“Kamu tadi kabur dari kencanmu?” tuduh Agung.
Katha yang baru masuk ke ruang keluarga, langsung tersentak. Dia terkejut karena tiba-tiba disemprot pertanyaan seperti itu.
“Apanya yang kabur?” tanya Katha ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya.
“Tadi papanya Seiya telfon Papa. Katanya kamu ninggalin Seiya yang lagi sakit di Dufan.”
Katha memutar bola matanya malas. Kini nilai minus saja sudah tak bisa dia berikan pada Seiya. Lelaki itu rupanya anak manja yang suka mengadu. Lagi pula, apa tadi? Sakit? Huh, omong kosong! batinnya.
“Dia itu gila, Pa,” jawab Katha.
“Astaga Katha.” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ternyata tidak sadar kalau kamu itu yang gila.”
Tiba-tiba suara tawa terdengar dari arah tangga. Katha menoleh dan menemukan Kandara yang baru turun dari lantai dua. Kakaknya itu berpakaian santai dengan rambut masih basah.
“Ketawa seenaknya. Keringin dulu itu rambut. Bikin becek!” Katha melampiaskan kekesalannya pada sang kakak.
“Belum ada satu menit, lo sudah membuktikan ucapan Papa,” sahut Kandara dengan tawa yang makin keras.
Agung mengabaikan adu mulut kakak-adik itu. “Papa udah nggak bisa kasih toleransi. Pokoknya Papa akan atur pertemuan dengan keluarga Rendra secepatnya,” putusnya.
Katha melotot tidak terima. “Nggak bisa gitu, dong, Pa. Papa melanggar janji!” pekiknya.
“Kamu yang melanggar janji. Waktu ketemu teman Kandara, kamu pura-pura sudah tunangan sama Langit, kan?” tuding Agung.
Mendengar itu, Katha jadi ingin mengutuk Danu Sanjaya. Lelaki yang matanya kurang terpelajar itu rupanya juga suka mengadu seperti Seiya.
“Dan tadi, kamu meninggalkan Seiya yang sedang sakit sendirian,” tambah Agung tanpa memberi kesempatan Katha untuk membela diri. Lelaki paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepala karena pusing atas kelakukan putrinya.
“Dia nggak sakit, Pa. Dia gila,” sahut Katha lagi.
Agung menepuk keningnya. “Terserah. Pokoknya Papa udah nggak bisa berkompromi lagi sama kamu. Perjanjian kencan buta itu batal dan Papa akan atur pertemuan dengan keluarga Rendra.”
“Nggak bisa gitu, dong, Pa,” rengek Katha. Perempuan itu sekarang sudah menghentak-hentakkan kaki dengan keras.
Kandara yang sedari tadi tertawa menyaksikan adu mulut antara Tom and Jerry versi keluarganya, kini berlari ke ruang makan. Dia tak mau Katha menyeret-nyeret namanya lagi seperti beberapa waktu lalu.
“Papa nggak lagi dagang, Tha. Kamu nggak bisa nawar. Pokoknya kamu harus datang kalau Papa sudah tentukan waktunya. Kalau sampai tidak datang, Papa suruh Kandara pecat kamu.”
“Mama!” Katha berteriak memanggil Dewi.
Dewi muncul dari ruang makan sambil menutupi telinga kanan Kaia di gendongannya. “Kalian itu berisik banget. Nggak ingat, ya, kalau ada anak kecil di sini?” bentaknya.
“Papa itu, Ma,” adu Katha.
“Mama jangan bela dia!” larang Agung.
Dewi menggeleng-gelengkan kepala sembari menghela napas panjang. “Ayo kita nonton kartun, Kai,” ujarnya pada Kaia, mengabaikan suami dan anak bungsunya. Bocah berusia lima tahun itu langsung mengangguk dan memeluk leher omanya.
Sementara Agung sontak menyilangkan lengan di depan dada kala Katha hendak angkat bicara. Dia menggeleng, lalu menyusul Kandara ke ruang makan.
“Papa!” jerit Katha seorang diri di ruang keluarga.
***
Katha baru saja turun ke basement kantor Atj Entertainment, kala telinganya mendengar perseteruan. Kepalanya yang sedikit pusing akibat rapat sejak pagi, kian menggigit saat didengarnya beberapa kata makian yang terlontar. Kalau dari suaranya, Katha tahu bahwa itu suara seorang perempuan.
Namun, Katha tak punya pilihan selain mendekat dan segera masuk ke mobil Kandara. Kalau kembali ke dalam, dia tak tahu harus melakukan apa. Kandara tadi memintanya kembali ke kantor lebih dulu, kerena harus bertemu dengan seorang teman.
Katha pun berjalan pelan sambil menahan suara yang bisa ditimbulkan oleh high heels-nya. Semakin mendekat, suara pertengkaran itu kian jelas. Katha bahkan bisa melihat dua sosok yang berdiri tak jauh dari mobil Kandara.
“Kamu nggak becus! Bisa-bisa kamu kalah sama dia. Mau?” teriak perempuan paruh baya itu sambil menuding-nudingkan jari telunjuk pada lawan bicaranya.
“Tidak, Ma,” sahut lelaki yang Katha tebak sebagai anak dari perempuan yang marah-marah itu.
“Terus apa yang kamu lakukan tadi? Ha?”
“Aku tadi cuma mau ambil perhatian Papa.”
“Dengan berbuat ceroboh? Bodoh kamu!” Perempuan itu melotot. Jari telunjuknya bahkan mendorong dahi anaknya sendiri, hingga lelaki itu terdorong beberapa langkah ke balakang. Bukan karena tubuhnya kurus, melainkan dia terlihat sengaja membiarkan sang ibu menuntaskan emosi padanya.
Lama-lama, Katha tidak bisa tahan melihat kejadian itu. Dia rasa perempuan itu sudah keterlaluan,terlebih ini adalah tempat umum.
Katha pun akhirnya berjalan menuju ibu-anak itu. Dia memegang kepala sambil berjalan sempoyongan. Seketika, tubuhnya dia tabrakkan pada ibu yang tadi sempat mengangkat tangan, seperti hendak memukul putranya. Akibatnya, Katha dan ibu itu jatuh di atas lantai basement.
“Aduh.” Katha berpura-pura memegang kepalanya sambil terpejam.
“Heh! Kamu punya mata tidak?” teriak perempuan paruh baya itu. Dia sudah berdiri dibantu sang putra.
Sementara Katha terduduk masih dengan memegang kepalanya. “Maaf, Bu. Saya sedang tidak enak badan dan sakit kepala. Jadi tadi tidak bisa fokus lihat jalan dan tidak sengaja menabrak Ibu,” dusta Katha. Dia sengaja meringis untuk memperkuat kebohongannya.
Perempuan paruh baya itu tak menjawab. Dia menepis tangan sang anak yang memegangi lengannya, lalu berjalan cepat menuju elevator.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya anak lelaki perempuan itu sambil mengulurkan tangan.
Katha menggelengkan kepala dan langsung berdiri dari posisi duduknya, mengabaikan uluran di depan wajah. Dia menepuk-nepuk rok hitamnya yang terkena debu.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya lelaki itu lagi, karena Katha tak kunjung menjawab.
Katha akhirnya menoleh, namun matanya langsung terbelalak kala melihat luka sepanjang setengah sentimeter di pipi kanan lelaki itu. Ada sedikit darah yang keluar dari sana.
“Pipimu!” pekik Katha. Dia akhirnya menarik tangan lelaki itu tanpa permisi menuju mobil Kandara. Seingatnya ada kotak P3K di sana.
“Kok bisa-bisanya sampai seperti itu?” gumam Katha sembari menarik kotak P3K dari bagasi belakang. Dia membuka pintu penumpang dan menuntun lelaki berambut cokelat itu untuk duduk di sana. “Berapa kali dia mukul anaknya sendiri?”
“Saya nggak apa-apa,” ujar lelaki itu.
Katha melotot. “Orang gila juga tahu kalau kamu kenapa-napa,” tandas Katha. Dia menuangkan cairan normal salin pada kasa untuk membersihkan luka itu. “Jangan mundur-mundur!” perintah Katha kala dia mencoba menempelkan kasa pada luka di pipi lelaki itu.
“Saya baik-baik saja,” ujar lelaki itu lagi.
Katha menekan kapas pada luka itu, hingga terdengar suara mengaduh pelan.
“Kenapa-napa, kan? Kamu kira saya bocah empat tahun yang bisa dibohongi kalau itu cuma percikan saus burger?”
Lelaki itu malah tertawa mendengar jawaban Katha. “Terima kasih,” ujarnya kemudian setelah Katha menempelkan plaster di lukanya.
“Diterima,” jawab Katha. “Sekarang kamu minggir, karena saya mau pergi,” usirnya.
Lelaki itu akhirnya berdiri dari kursi penumpang dan menutup pintunya. “Kamu baik-baik saja? Tadi katanya sedang tidak enak badan dan sakit kepala.”
Katha menunjuk dirinya sendiri. “Saya kelihatan jujur?” tanyanya
Lelaki itu bimbang antara menggeleng dan mengangguk. Dia akhirnya tersenyum canggung sambil menggaruk rambut cokelat tuanya, begitu sadar kalau tadi Katha hanya berusaha membantu.
“Saya pergi dulu,” pamit Katha yang langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Tanpa memberikan kesempatan lekaki itu mengucapkan apa pun lagi, Katha meninggalkan basement dan keluar dari gedung Atj.
***
Malam ini Katha tidak berani pulang, karena takut tiba-tiba diseret papanya ke rumah Rendra. Oleh karena itu, dia memilih nongkrong di Angkasa sambil nonton video-video tidak jelas di YouTube melalui gawai Langit. Miliknya sendiri dia matikan sejak pulang kantor.
Saat sedang iseng menonton video resep kue kering, gawai Langit berdering dan menunjukkan nama Rabu di layarnya. Katha cepat-cepat mengangkat panggilan itu. Dia ingin memastikan Rabu membawakannya oleh-oleh.
“Tha,” panggil Rabu begitu telfon tersambung.
Katha mengernyit. “Kok lo tahu?”
“I know you,” balas Rabu malas.
Katha terkekeh mendengar jawaban Rabu. Dia memang menanyakan pertanyaan yang tidak bermutu, sebab Rabu sangat hafal bagaimana dirinya.
“Nyalain handphone lo!” perintah Rabu.
“Ogah!”
Rabu berdecak. “Kandara tadi telfon gue, katanya dia punya berita bagus buat lo.”
Katha terbelalak. “Dia bilang hal lain lagi nggak?”
“Nggak ada. Itu aja,” sahut Rabu.
Jawaban Rabu membuat Katha menghela napas lega. Dengan begitu, Rabu tidak akan menertawai perjodohan yang dilakukan papanya.
“Lo jadi balik kapan?” tanya Katha. “Besok?”
“Sepertinya begitu,” sahut Rabu.
“Nggak usah sok misterius, deh. Berasa artis yang takut diburu wartawan, ya, lo.” Katha memutar bola matanya malas.
Di seberang sana, Rabu terkekeh, namun tidak mengucapkan apa pun.
“Oleh-oleh gue ada, kan?” tanya Katha. Kali ini nada suaranya dia buat sedikit merajuk.
Sayangnya, pertanyaan itu membuat Rabu mematikan sambungan telfon. Katha seketika merasa ubun-ubunnya hampir meledak. Dia sudah bersiap mengumpat, namun teringat dengan keramaian pelanggan Angkasa.
“Tenang Katha. Harus tetap cantik, harus tetap memesona,” gumam Katha mencoba menenangkan diri sendiri.
Kemudian Katha pun menyalakan gawainya dan mencoba menghubungi Kandara. Sambil menunggu telfonnya tersambung, Katha menumpuk piring-piring kosong di meja.
“Halo? Berita baik apa?” Katha langsung melempar pertanyaan begitu telfon tersambung.
“Gue berhasil bujuk Papa. Lo punya kesempatan kencan satu kali lagi.” Suara Kandara terdengar ceria di sana.
“Ha? Kencan lagi? Serius? Yang bener, lo?” tanya Katha sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Dia masih belum bisa mempercayai ucapan sang kakak.
“Duarius,” balas Kandara. “Ini kesempatan terakhir lo. Gue udah atur pertemuan dengan salah satu anak Pak Atmaja.”
Seketika Katha teringat kejadian usai rapat di Atj Entertainment tadi pagi. “Oh, jadi ini alasan lo nyuruh gue balik duluan?”
“Enggak. Gue nggak sengaja ketemu istrinya Pak Atmaja waktu mau pulang. Terus kami ngobrol sebentar. Intinya, gue berhasil mengatur kencan buat lo lagi dan berhasil membujuk Papa. Hebat, kan, gue?” ucap Kandara jemawa.
Kalau dalam keadaan biasa, Katha pasti langsung mematikan sambungan telfon, seperti yang biasa dilakukan Rabu padanya. Hanya saja, karena Kandara membawa kabar yang begitu membuatnya lega, mau tak mau dia harus berterima kasih. Sungguh, saat ini dia ingin besorak sambil menggoyang-goyangkan pinggul, karena papanya harus mengalah lagi.
“Happy, banget. Dapat kabar apa dari Kandara?”
Suara teguran itu membuat Katha menoleh ke arah kiri. Tubuh perempuan itu seketika tersentak ke belakang, hingga dia tak sengaja melepaskan gawai dari genggaman. Benda kotak itu meluncur bebas dan menghantam lantai.
“Ceroboh banget, sih!” decak lelaki yang menegurnya tadi. Dia lantas berjongkok untuk memungut gawai Katha.
“Ra … Ra … Rabu? Kok lo udah pulang? Dari kapan berdiri di situ?”
Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna. Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu. Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya. “Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha. Katha mengulas senyum tipis. D
“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin
Hari ini Katha masih tidak mau bertemu Rabu. Kekesalannya belum reda, apalagi sang papa tidak mau mengubah keputusannya. Belum lagi Rabu yang tampak belum mau mengalah, membuatnya kembali mematikan ponsel sementara waktu. “Lo mau pulang sekarang?” tanya Kandara yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kantornya. Katha tersentak pelan, sebelum akhirnya menghela napas. Sedangkan Kandara langsung menertawakan keterkejutan Katha itu. “Makanya jangan ngelamun,” ujar Kandara sambil berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Katha. “Lo yang jangan muncul tiba-tiba,” sungut Katha, lalu menepis tangan Kandara dari atas kepalanya. Setelah itu, terdengar helaan napas Kandara. Lelaki itu memutar kursi Katha hingga menghadap dirinya. Ditatapnya wajah kesal sang adik. Keputusan Agung semalam sebetulnya juga mengganggu dirinya. Meski kemarin dia tampak tertawa-tawa, sesungguhnya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Katha agar adiknya tidak terlalu
Beberapa penumpang yang baru naik, menarik koper atau tas mereka dengan susah payah di tengah gerbong yang ramai. Beberapa lainnya lagi, bergerak menuju pintu untuk turun. Beruntung kereta eksekutif punya kondisi yang nyaman, pendinginnya berfungsi dengan baik, hingga aroma-aroma keringat tak bertebaran seenaknya. “Kenapa lo ikut segala?” tanya Rabu pada Katha yang antusias melihat sekeliling. “Ha?” tanya Katha. Dia kini sudah menoleh ke arah Rabu yang menatapnya dengan raut serius. “Eh, ini karena jelang akhir pekan makanya ramai, ya?” Katha menunjuk orang-orang yang belum duduk di kursi mereka dan mengabaikan pertanyaan sahabatnya itu. “Kenapa lo ikut gue, Tha?” ulang Rabu. Katha kini sepenuhnya menatap Rabu. Fokusnya sudah kembali, seiring dengan bunyi suara peluit yang ditiup petugas kereta api. “Mau ikut lo. Mau jenguk Ibu juga,” jawabnya. Rabu berdecak sambil mengurut pelipisnya. Tadi sewaktu mereka sampai di stasiun, tahu-tahu Katha tur