Angin senja menerbangkan rambut hitam Felysia yang sepanjang bahu. Rabu yang melihat perempuan itu berulang-kali menyugar rambut ke belakang, akhirnya menyarankan untuk pindah duduk di lantai satu café.
“Nggak usah. Aku suka di sini,” tolak Felysia. Perempuan itu menikmati semburat jingga yang baru muncul pada langit Jogja sore ini.
“Oke,” jawab Rabu.
Sebetulnya, sejak tadi Rabu menyesal mengiyakan ajakan Felysia untuk masuk ke café ini. Pertemuan dengan perempuan itu saja sudah membuatnya kehilangan keseimbangan dalam hati, apalagi berbicara dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh menit.
Rabu pikir setelah perpisahan beberapa waktu silam, dia akan mudah menjauhi Felysia. Namun ternyata, dia terlalu percaya diri.
Ini bukan kali pertama Rabu bertemu Felysia secara tidak sengaja. Mungkin sudah terhitung tiga kali—termasuk hari ini—selama hubungan mereka kandas dengan cara yang kurang baik. Dan dalam tiga pertemuan itu, tak sekali pun dia berhasil menolak ajakan Felysia. Lebih tepatnya, tak pernah menolak meski sepanjang pertemuan dia meratapi keputusannya.
Pertemuan kali ini cukup jadi sedikit drama bagi Rabu. Tubuhnya ditabrak keras oleh Felysia. Perempuan itu katanya sedang dikejar sang sepupu yang memaksa dibawa ke Jakarta. Sebab itu pula, dia diajak untuk segera memasuki café yang tak jauh dari trotoar tempat mereka bertemu.
“Kamu masih di Jakarta, kan?” tanya Felysia.
“Masih. Kamu masih bolak-balik Jakarta-Singapura?”
Rabu sebisa mungkin menjaga nada suaranya agar terdengar biasa saja. Walau sekarang, hati dan pikirannya terus ditarik ke masa lalu tiap kali memikirkan atau tanpa sengaja bertemu Felysia.
Felysia menggeleng. Lantas, Rabu merasa mata Felysia menatap lurus pada miliknya. Maka demi menghindari luapan emosi yang sedikit meletup-letup, dia memalingkan muka ke arah mug berisi cokelat hangat.
“Pulang ke Jakarta?” tanya Rabu lagi, sebab tak ada jawaban selain geleng kepala dari perempuan itu.
“Iya. Sudah enam bulan. Aku lagi buka bisnis kuliner,” terang Felysia.
Rabu mengernyit mendengar jawaban perempuan itu. Seingatnya, dulu Felysia sangat bercita-cita menjadi seorang dosen. Di pertemuan terakhir mereka dua tahun lalu pun, perempuan itu mengatakan bahwa dia mengajar di salah satu sekolah dasar di Singapura sebagai permulaan.
Tiba-tiba suara tawa Felysia memecahkan kerutan di dahi Rabu. “Aku udah berhenti ngajar. Bukan kamu saja yang bisa ganti profesi, Prab. Aku juga.”
Ah, panggilan itu, batin Rabu. Nama tengahnya memang sudah jarang sekali dipakai. Bahkan orang tua yang sewaktu kecil memanggilnya Prabu, ikut mengganti panggilannya menjadi Rabu.
Penggantian nama panggilan itu disebabkan oleh Katha. Perempuan itu mengaku geli jika harus memanggilnya dengan nama Prabu.
“Kayak gue bawahan yang lagi manggil raja aja, Bu. Najis banget,” ujar Katha kala itu.
Maka muncullah panggilan Rabu, yang meski mulanya aneh, kini menjadi panggilan bagi semua orang yang mengenalnya.
“Kenapa? Bukannya kamu dari dulu suka mengajar?” Rabu meraih gagang mugnya.
“Sekarang masih suka, tapi hobi memasakku ternyata kali ini mengalahkan mimpi utama.” Felysia terkekeh pelan.
Rabu mencermati jawaban Felysia sambil meneguk minumannya hingga separuh. Hawa panas cokelatnya sudah menjadi hangat akibat angin kencang yang bertiup.
Dulu, kedekatannya dengan Felysia disebabkan oleh impian yang sama. Rabu ingin sekali menjadi seorang guru, sedangkan Felysia ingin menjadi dosen. Sayangnya, baru dua tahun menjadi guru, Rabu memutuskan berhenti dan menggeluti bisnis. Tentu saja itu semua bisa dia lakukan atas bantuan Katha yang seorang lulusan manajemen bisnis.
Sedangkan untuk Felysia, Rabu pikir perempuan itu akan mengabdikan dirinya sebagai pengajar sampai tua. Rupanya tidak. Dia tiba-tiba jadi penasaran dengan alasan perempuan itu. Hobi memasak yang dijadikan alasan tadi terdengar seolah-olah kebohongan di telinga Rabu.
“Apa hanya itu alasannya?” tanya Rabu. Namun, belum ada tiga detik, dia sudah menyesali pertanyaannya. Hal itu memberi kesan seolah dia masih peduli dengan kehidupan Felysia.
Benar saja, Felysia langsung tersenyum lebar. Perempuan itu melipat lengan di atas meja.
“Kamu memang yang paling tahu aku, Prab,” jawabnya melenceng dari pertanyaan.
Bagi Rabu sendiri, sahutan Felysia itu mendakan bahwa kecurigaannya benar dan gadis itu sedang memancing perhatian lain dari dirinya lagi. Maka Rabu langsung menekan rem pada mulutnya.
“Ah, ya, ngomong-ngomong ini sudah ketiga kalinya kita ketemu setelah hari itu, ya?” Felysia kembali menghidupkan meja yang tadinya sempat sunyi.
Rabu menganggukkan kepala. Dia mengingat jelas pertemuan-pertemuan tak sengaja mereka.
“Lucu, ya, Prab. Seperti sebuah takdir,” kekeh Felysia.
Tidak. Rabu tidak tertawa. Dia tak bisa. Perkataan itu terdengar seolah mengejek dirinya di masa lalu hingga sekarang.
***
Pagar rumah keluarga Agung Syahputra langsung terbuka kala Katha turun dari taksi online sambil memainkan sling bag-nya di depan dada. Hadi—satpam rumah—tersenyum dan menyapa anak perempuan atasannya itu.
“Sore juga, Pak Hadi,” sapa Katha balik. Perempuan itu berhenti melangkah, lalu merogoh tas. Dari sana dia keluarkan sebungkus cokelat yang masih utuh.
“Asik, cokelat!” seru Hadi.
Katha memang sering membawa cokelat di tasnya karena Rabu salah satu penggemar makanan manis itu. Jadi, seperti sebuah kebiasaan, tiap melihat cokelat, Katha akan membeli dan menyimpannya di tas. Dia sendiri tak begitu suka cokelat, meski bisa memakannya satu-dua potong.
Dalam beberapa kesempatan, kalau sedang tak bersama Rabu, cokelat dalam tasnya akan berpindah tangan ke Hadi, seperti hari ini. Cokelat itu pun sudah ada di tasnya lebih dari tiga hari, karena Rabu sedang berada di Jogja.
“Sama-sama, Pak.” Katha mengacungkan jempolnya dan mulai masuk melewati celah gerbang yang sudah dibuka.
“Mas Rabu belum pulang, ya, Mbak?” tanya Hadi.
Gelengan kepala cukup mewakilkan jawaban Katha. Gadis itu melanjutkan langkah, namun matanya menemukan sebuah mobil asing di depan teras rumah.
“Pak, ada tamu, ya?” tanya Katha.
“Iya, Mbak.”
“Siapa?”
Hadi menggeleng. “Belum pernah ke sini, Mbak. Mungkin teman bisnis Pak Agung.”
“Oh, ya, sudah. Saya masuk dulu, Pak,” pamit Katha. Perempuan itu melanjutkan langkahnya menuju rumah. Samar-samar didengarnya suara tawa dan percakapan, karena pintu utama memang dibiarkan terbuka.
Entah mengapa, suara-suara dari dalam rumahnya itu membuat perasaan Katha kurang nyaman. Kakinya ragu-ragu menapaki teras. Sampai akhirnya firasat itu terbukti. Perasaan sesal mulai menjalari kepalanya kala mengingat Kandara yang menyuruhnya pulang setelah rapat selesai. Andai dia mengikuti perkataan kakaknya itu, dia tak akan bertemu dua tamu yang membuat pikirannya kian semrawut.
“Ah, itu Katha sudah pulang!” seru Agung.
Katha tersenyum canggung. Di sofa ruang tamu, duduk dua orang tamu yang dia kenal dari pesta perusahaan enam bulan lalu. Meski sudah tak pernah bertemu lagi, dia masih mengingat jelas wajah mereka.
Mereka adalah Alan dan Rena, orang tua Rendra—menantu yang diharapkan papanya. Maka ketika menyadari kehadiran mereka, Katha merasa tubuhnya langsung lemas. Dia mulai menebak tujuan kedatangan mereka.
“Sini, Katha! Duduk sini!” panggil Rena. Dia tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk sofa sebelah kanannya yang kosong.
Katha cepat-cepat menguasai dirinya kembali. Dia tak boleh kelihatan kalah di depan Agung.
“Halo Tante, Om. Lama nggak ketemu, ya,” sapa Katha.
“Halo Katha,” balas Alan.
“Kamu, sih, nggak pernah ikut main ke rumah sama orang tuamu. Jadi nggak pernah ketemu kita,” ujar Rena.
Katha hanya tersenyum, lalu berjalan masuk dan duduk di sebelah Rena. Saat melewati Agung tadi, dia sempat memicingkan mata ke arah papanya itu. Namun, Agung malah sengaja tersenyum mengejak.
Menahan kesal, Katha meremas tali tasnya. Dia baru kembali memasang senyum saat Rena menyentuh lengannya. Perempuan paruh baya itu kelihatan cantik dengan rambut sebahu yang digerai.
“Kamu sama Kandara sibuk banget, ya?” tanya Rena.
Katha mengangguk, karena mereka baru merampungkan satu produksi film. Di masa-masa promosi seperti ini, memang cukup banyak pekerjaan. Namun, Katha penganut kerja tanpa lembur kecuali sedang mood. Maka dari itu, dia memilih untuk bekerja sebagai sekretaris Kandara agar bisa berlaku seenaknya.
“Sayang sekali,” keluh Rena.
“Kapan-kapan kalau ada waktu, aku sama Kakak main ke rumah Tante,” dusta Katha. Dia sama sekali tak berniat ke rumah teman orang tuanya itu. Sebab, selain karena baru dua kali bertemu, dia menghindari pertemuan dengan Rendra.
Mata Rena langsung berbinar. “Sering-sering, ya,” pintanya.
Katha tak punya pilihan selain mengangguk. Dia sudah terlanjur menebar janji manis palsu.
“Eh, Katha udah pernah ketemu Rendra belum?” tanya Rena lagi.
Seketika otot-otot tubuh Katha menegang. Nama itu akhirnya terucap. Diam-diam Katha melirik Agung yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
“Belum, Tante,” jawab Katha. Dia memang belum pernah sama sekali bertemu Rendra, meski sudah sejak lama mendengar namanya dan melihatnya sekilas di pesta enam bulan lalu.
Tiba-tiba suara dering gawai meramaikan ruang tamu. Itu gawai Reni. Perempuan paruh baya itu langsung menggeser layar, lalu didekatkannya benda itu di telinga kanan.
Melihat itu Katha berusaha melarikan diri. Dia menyentuh lengan Reni yang sedang mendengarkan seseorang di seberang telepon.
“Aku ke atas dulu, ya, Tan,” bisiknya.
Reni mengangguk, namun sedetik kemudian lengan Katha ditarik. “Eh, Rendra mau nyusul ke sini katanya, Tha. Nanti kamu kenalan, ya, sama dia,” ujarnya ceria.
Mata Katha otomatis melotot ke arah Agung. Di saat bersamaan papanya itu malah menjulurkan lidah. Sial! Papa melanggar perjanjian, batinnya.
Katha pernah berada dalam situasi, di mana dia terjebak di antara dua lelaki. Pada waktu itu dia memang sedang didekati oleh keduanya. Lantas, ketika tanpa sengaja takdir membuat mereka bertiga berada di satu tempat dengan waktu yang sama, Katha tidak mengerti kenapa dua lelaki itu akhirnya adu mulut. Maka sebagai langkah penyelamatan, Katha diam-diam menghubungi nomor Rabu, lalu mematikan sambungannya. Tak sampai lima detik, Rabu balik menghubunginya. Dan begitu akhirnya dia bisa melarikan diri dengan berpura-pura ada situasi darurat yang mengharuskannya hengkang. Sejak saat itu, Katha meletakkan nomor Rabu pada panggilan darurat nomor satunya. Sebab, dia sering berada pada situasi-situasi serupa. Hari ini adalah salah satunya. Katha tersenyum kaku ke arah Rena kala dituntun untuk duduk kembali di sofa. Di kepalanya langsung muncul nama Rabu, s
“Kamu tadi kabur dari kencanmu?” tuduh Agung. Katha yang baru masuk ke ruang keluarga, langsung tersentak. Dia terkejut karena tiba-tiba disemprot pertanyaan seperti itu. “Apanya yang kabur?” tanya Katha ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Tadi papanya Seiya telfon Papa. Katanya kamu ninggalin Seiya yang lagi sakit di Dufan.” Katha memutar bola matanya malas. Kini nilai minus saja sudah tak bisa dia berikan pada Seiya. Lelaki itu rupanya anak manja yang suka mengadu. Lagi pula, apa tadi? Sakit? Huh, omong kosong! batinnya. “Dia itu gila, Pa,” jawab Katha. “Astaga Katha.” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ternyata tidak sadar kalau kamu itu yang gila.” Tiba-tiba suara tawa terdengar dari arah tangga. Katha menoleh dan menemukan Kandara yang baru turun dari lantai dua. Kakaknya itu berpakaian santai dengan rambut masih basah. “Ketawa seenaknya. Keringin dulu itu rambut. Bikin becek!” Katha mel
Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna. Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu. Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya. “Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha. Katha mengulas senyum tipis. D
“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K
Katha sempat tak bisa berkata-kata, sebelum akhirnya kesadarannya pulih oleh gigitan seekor nyamuk di punggung tangannya. Ditepuknya nyamuk itu, namun luput. Hewan berdenging itu terbang menjauh dan menyisakan kejengkelan Katha dengan rasa gatalnya. Saat itulah dia bisa kembali fokus pada pembicaraan sang papa. “Papa lagi bercanda, kan?” tanya Katha. Dia ingin memastikan kalau papanya tadi hanya sekadar menggertak. Sebab, dia yakin kalau papanya akan menolak kalau memang benar siang tadi Rabu melamarnya. Terlebih, insiden kemarin belum terselesaikan. Agung menggelengkan kepala santai. Gurat kemarahan yang tadi tampak di wajahnya, entah bagaimana hilang begitu saja. “Papa kalau marah sama aku, marah aja. Aku memang salah,” aku Katha. Dia kemarin pun sudah berjanji pada Dewi untuk meminta maaf pada Agung. “Tapi, jangan bercanda yang nggak enak gini, deh.” Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Agung. Lelaki paruh baya itu hanya memperhatikan putrin