-masalah pribadi di pertemuan pertama mereka. Akan tetapi, Katha tidak mengatakan apa pun. Intinya dia menangkap persoalan yang sama mengenai desakan menikah.
“Kita punya permasalahan yang sama. Remember?” tanya Katha, lalu dijawab anggukan oleh Sakha.
“Nah, kenapa kita tidak coba menikah saja?” usul Katha.
Meski kata-kata itu sudah diucapkan sebelumnya oleh Katha, Sakha masih tetap merasa aneh mendengarnya. Dia bahkan merasa geli sendiri, meski saat membayangkan pernikahan dengan Katha yang baru ditemuinya hari ini, bukan hal buruk.
“Gimana?” tanya Katha sambil menaik-turunkan alisnya “Semacam nikah kontrak mungkin, ya, sebutannya,” lanjutnya. “Intinya kita menikah untuk membebaskan diri dari tuntutan yang tidak menyenangkan ini.” Dia mengibaskan tangannya ke udara.
Sakha jadi tak bisa menahan tawanya. “Aku paham maksudmu.”
“Jadi gimana?” desak Katha.
Membuat keputusan menikah dengan orang yang baru ditemui kurang dari dua jam itu adalah sesuatu yang cukup konyol, apalagi Katha adalah teman kencan saudara kembarnya. Hanya saja, tawaran itu terdengar menggiurkan.
“Tapi kamu jangan mengiyakan hanya untuk membuat Rakha kesal, ya!” Katha menunjuk wajah Sakha dengan jari telunjuknya.
Sakha mengibaskan tangan sambil tertawa. “Akut tidak pernah begitu. Entah apa saja yang sudah dia ceritakan.”
“Cerita dia tidak akan mempengaruhi apa pun. Semua berdasarkan apa yang kurasakan dan kualami sendiri.”
“Kayanya ada yang lupa soal Rendra,” cibir Sakha.
Alih-alih tersinggung, Katha justru tertawa keras. “Ah, sebut saja itu pengecualian. Jadi bagaimana?” Dia kembali menaik-turunkan alisnya.
“Oke,” jawab Sakha mantap.
“Yakin? Nggak perlu bersemedi dulu?”
“Aku bukan pertapa yang lagi cari ilmu kebal senjata,” kekeh Sakha. “Dan, ya, aku yakin. Toh bukan pernikahan sungguhan, bukan?”
Katha mengangguk. “Oke, deal!” soraknya. “Kapan-kapan kita bisa keluar bareng buat bahas lanjutannya.” Dia mengulurkan tangan.
“Sebelum itu, kita harus tukar nomor.” Sakha mengabaikan uluran tangan Katha dan malah meletakkan gawainya di telapak gadis itu.
Katha segera mengetikkan nomornya di gawai Sakha. Dia merasa bersemangat karena sudah punya solusi untuk menghindari perjodohan dengan Rendra. Sekarang dia hanya perlu mengulur waktu sebelum hari di mana dia akan membawa Sakha sebagai calon suaminya.
“Eh, sahabat kamu, tuh!” celetuk Sakha tiba-tiba.
Kepala Katha yang tadinya sedikit menunduk, kini mencoba semakin menenggelamkan dirinya sendiri di kursi. Dia bahkan nyaris menempelkan dahinya ke lutut.
Hal itu memancing tawa Sakha. “Dia sudah pergi. Sepertinya tidak jadi makan di sini, ya?”
Katha mendongak dan sudah tidak menemukan Rabu di area parkir Angkasa. Matanya waspada melirik ke kanan-kiri, karena takut tiba-tiba saja sahabatnya itu muncul. Ketika dirasa keadaan benar-benar aman, dia mengembuskan napas lega.
“Segitu takutnya,” kekeh Sakha.
“Bukan. Males aja,” sanggah Katha. Dia melirik jam tangan di pergelangan tangan. “Aku turun dulu, ya. Nanti aku hubungi untuk bahas soal tadi.”
Sakha mengacungkan jempol. Lantas, setelah kepergian Katha dari mobilnya, dia masih memandangi pintu masuk Angkasa yang seluruhnya terbuat dari kaca. “Menarik,” gumamnya.
***
Katha melongo saat mendapati Rabu duduk di kursi kerjanya. Dia baru saja kembali dari toilet sebelum beranjak pulang. Kandara sudah pergi lebih dulu sejak tadi, karena ada janji makan malam bersama teman-temannya.
“Kok lo di sini?” tanya Katha.
Rabu mecebik. “Kayaknya kemarin ada yang minta oleh-oleh, tapi tiba-tiba kabur gitu aja waktu disamperin.” Dia mengacungkan tas karton kecil di tangan kanannya.
Sorakan Katha langsung memenuhi lorong yang sudah sepi. “Ada angin apa, nih, tiba-tiba baik gini?” tanyanya sembari menyambar tas yang disodorkan padanya.
“Lo yang kena angin apa? Tumben banget jam delapan masih di kantor. Lo, kan, anti lembur.”
Gerakan tangan Katha yang hendak membuka tas karton dari Rabu terhenti. Dia jadi teringat alasannya betah di kantor seharian ini.
“Astaga, Bu! Kandara tiba-tiba otaknya kena sinar matahari.” Katha tertawa-tawa. “Dia akhirnya setuju Banyu Ayase jadi peran utama di produksi film baru.”
“Bhanu Ayase yang itu?” tanya Rabu. Itu yang dimaksud mengarah pada aktor yang sejak lama digilai Katha, bahkan sebelum seterkenal sekarang.
Katha mengangguk-anggukkan kepalanya semangat. “Sumpah, Bu, dia ganteng banget aslinya.”
Rabu tidak lagi menanggapi. Dia malah menunjuk tas di tangan Katha. “Mau diperiksa nggak? Soalnya kalau nggak suka mau gue kasih ke Mbak Susi di bawah.”
Katha mendengkus, jengkel juga kalau oleh-oleh yang jarang dia dapat dari sahabatnya itu diberikan ke pegawai resepsionis. Lantas, dia cepat-cepat membuka tas karton kecil di tangannya dan menarik sebuah kotak berwarna hitam dari sana. “Lo beliin gue perhiasan?” tanya Katha. Dia mengernyit sambil memandangi kotak itu.
Rabu mengangguk. “Lagi cari oleh-oleh buat Ibu, tiba-tiba lihat yang kayaknya cocok buat lo,” dustanya. Padahal dia sengaja masuk ke toko perhiasan untuk mencari oleh-oleh untuk Katha.
Rasa penasaran sekaligus heran membuat Katha membuka kotak itu. Sebab, seingatnya Rabu dulu sering kali menegur dirinya yang memakai perhiasan mahal semasa sekolah.
Sebuah kalung emas dengan liontin bunga matahari membuat Katha terkesiap. Dia tidak menyangka kalau Rabu akan membelikan dirinya hal semacam ini. Padahal dibelikan permen atau baju batik saja dia sudah senang.
“Nggak seperti lo,” celetuk Katha, namun matanya masih tampak terpesona. Kalung itu benar-benar sesuai seleranya. Bunga mataharinya tak berwarna emas, melainkan kuning cerah dengan bagian tengah berwarna kecokelatan.
Rabu tertawa. “Dulu lo bilang kalau bunga matahari simbol persahabatan kita. Jadi waktu lihat ini, gue jadi ingat omongan lo.”
Ucapan Rabu itu membuat Katha terharu. Dia tidak menyangka kalau Rabu masih mengingat perkataannya bertahun-tahun lalu.
“Suka?” tanya Rabu.
“Banget,” sahut Katha, lalu memasukkan kotak itu ke dalam tasnya yang ada di meja.
“Nggak dipakai?” tanya Rabu.
“Pakai dong. Besok gue pakai sama baju yang sesuai,” sahut Katha sambil merapatkan blazernya.
Rabu jadi curiga melihat itu. Dia memicingkan mata sambil berujar, “Lo pakai baju kurang ajar lagi, ya?”
Sebutan baju kurang ajar Rabu berikan pada pakaian-pakaian Katha yang tipis, terlalu ketat, pendek, terbuka dan terlalu seksi. Kali ini Rabu menduga bahwa Katha mengenakan blus yang ketat, sebab untuk bawahan gadis itu memakai celana panjang hitam.
Kekehan Katha sudah jadi jawaban yang tidak perlu didengar oleh Rabu. Lelaki itu langsung berdecak. “Lo nggak buka blazer pas ketemu Bhanu, kan?”
“Ya, enggaklah!” Walaupun cukup sering memakai pakaian yang tipis atau terbuka, Katha tahu pasti kondisi dan tempat yang tepat untuk memakainya.
“Jangan kebiasaan,” tegur Rabu untuk yang kesekian kalinya.
“Beres,” sahut Katha. “Jadi, ada kejadian apa aja di Jogja? Kayaknya seru sampe sering lupa ngabarin.”
Rabu tertawa, namun pertemuannya dengan Felysia kembali teringat. Tawanya perlahan hilang. Dia menatap Katha yang sudah mengangkat tas dari atas meja dan menarik tangannya menuju elevator. “Tha,” panggilnya.
Katha menoleh, lalu keningnya berkerut saat menemukan ekspresi aneh di wajah Rabu. “Kenapa?”
“Gue ketemu lagi sama Felysia di Jogja,” ujarnya.
***
Katha berdecak. Dia memasukkan dua ekor udang berukuran sedang ke dalam mulut. Langit yang melihatnya seketika tertawa dan menggoda Katha dengan menekan-nekan hidung perempuan itu. Sedangkan Rabu berdecak dan langsung mengangsurkan air mineral miliknya.
“Lo bodoh banget, Bu!” umpat Katha usai menelan udangnya. Dia mengambil air mineral dari tangan Rabu, lalu meneguknya. “Ya, kan, Ngit?”
Langit yang dimintai persetujuan segera mengangguk. Kali ini dia sependapat dengan Katha mengenai masalah pertemuan Rabu dan Felysia di Jogja.
“Apa, ya, istilahnya?” gumam Langit. “Lo terlalu baik?”
Katha mengibaskan tangannya. “Bukan terlalu baik itu, Ngit! Tapi, terlalu bego.”
Langit tertawa terbahak-bahak saat melihat ekspresi masam Rabu. “Dikatain bego, tuh, Bu!”
Rabu meraih gelas ice lemon tea milik Katha dan meminumnya dalam sekali teguk hingga tandas sebagai bentuk balas dendam. Hal itu tentu saja membuat keadaan terbalik. Kekesalan Rabu berkurang dan dia malah menertawai Katha yang siap menerkam.
“Tapi, Bu, gue penasaran. Sebenarnya lo masih ada rasa sama Fely, nggak?” tanya Langit, sebelum Katha sempat membalas dendam.
Pertanyaan Langit membuat meja itu jadi sunyi. Suara musik yang mengalun mengisi sepi di antara mereka. Apalagi para pelanggan sudah banyak berkurang, sebab jarum jam hampir menyentuh angka sepuluh.
Katha sendiri berhenti makan. Entah kenapa dia merasa khawatir dengan jawaban Rabu. Namun, sebisa mungkin dia menutupinya dan bertindak seolah-olah hanya penasaran. Karena kalau sampai Rabu tahu dia khawatir, maka sahabatnya itu akan merasa bersalah karena membuatnya merasa demikian. Meskipun sebetulnya bukan dia penyebab utama dari putusnya Rabu-Fely di masa lalu.
Gelengan kepala Rabu membuat Katha menghela napas pelan. Dia melirik sahabatnya yang tersenyum lembut. Padahal Katha tahu sekali gejolak perasaan Rabu sewaktu mereka di elevator kantornya tadi.
“Kalau begitu, bukan masalah kalau kalian ketemu, kan?” todong Langit.
Rabu mengangguk lagi. “Iya, tidak masalah. Mungkin gue cuma punya sisa-sisa kemarahan untuk masalah dulu. Maklum, manusia.”
Langit mangangguk-angguk kepala, lalu menoleh ke arah Katha. “Kenapa diam, Tha? Tiba-tiba sariawan?” kelakarnya.
Katha langsung melotot dan mengacungkan garpu di tangan kanannya ke arah Langit yang masih tertawa. Lelaki itu langsung melindungi kepalanya dengan lengan yang disilangkan.
“Awas, lo! Gue aduin Rabu ntar!” ancam Langit saat Katha mengarahkan ujung heels di atas kakinya.
“Aduin apa?” tanya Rabu.
Katha langsung melotot ke arah Langit. Sementara lelaki itu malah menahan tawa, lalu menjulurkan lidah. Persoalan kencan buta dan perjodohan Katha tentunya masih dirahasiakan dari Rabu untuk batas waktu yang belum diketahui. Namun, Langit sengaja memancing Rabu agar Katha jadi kelabakan sendiri.
“Bukan apa-apa,” sahut Katha. Dia memasang senyum manisnya, tapi malah disambut picingan mata Rabu.
“Ngelakuin hal absurd apa lagi lo?” tanya Rabu.
“Enggk, gue nggak ngapa-ngapain. Langit aja yang asal ngomong,” tuduh Katha. Sekali lagi, dia melotot pada Langit.
“Apaan, Ngit? Ngapaian aja dia selama gue nggak ada? Nggak godain pelanggan lo, kan?” tanya Rabu.
“Bu!” pekik Katha.
Langit menaikkan sebelah alisnya dan menyeringai ke arah Katha. “Itu, Om Agung mau jodohin Bang Kandara. Tapi, Katha-nya nggak setuju.”
“Kenapa?” petanyaan itu Rabu tujukan pada Katha yang sedang mengembuskan napas lega.
“Ha?” Katha terkejut dengan kebohongan Langit yang baru dia sadari setelah sedetik rasa leganya. Dia melotot ke arah lelaki itu, lalu kembali menatap Rabu. “Oh, nggak apa-apa. Nggak suka aja Kandara dijodohin,” jawabnya sambil nyengir. Beruntung respon kepalanya lumayan cepat.
Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengurut pelipisnya sendiri. “Sebenarnya gue juga lagi dalam posisi serupa sama Kandara. Ibu minta gue pulang, katanya mau dikenalin sama anak teman-temannya.
Katha merasa rahangnya hampir jatuh mendengar pengakuan Rabu. Sebab, seingatnya ibu sahabatnya itu tak pernah mempertanyakan kehidupan romansa anak-anaknya.
Langit memasukkan udang ke dalam mulut Katha yang terbuka. “Nggak usah lebay gitu kagetnya. Kita, kan, udah hampir tiga puluh. Orang tua gue juga sama,” ujarnya.
Bukannya marah karena keusilan Langit, Katha malah tertawa terbahak-bahak. Dia senang karena bukan hanya dia saja yang didesak perjodohan. Rabu dan Langit ternyata memiliki nasib serupa. Hanya saja miliknya lebih mengenaskan, karena papanya cenderung memaksa dan tak segan mengancam.
“Sabar, Bu. Ibu pasti cuma mau pastiin anaknya normal atau nggak,” ucap Katha sambil menepuk-nepuk pundak Rabu.
Mata Rabu langsung melotot. Dia menepis tangan Katha dari bahunya.
“Eits! Nggak boleh ngumpat,” peringat Katha. Lalu dia terbahak-bahak bersama Langit, karena umpatan Rabu yang terpaksa ditelan kembali.
***
“Siap?” tanya Katha pada Sakha.
Keduanya sedang berada di dalam mobil Sakha yang terparkir di depan gerbang rumah Katha. Perempuan itu sebelumnya mengisyaratkan Hadi untuk menunda membuka gerbang rumah.
Anggukan Sakha membuat Katha melanjutkan ucapannya. “Pokoknya bicara sesuai yang udah kita susun.”
Sakha tertawa pelan. “Iya. Kita sudah pernah kenal sebelum kamu kencan sama Rakha. Terus, kita ketemu lagi waktu kamu sama Kandara rapat di Etj.”
“Bagus,” ujar Katha. Dia memang cukup gugup karena akan membohongi papa dan mamanya. Apalagi ini hal besar, bukan sekedar mencomot uang lima ratus ribu dari dompet belanja mamanya.
“Tenang, Tha. Nggak usah gugup begitu.” Sakha menepuk pundak Katha pelan.
Katha mengulas senyum. Dia menarik napas panjang berkali-kali sampai dirinya merasa tenang untuk melakukan sandiwara yang berbahaya itu.
“Siap?” Kali ini Sakha mengajukan pertanyaan yang sama dengan Katha.
Katha mengamati penampilan Sakha yang tampak lebih rapi dibanding biasanya. Dia cukup mengapresiasi totalitas lelaki itu. Padahal dia tahu kalau Sakha suka memakai pakain-pakaian yang tak biasa, seperti jaket denim di permukaan setelan kerjanya saat pertemuan pertama mereka.
“Siap,” ucap Katha mantap.
Usai itu, Sakha langsung menekan klakson mobilnya, agar Hadi membukakan pagar.
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu
Beberapa penumpang yang baru naik, menarik koper atau tas mereka dengan susah payah di tengah gerbong yang ramai. Beberapa lainnya lagi, bergerak menuju pintu untuk turun. Beruntung kereta eksekutif punya kondisi yang nyaman, pendinginnya berfungsi dengan baik, hingga aroma-aroma keringat tak bertebaran seenaknya. “Kenapa lo ikut segala?” tanya Rabu pada Katha yang antusias melihat sekeliling. “Ha?” tanya Katha. Dia kini sudah menoleh ke arah Rabu yang menatapnya dengan raut serius. “Eh, ini karena jelang akhir pekan makanya ramai, ya?” Katha menunjuk orang-orang yang belum duduk di kursi mereka dan mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu. “Kenapa lo ikut gue, Tha?” ulang Rabu. Katha kini sepenuhnya menatap Rabu. Fokusnya sudah kembali, seiring dengan bunyi suara peluit yang ditiup petugas kereta api. “Mau ikut lo. Mau jenguk Ibu juga,” jawabnya. Rabu berdecak sambil mengurut pelipisnya. Tadi sewaktu mereka sampai di stasiun, tahu-tahu Katha tur
Rahayu menatap Katha sambil berkacang pinggang. Kepalanya terus digeleng-gelengkan, sementara Katha nyengir sembari sibuk menarik-narik jas yang dipakai putranya. “Itu kalau nggak ditutupin, Ibu goreng kamu,” ancam Rahayu. Dia menjatuhkan selang yang sudah mati airnya dan menunjuk rok Katha. “Bu, lepasin, ih!” bisik Katha sambil terus menarik lengan jas Rabu. Lelaki itu akhirnya mengalah dan merelakan jasnya dipakai Katha. “Udah ini, Bu. Udah,” ujar Katha usai mengikatkan jas Rabu mengelilingi pinggangnya. “Aku ikut Rabu mendadak, Bu. Dari kantor langsung naik kereta api.” Rahayu tiba-tiba saja terkekeh. “Eh, Nduk, Ibu masih suka aneh kalau ada yang manggil Rabu dengan panggilan Bu. Apalagi kalau kami ada di tempat yang sama.” “Aku juga, Bu,” timpal Rabu sembari melirik Katha. “Ya, gimana, dong? Mau diganti Guntur?” tawar Katha. “Beledek?” kekeh Rahayu. Katha langsung tertawa terbahak-bahak, lantas berlari menyongsong R
“Mau ngapain?” tanya Katha kala Rabu menitipkan air mineral padanya. “Ke toilet. Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” perintah Rabu. Katha mengangguk. Dia pun tak ingin ke mana-mana karena keadaan sekeliling sangat ramai. Saat ini Rabu dan Katha sedang berada di alun-alun Kota Batu. Mereka berangkat jam tujuh malam dengan balutan jaket tebal. Siang hingga sore tadi hujan mengguyur Malang, maka malam ini yang tersisa ialah hawa dingin, terlebih di Batu memang punya udara yang jauh lebih dingin. Kesendirian membuat Katha kembali menelusuri barisan para pedangang. Aroma berbagai macam jajanan membuat perutnya terasa lapar kembali. Padahal sebelum berangkat Rahayu sudah memaksa mereka makan malam. Katha tak tahu apa namanya, namun wilayan yang digunakan khusus untuk para pedagang ini cukup luas dan punya dua lantai. Dari lantai atas dia bisa mendengar suara live music yang mengalun. Ah, alun-alun ini banyak berubah, pikirnya.
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya