Suasana ruang keluarga itu sedang tak bagus, seakan-akan hendak muncul badai di sana kurang dari sepuluh menit lagi. Dua wajah dari empat penghuninya jadi keruh, bak awan mendung yang kian pekat.
“Aku pasti nikah, kok, nanti.” Katha kembali berargumen. Dia masih belum terima dikata-katai oleh papanya sendiri.
“Kapan? Kerjaanmu bermain laki-laki saja, tak ada satu pun yang serius,” tukas Agung. “Pokoknya kamu harus ketemu sama Rendra.”
Nama Rendra mungkin sudah diucapkan Agung lebih dari tiga puluh kali dalam waktu kurang dari satu jam. Katha bahkan sudah muak tiap kali nama itu keluar dari mulut sang papa.
“Rendra lagi,” cibir Katha.
“Kenapa memangnya? Toh, kamu tidak punya laki-laki lain yang bisa menggantikan Rendra,” ujar Agung. Kali ini dia tak mau lagi mengalah pada sang putri yang keras kepala.
“Ada,” bantah Katha. Dia berbohong, tentu saja. Sebab, menikah bukan hal yang dia inginkan terjadi dalam waktu dekat. Dia masih ingin menikmati kesendiriannya dan bersenang-senang tanpa memikirkan orang baru yang harus diurus.
“Siapa?” tantang Agung.
“Ya, ada.” Katha kelabakan, karena memang dia tak sedang dekat dengan lelaki mana pun selain Rabu, Langit dan Kandara.
“Mau ngajuin nama siapa kamu? Rabu? Jangan pikir Papa percaya.” Agung melipat lengan di depan dada.
Kalau menganiaya orang tua itu diperbolehkan, Katha pasti sudah mencakar wajah papanya yang mengesalkan. Sayangnya, hal itu tentu masuk dalam dosa besar, baik di mata Tuhan maupun masyarakat. Bisa-bisa dia bukan hanya dikatai durhaka, tapi anak laknat.
Sementara itu, Dewi hanya memperhatikan suami dan putrinya adu mulut. Begitu juga Kandara. Lelaki itu fokus menatap gawai, sebab ada beberapa perkerjaan yang belum diselesaikan. Dia terpaksa harus ikut berkumpul di ruang keluarga, gara-gara Agung bersikeras mempercepat perjodohan agar Katha segera menikah.
“Kakak aja itu nikahin dulu.” Merasa tak terima dengan wajah santai Kandara, Katha menyeret nama kakaknya.
Kandara langsung mendongak dan melotot pada Katha.
“Nggak bisa. Ada Kaia. Kakakmu perlu selektif untuk mencari calon istri yang juga bisa menggantikan figur ibu untuk Kaia.”
Kandara tersenyum merdeka karena dibela oleh sang papa. Sementara Katha langsung mencebik dan membuang muka dari kakaknya.
Dewi tak bisa melakukan apa pun selain diam. Saat Katha masih berusia 24 tahun, dia sudah ribut meminta agar sang suami mencarikan pasangan untuk putri mereka yang sedikit nakal itu. Sayangnya, permintaan itu diabaikan Agung dengan dalih Katha masih muda dan bisa mencari pasangannya sendiri.
Setelah empat tahun berlalu dan perkataan Agung belum terwujud, maka kini lelaki itu sendiri yang kebingungan. Belum lagi dia sering mendengar kabar bahwa Katha suka menggoda beberapa lelaki secara sembarangan.
“Aku kan juga perlu selektif mencari calon suami, Pa.” Katha masih belum menyerah. Sedari tadi dia terus melawan sambil mencari alasan yang kira-kira bisa menyelamatkannya dari situasi tak menyenangkan ini.
“Rendra itu sudah yang terbaik,” tandas Agung.
“Itu, kan, kata Papa. Bisa saja dia dan Katha tidak cocok.”
“Kamu kan belum coba ketemu sama dia.”
“Ya, kali, aku ketemu dia. Sedangkan aku tahu kalau aku ketemu dia, aku akan makin dipaksa nikah sama Papa.”
“Tidak ada salahnya, bukan?” Agung tetap bersikeras. Pokoknya dia harus membuat Katha menikah, agar keliaran putrinya itu segera menghilang. “Papa yakin Rendra bisa jadi pasangan yang pas buat kamu.”
Katha menepuk-nepuk telinga dengan kedua telapak tangan. “Oke, oke. Tapi, aku nggak mau ketemu Rendra dulu. Aku akan cari sendiri. Kasih aku waktu, Pa,” pinta Katha. Dia akhirnya mengibarkan bendera putih meski hanya setengah, karena benaknya masih memimpikan pemberontakan.
Agung mengernyit. Dia tentu keberatan dengan permintaan Katha. Dia tahu Katha hanya sedang berupaya menghindari perjodohan dengan Rendra. Jadi, dia perlu mengatur strategi agar sang putri mengalah dan mau menurutinya.
Hening yang tercipta sementara di ruang keluarga itu membuat suara jarum detik pada jam dinding terdengar lebih keras. Merasai kesunyian itu membuat Katha bersorak dalam hati. Dia yakin kalau Agung pasti akan mengabulkan permintaannya.
“Baiklah,” putus Agung akhirnya. “Kamu boleh menunda pertemuan dengan Rendra, asalkan kamu mengikuti lima kali kencan buta yang akan Papa dan Kakakmu atur.”
Katha urung bersorak. Dia melongo mendengar syarat yang jauh lebih gila dari sang papa. “Pa ….”
Agung mengangkat telapak tangannya untuk menghentikan Katha yang hendak protes. “Kalau dari lima kencan itu ada seseorang yang cocok, kamu bisa bawa dia sebagai calon suami.”
Rasanya, Katha ingin meledakkan rumahnya saat itu juga. Dia menoleh ke arah Dewi dengan tatapan memohon, tapi mamanya itu hanya membuang muka. Maka dia kini melarikan matanya pada Kandara. Namun, itu adalah keputusan yang bodoh, sebab Kandara sudah tertawa lebar tanpa suara.
“Pa ….” Mau tidak mau, dia harus kembali merengek pada Agung.
Agung menggeleng-gelengkan kepala. Dia tak ingin bernegosiasi dan membiarkan putrinya melakukan hal licik tanpa dia sadari.
“Kencan buta lima kali atau bertemu Rendra. Kamu cuma punya dua pilihan itu,” tegas Agung.
Katha memekik tertahan sambil mengacak-acak rambut yang sudah ditata susah payah untuk datang ke pesta salah satu temannya. Panggilan rapat keluarga mendadak tadi, membuatnya harus menunda kepergian. Mirisnya, ternyata dialah target rapat malam ini. Kalau tahu akan seperti ini, sudah pasti tadi dia memilih untuk melarikan diri.
“Kamu sudah tidak bisa menawar lagi, karena Papa tidak sedang berdagang,” tambah Agung.
Katha berdecak keras. “Iya, iya. Aku akan ikut kencan buta itu.”
Pada akhirnya, Katha memilih syarat dari Agung dibanding harus bertemu dengan Rendra—anak rekan kerja Agung—yang pernah memutuskan hubungan dengan salah satu temannya di depan publik. Meski hanya mendengar ceritanya dari Shae, Katha sudah bisa membayangkan bagaimana temannya merasakan malu yang luar biasa di tengah keramaian, apalagi itu di acara ulang tahunnya.
Sementara Agung kini tersenyum puas karena Katha akhirnya mau mengalah. Dia menoleh ke arah Kandara yang sudah kembali fokus pada gawainya.
“Kanda,” panggil Agung.
Kandara mengalihkan matanya lagi dari gawai. “Iya, Pa?” tanyanya.
“Kencan pertama kamu yang atur. Kamu pernah bilang, kan, kalau punya beberapa teman yang belum menikah.”
Kandara mengangguk mantap. “Papa tenang saja. Aku akan carikan laki-laki yang ….” Kandara sengaja memotong kalimatnya dan menggantinya dengan sentakan dua ibu jari ke arah depan.
Agung tersenyum puas, sementara muka Katha sepenuhnya kusut. Dia sudah tidak punya daya lagi untuk berpesta malam ini.
***
Usai pertemuan dengan Danu Sanjaya, malamnya Shae mengajak Katha ke pesta salah satu teman kerjanya. Katha jelas tak menolak. Dia suka pesta, meski enggan menjalin pertemanan jangka panjang dengan para wanita, kecuali Shae yang dikenalnya sejak kuliah. Terlebih, kepalanya kembali pusing kala mengingat perseteruan dengan sang papa beberapa hari yang lalu, juga jumlah kencan buta yang tersisa.
Katha menghabiskan waktu dengan minum bersama beberapa teman pria Shae, sedangkan Shae sendiri menggila di ruang tengah yang telah disulap menjadi dance floor.
“Lo temennya Shae?” tanya salah satu yang memakai kaus hitam polos. Jasnya sudah terlempar entah ke mana.
Katha mengangguk dan memasang senyum memikat. Dia menggoyang-goyangkan gelas di tangannya, hingga cairan yang tersisa terombang-ambing.
“Kok gue belum pernah lihat lo?” tanya lelaki itu lagi. Katha sudah lupa namanya, meski mereka tadi sempat berkenalan ketika Shae meninggalkan dirinya di tengah mereka.
Ini memang kali pertama Katha ikut pesta dengan teman-teman kantor Shae. Sahabatnya itu lebih sering mengajaknya pergi ke club atau pesta bersama teman-teman semasa SMP atau SMA.
“Baru pertama kali diajak Shae,” jawab Katha. “Gue juga baru pertama kali ketemu teman-teman kerja Shae yang ternyata asik.” Untuk kalimat terakhir, dia hanya melebih-lebihkan.
Lelaki berkaus hitam itu langsung memasang senyum lebar. “Kalau begitu, kapan-kapan kita bisa party bareng lagi, dong?”
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Katha. Dia hanya tersenyum, lalu mengulurkan gelasnya agar bisa bersulang dengan lelaki tadi.
Sementara itu, keadaan di arena dansa mulai tidak kondusif. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari, maka kepala-kepala yang mabuk itu makin bertambah. Mereka sudah seperti zombie yang menghidu aroma darah, lantas bergerak buas ke sana kemari, tapi jadinya malah terjatuh.
Katha memutuskan berdiri kala matanya tak juga menemukan Shae dari lantai dua tempatnya duduk bersama para lelaki yang dilupakan namanya itu. Dia pamit pada mereka yang sebagian besar sudah mabuk dan beranjak turun ke lantai satu.
Bisa gawat kalau anak itu mabuk parah, pikir Katha. Dia bergerak cepat di antara tubuh-tubuh yang terhuyung. Tangannya berjaga di depan tubuh kalau-kalau ada yang menabraknya.
Katha hanya bisa mengandalkan mata, sebab berteriak pun, Shae tak akan mendengar. Musik mengalun dengan suara yang menghentak, bahkan Katha merasakan dadanya hampir meledak.
Tepat saat pandangannya menemukan gaun merah yang dipakai Shae, Katha langsung mempercepat langkahnya mendekat ke arah jendela sebelah kiri. Ketika jaraknya dan Shae kurang dari tiga meter, tiba-tiba ada seorang lelaki berambut sebahu yang mendekati Shae. Tangan lelaki itu bergerak menggerayangi tubuh Shae yang terhuyung-huyung mengikuti alunan musik dengan kepala kacau.
Katha mempercepat langkahnya, sebab lelaki itu tampaknya makin kurang ajar. Meski pemabuk, Shae bukan perempuan sembarangan yang biasa tidur dengan lelaki manapun.
“Lepas dia!”
Itu bukan suara Katha. Dia sendiri langsung berhenti melangkah kala melihat seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut segelap malam tanpa bulan. Lelaki itu menarik tubuh Shae menjauh dari lelaki mabuk yang menggarayangi tubuh sahabatnya itu.
Ketika musik berganti, Katha kembali sadar bahwa dia harus mengejar Shae. Siapa yang bisa jamin kalau lelaki yang tampak menolong tadi sebenarnya malah berniat buruk. Namun, ketika mata Katha kembali menemukan Shae yang terduduk di salah satu single sofa dekat pintu samping, tak dia lihat lagi lelaki berambut hitam itu. Shae seorang diri. Anehnya, tubuh perempuan itu kini berguncang. Botol air mineral di tangannya—yang entah didapat dari mana—terjatuh dan airnya menggenangi lantai.
Paham dengan situasi yang sangat akrab itu, Katha segera berlari menyongsong tubuh Shae.
“Jangan muntah di sini!” pekiknya.
Angin senja menerbangkan rambut hitam Felysia yang sepanjang bahu. Rabu yang melihat perempuan itu berulang-kali menyugar rambut ke belakang, akhirnya menyarankan untuk pindah duduk di lantai satu café. “Nggak usah. Aku suka di sini,” tolak Felysia. Perempuan itu menikmati semburat jingga yang baru muncul pada langit Jogja sore ini. “Oke,” jawab Rabu. Sebetulnya, sejak tadi Rabu menyesal mengiyakan ajakan Felysia untuk masuk ke café ini. Pertemuan dengan perempuan itu saja sudah membuatnya kehilangan keseimbangan dalam hati, apalagi berbicara dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh menit. Rabu pikir setelah perpisahan beberapa waktu silam, dia akan mudah menjauhi Felysia. Namun ternyata, dia terlalu percaya diri. Ini bukan kali pertama Rabu bertemu Felysia secara tidak sen
Katha pernah berada dalam situasi, di mana dia terjebak di antara dua lelaki. Pada waktu itu dia memang sedang didekati oleh keduanya. Lantas, ketika tanpa sengaja takdir membuat mereka bertiga berada di satu tempat dengan waktu yang sama, Katha tidak mengerti kenapa dua lelaki itu akhirnya adu mulut. Maka sebagai langkah penyelamatan, Katha diam-diam menghubungi nomor Rabu, lalu mematikan sambungannya. Tak sampai lima detik, Rabu balik menghubunginya. Dan begitu akhirnya dia bisa melarikan diri dengan berpura-pura ada situasi darurat yang mengharuskannya hengkang. Sejak saat itu, Katha meletakkan nomor Rabu pada panggilan darurat nomor satunya. Sebab, dia sering berada pada situasi-situasi serupa. Hari ini adalah salah satunya. Katha tersenyum kaku ke arah Rena kala dituntun untuk duduk kembali di sofa. Di kepalanya langsung muncul nama Rabu, s
“Kamu tadi kabur dari kencanmu?” tuduh Agung. Katha yang baru masuk ke ruang keluarga, langsung tersentak. Dia terkejut karena tiba-tiba disemprot pertanyaan seperti itu. “Apanya yang kabur?” tanya Katha ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Tadi papanya Seiya telfon Papa. Katanya kamu ninggalin Seiya yang lagi sakit di Dufan.” Katha memutar bola matanya malas. Kini nilai minus saja sudah tak bisa dia berikan pada Seiya. Lelaki itu rupanya anak manja yang suka mengadu. Lagi pula, apa tadi? Sakit? Huh, omong kosong! batinnya. “Dia itu gila, Pa,” jawab Katha. “Astaga Katha.” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ternyata tidak sadar kalau kamu itu yang gila.” Tiba-tiba suara tawa terdengar dari arah tangga. Katha menoleh dan menemukan Kandara yang baru turun dari lantai dua. Kakaknya itu berpakaian santai dengan rambut masih basah. “Ketawa seenaknya. Keringin dulu itu rambut. Bikin becek!” Katha mel
Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna. Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu. Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya. “Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha. Katha mengulas senyum tipis. D
“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay
Katha memperhatikan ruang kerja Sakha yang rapi dan didominasi oleh warna salem. Berbeda dengan ruangan Kandara di Athandara Production House yang memiliki nuansa abu-abu dan putih. Bahkan untuk nama perusahaan pun, Katha merasa bahwa Atj lebih keren dibanding perusahaan yang didirikan oleh papanya itu. “Terpesona sekali sepertinya,” tegur Sakha sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Katha. “Wow, bos buat minum sendiri, ya,” kekeh Katha. “OB yang buat. Aku cuma ambil di depan,” jelas Sakha sambil tertawa. “Minum, Tha. Udah kuminta buat hangat.” Katha mengangguk, lalu menyeruput teh hijau tanpa gula itu. Aroma teh bercampur melati memanjakan hidungnya. “Jadi gimana? Kemarin kamu nggak jawab telfonku.” Sakha memulai obrolan yang memang harus mereka bahas. Helaan napas Katha yang berat seakan sudah mampu menjawab hal apa yang terjadi usai kepulangan Sakha dari rumah keluarga perempuan itu. “Kita ketahuan, Ka,” ujar K