Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna.
Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu.
Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya.
“Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha.
Katha mengulas senyum tipis. Dia sudah kehilangan selera, selain karena cerita panjang Rakha, juga karena tak ada godaan yang bisa dia lakukan.
“Kalau menurut kamu, saya bagaimana?” tanya Rakha. Dia melipat lengan di atas meja dengan tubuh condong ke depan.
Seharusnya Katha bisa mengiyakan sosok Rakha dibanding harus bertemu dengan Rendra. Namun entah mengapa dia merasa tidak bisa klik. Terlebih setelah cerita panjang Rakha yang menurutnya terlalu terbuka dan suram, seakan-akan lelaki itu tak punya sisi cerah di hidupnya.
“Kalau saya tanya pendapat kamu dulu, boleh tidak?” Katha balik bertanya. Dia menyibak rambut panjangnya ke belakang, hingga bagian depan tubuhnya lebih terlihat.
“Saya rasa kamu cukup pintar untuk tahu isi kepala saya tentang kamu.” Rakha tersenyum dengan pipi yang sedikit bersemu. “Saya …” Lelaki itu menggelengkan kepala, lalu mengayunkan telapak tangan—mempersilahkan Katha menjawab tanyanya tadi.
“Saya tertarik dengan banyak lelaki,” bisik Katha pada akhinya. Dia menoleh ke kanan-kiri, seolah-olah waspada ada yang mendengar ucapannya. Tubuhnya dia condongkan ke tengah meja.
Kedua ujung alis Rakha nyaris bertemu. “Kamu sebelumnya sudah pernah ikut kencan buta?” tebaknya.
Anggukan Katha mewakilkan jawabannya. Dia menjentikkan jari. “Tepat sekali.”
“Berapa kali?”
“Dua.”
“Semua membuatmu tertarik?”
Suara Rakha kali ini terdengar sedikit memelan, namun Katha bisa mendengar setitik harapan di sana.
“Mereka semua menarik,” dusta Katha. Padahal dia masih mual kala terbayang kombinasi Dufan dan Seiya, serta muak mengingat perkataan Danu Sanjaya.
Bahu Rakha melemas. Dia menjauhi meja dan menyandarkan punggung ke kursi. “Mungkin kita harus sering bertemu setelah ini,” ujarnya. “Saya tertarik sekali sama kamu, Katharina.”
Katha diam dan mulai memikirkan hal lain yang bisa menghentikan percakapan. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Jam makan siang sudah berlalu, namun Kandara sudah terlanjur mengatakan pada Rakha kalau hari ini dia dibebaskan dari pekerjaan.
Lalu, seperti menjawab kerisauannya, gawai Rakha berbunyi. Lelaki itu segera meminta izin untuk menjawab panggilan. Bola mata Katha mengikuti ekspresi wajah Rakha. Bisa dia tangkap bahwa lelaki itu mendesah kecewa. Beberapa detik kemudian, panggilan diputus.
“Ah, maaf sekali, saya harus kembali ke kantor. Ada hal mendesak.”
Raut kecewa Rakha berbanding terbalik dengan sorakan di kepala Katha. Dia langsung mengangguk dan mengulas senyum ramah. “Tidak masalah. Pekerjaan itu pasti butuh kamu dibanding saya.”
“Maaf, ya,” ucap Rakha. Dia bahkan berani menyentuh punggung tangan Katha dengan lembut.
Katha mengayun lengannya dan balas membelai punggung tangan Rakha. “Tidak masalah. Hati-hati di jalan.” Padahal, Rakha belum berdiri dari duduknya.
Sebab ucapan Katha itu, akhirnya Rakha bangkit. Dia memasang kembali jas biru tua yang tadi dilepasnya. “Senang bertemu denganmu. Saya harap kita punya kencan lain lagi biar saya jadi lebih menarik dibanding mereka.”
“Sayangnya tidak ada yang lebih menarik dibanding diri saya sendiri,” goda Katha dengan kepercayaan dirinya.
Rakha tertawa. Dia mengulurkan tangan. “Saya tidak bisa berdebat soal itu.”
Katha mengedipkan sebelah matanya, lalu membalas uluran tangan Rakha.
Saat Rakha sepenuhnya menghilang dari pintu Angkasa, Katha cepat-cepat berdiri. Dia menoleh ke sekitar untuk mencari sosok Langit. Dan di balik meja kasir Katha menemukan Langit yang sedang bersandar di dinding sambil mencibir ke arahnya. Dia pun memilih menghampiri Langit dan meninggalkan tasnya di meja.
“Lancar, nih, kayaknya,” ucap Langit.
Katha menggeleng-gelengkan kepala “Kacau. Baru ini gue ketemu cowok yang ngumbar sisi kelam hidupnya ke orang baru. Apalagi teman kencan.” Dia melipat lengan di depan dada.
Langit tertawa. “Ya, mungkin itu spesies baru. Jenis baru yang mungkin cocok untuk mengalahkan posisi Rendra di depan Om.”
“Gue nggak bisa bayangin hidup sama dia dan ikut-ikutan masuk ke lubang hitam. Bisa hancur pesona gue.” Katha mengibaskan rambutnya.
Langit cepat-cepat menarik rambut Katha ke depan lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Buset, Tha. Kancingin itu baju.”
“Eh, lupa,” kekeh Katha. Tangannya segera bergerak untuk mengancingkan blus putihnya. “Ngomong-ngomong, Rabu nggak bakal ke sini, kan?” tanyanya. Tiba-tiba dia teringat kejadian semalam di mana Rabu muncul secara mendadak.
“Lo tenang aja. Tadi gue sendiri yang antar makan siang dia ke kantor.”
Perasaan lega langsung mengaliri dada Katha. Dia bisa membayangkan betapa malu dirinya kalau Rabu sampai tahu dia melakukan kencan buta. Apalagi dia belum sempat membungkam para karyawan Langit.
“Ya, udah, gue mau tidur di situ.” Katha menunjuk mejanya. “Nanti bangunin kalau udah jam empat. Gue mau ke kantor Rabu.”
Langit berdecak. “Tidur di ruangan gue, Tha. Itu buat pelanggan.”
“Gue pelanggan, karena gue bayar,” sahut Katha cuek.
Namun, sebelum Katha beranjak meninggalkan Langit untuk kembali ke mejanya, matanya menemukan wajah Rakha Atmaja yang tahu-tahu ada di sebelahnya. Hampir saja dia terjatuh kalau Langit tidak mencengkram lengannya.
“Eh, Rakha?” tanyanya. Katha mengernyit saat menemukan keanehan. Ekspresi itu berbeda. Begitu juga dengan penampilan Rakha yang ada di sebelahnya.
“Oh, kamu yang habis kencan dengan Rakha?”
Pertanyaan itu membuat Katha mengingat satu cerita Rakha tadi: saudara kembar. “Kamu Sakha Atmaja?” tanya Katha.
Lelaki itu mengangguk, lalu tersenyum. “Dia cerita soal aku atau kamu tahu kalau Pak Atmaja punya anak kembar?”
“Dia cerita,” jawab Katha. “Jadi, ada apa?” Keheranan itu menyergap kala ia sadar betul bahwa Sakha memang datang menghampirinya.
“Ah, enggak. Aku mau duduk di kursi itu, tapi ada tas. Aku pikir itu pasti tasmu,” sahut Sakha sambil menunjuk meja yang tadi diduduki Katha.
“Oh, aku kira kamu menghampiriku karena tahu aku teman kencan kembaranmu.”
Sakha tertawa renyah, lalu dia menggeleng-gelengkan kepala sambil mengibaskan lengan. “Tidak. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu dia ada kencan di sini. Dan siapa sangka kita malah bertemu.”
Tawa Sakha menulari Katha. “Sebuah kebetulan yang menarik.” Dia melirik Langit, lalu memberi kode dengan ekor matanya agar lelaki itu pergi.
Langit mendengkus, lantas beranjak ke arah dapur. Dalam hati ingin sekali dia melaporkan Katha pada Rabu agar kegilaan anak perempuan Agung itu cepat berakhir.
“Ngomong-ngomong, kamu ada urusan apa di sini? Jam makan siang sudah berlalu, kan?” tanya Katha.
“Sama seperti Rakha, aku juga ada jadwal kencan buta.”
Katha mengangkat kedua alisnya. “Sebuah pilihan yang unik, kencan di restoran keluarga seperti ini.”
“Bukannya kamu juga begitu?” kekeh Sakha.
“Aku selalu kencan di sini. Ini tempat favoritku. Makanannya juara.” Katha mengacungkan jempolnya.
“Sepertinya rumor yang kudengar benar. Kalau tidak keberatan, boleh aku duduk di meja yang sama? Kamu bisa merekomendasikan makanan yang menurutmu bisa memenangkan lidah semua orang,” ujar Sakha.
Katha dengan cepat mengangguk. Percakapan singkat yang tak terduga itu membuat Katha tiba-tiba jadi bersemangat. Apalagi, Sakha Atmaja memiliki penampilan yang berbeda. Lelaki itu tampak unik dengan kemeja kerja yang dibungkus jaket denim.
Keduanya lantas melangkah menuju meja, di mana tas Katha masih diam dengan aman. Meja sepenuhnya telah bersih. Gelas kosong yang tadi tersisa juga sudah diangkut.
“Teman kencanmu mana?” tanya Katha.
Sakha tiba-tiba menggeleng. Dia membuat gesture seakan-akan sedang berbisik, padahal suaranya bisa didengar dalam radius satu meter. “Sebetulnya, aku sudah muak kencan buta.”
Tawa Katha langsung menyembur. Ucapan Sakha itu juga mewakilkan dirinya. “Berapa kali?” tanyanya.
“Lebih dari sepuluh?” jawab Sakha tidak yakin. “Jadi, bisa kita kencan dadakan? Aku merasa oke ngobrol sama kamu.”
Katha mengedipkan sebelah matanya. “Aku juga oke.”
Lantas keduanya bertukar nama, mengobrol dan menghabiskan beberapa makanan setelah Sakha membatalkan kencannya secara sepihak. Dia sempat mematikan sambungan telfon saat Katha bisa mendengar teriakan dari lawan bicaranya.
“Aku pernah bertemu Rendra. He is a nice person,” ungkap Sakha.
Ucapan Sakha membuat Katha sedikit merasa geli. Namun, dia hanya mengangkat bahu. “Entah. Aku merasa akan ada hal buruk kalau aku ketemu dia.”
“Seperti diseret ke KUA?” goda Sakha.
“Bagaimana kamu bisa tau apa yang kupikir?” kekeh Katha.
“Kehebatan seorang Sakha,” ujar lelaki itu sambil menyugar rambut hitam legamnya.
Rambut hitam yang sebenarnya sudah diperhatikan Katha sejak keduanya duduk di meja yang sama itu, tiba-tiba memanggil ingatannya pada beberapa peristiwa. “Sakha, kamu punya kenalan yang namanya Tiara?”
“Ada,” jawab Sakha diiringi kernyitan di dahinya.
“Kamu pernah datang ke pesta ulang tahunnya?”
Anggukan Sakha membuat Katha tiba-tiba tersenyum lebar. Dia menepuk tangan dengan semangat karena keyakinan yang menguat. “Kamu waktu itu bantu perempuan yang lagi mabuk, bukan?”
Sakha mengingat jelas kejadian yang dimaksud Katha, karena waktu itu dia terpaksa memberikan sebotol air mineral yang tersisa di rumah Tiara. “Yang pakai gaun merah?”
Katha menjentikkan jarinya. “Tepat.”
“Kalau seingatku itu bukan kamu.”
“Memang bukan aku. Itu sahabatku.” Katha tertawa kala Sakha meresponnya dengan menaikkan kedua alis. “Dan, ya, aku mengingat rambut yang kelihatan sangat gelap itu.” Dia menunjuk rambut Sakha. “Belum lama ini, kamu juga ke Dufan, kan?”
Kernyitan Sakha kian mendalam. “Iya. Apa saat itu kamu juga di sana?”
Katha tertawa sekaligus merasa mual. “Astaga aku malu banget. Waktu itu teman kencanku muntah di sepatumu.”
“Ah, itu.” Sakha mengacungkan jarinya dan menepuk-nepukkannya ke tulang pipi. “Aku ingat,” kekehnya. “Kamu nunduk terus waktu itu.”
Katha berdecak. “Sumpah, aku malu banget. Tapi uniknya, aku bisa ingat sekali sama rambutmu.”
“Karena terlalu hitam?”
Katha mengangguk. “Itu kamu cat, atau ….” Katha tidak bisa melanjutkan ucapannya karena matanya menangkap sesuatu. "Turun!” pekiknya terlahan. Dia sendiri langsung turun ke bawah meja sambil menarik tas.
Sakha menoleh sambil kebingungan. Namun, saat Katha menarik-narik celananya, dia pun akhinya ikut bersembunyi di bawah meja.
“Ada apa?” Sakha otomatis berbisik.
Katha mendesis sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Mata perempuan itu mengikuti pergerakan kaki seseorang yang baru memasuki Angkasa. “Sial si Langit!” umpatnya.
“Kenapa?” tanya Sakha lagi. Dia masih tidak mengerti alasan Katha menyeretnya bersembunyi di bawah meja seperti orang yang ketahuan selingkuh. Atas pemikiran itu, matanya tiba-tiba terbelalak. “Kamu sudah menikah?” tanyanya.
Katha langsung menoleh dan melotot. “Itu ada sahabat aku.” Dia menunjuk ke arah kaki yang sedari tadi dia perhatikan. Sosok itu memang Rabu, lelaki yang dipastikan Langit tidak akan datang ke Angkasa hari ini. Namun, ternyata ucapan Langit keliru.
“Memangnya kenapa kalau ada dia?” Sakha bertanya heran.
“Dia bakal ngetawain kalau tahu aku mau dijodohin Papa dan harus ikut kencan buta untuk menghindari itu,” jawab Katha masih dengan suara lirih.
Namun, tiba-tiba saja atas ucapannya sendiri, terbersit suatu ide di kepala Katha. Dia menoleh ke arah Sakha yang masih mengernyit. Lelaki itu hendak menanyakan sesuatu, tapi dia dengan cepat mendahului.
“Sakha, aku tiba-tiba punya ide yang bagus buat kita berdua,” celetuknya sambil tersenyum lebar, seolah-olah menemukan solusi paling tepat.
“Apa?” tanya Sakha.
“Bagaimana kalau kita menikah?”
“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu
Beberapa penumpang yang baru naik, menarik koper atau tas mereka dengan susah payah di tengah gerbong yang ramai. Beberapa lainnya lagi, bergerak menuju pintu untuk turun. Beruntung kereta eksekutif punya kondisi yang nyaman, pendinginnya berfungsi dengan baik, hingga aroma-aroma keringat tak bertebaran seenaknya. “Kenapa lo ikut segala?” tanya Rabu pada Katha yang antusias melihat sekeliling. “Ha?” tanya Katha. Dia kini sudah menoleh ke arah Rabu yang menatapnya dengan raut serius. “Eh, ini karena jelang akhir pekan makanya ramai, ya?” Katha menunjuk orang-orang yang belum duduk di kursi mereka dan mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu. “Kenapa lo ikut gue, Tha?” ulang Rabu. Katha kini sepenuhnya menatap Rabu. Fokusnya sudah kembali, seiring dengan bunyi suara peluit yang ditiup petugas kereta api. “Mau ikut lo. Mau jenguk Ibu juga,” jawabnya. Rabu berdecak sambil mengurut pelipisnya. Tadi sewaktu mereka sampai di stasiun, tahu-tahu Katha tur
Rahayu menatap Katha sambil berkacang pinggang. Kepalanya terus digeleng-gelengkan, sementara Katha nyengir sembari sibuk menarik-narik jas yang dipakai putranya. “Itu kalau nggak ditutupin, Ibu goreng kamu,” ancam Rahayu. Dia menjatuhkan selang yang sudah mati airnya dan menunjuk rok Katha. “Bu, lepasin, ih!” bisik Katha sambil terus menarik lengan jas Rabu. Lelaki itu akhirnya mengalah dan merelakan jasnya dipakai Katha. “Udah ini, Bu. Udah,” ujar Katha usai mengikatkan jas Rabu mengelilingi pinggangnya. “Aku ikut Rabu mendadak, Bu. Dari kantor langsung naik kereta api.” Rahayu tiba-tiba saja terkekeh. “Eh, Nduk, Ibu masih suka aneh kalau ada yang manggil Rabu dengan panggilan Bu. Apalagi kalau kami ada di tempat yang sama.” “Aku juga, Bu,” timpal Rabu sembari melirik Katha. “Ya, gimana, dong? Mau diganti Guntur?” tawar Katha. “Beledek?” kekeh Rahayu. Katha langsung tertawa terbahak-bahak, lantas berlari menyongsong R
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya