“Jadi, kenapa kamu mau ikut kencan buta seperti ini?”
Katha yang tadinya menyibukkan diri dengan memandangi rumput sintetis di dinding sebelah kanan, akhirnya menoleh. Dia mengulas senyum menggoda lagi, seperti tadi saat percakapan demi percakapan terlontar.
“Kamu sendiri kenapa mau?” Katha balik bertanya.
“Saya nggak bisa nolak waktu Kandara menunjukkan foto kamu. Kamu tahu, kamu sangat cantik,” puji Danu.
Danu Sanjaya namanya. Lelaki yang katanya seorang pengacara itu adalah teman futsal sang kakak—Kandara. Katha sempat menolak calon dari kakaknya itu. Sayangnya, Agung Eka Syahputra tidak mau menerima penolakan yang kesekian dari dirinya. Katha akhirnya tak bisa berkutik kala Agung mengancam akan segera mempertemukannya dengan Rendra—calon yang sangat diinginkan sang papa.
“Aman nggak?” tanya Katha saat Kandara menunjukkan foto Danu.
“Yang penting tampang oke.”
Jawaban Kandara dua hari lalu dibenarkan oleh mata Katha saat melihat sosok Danu di ambang pintu Angkasa Resto. Dia sempat menyeringai, sebelum akhirnya sadar kalau tidak boleh memanfaatkan situasi yang salah.
“Jadi, kenapa kamu mau kencan buta dengan saya?” Danu mengulang pertanyaannya.
Katha menebak bahwasannya Danu ingin diberi alasan yang sama. Lelaki itu ingin dipuji parasnya, seperti halnya dia. Sayangnya, Katha enggan sekali memuji kalau akhirnya mereka berdua tak akan melewatkan dua jam tambahan dalam kencan kali ini. Dia sudah bosan dan muak, tapi tak ingin meninggalkan kesan buruk.
“Oh, untuk uji coba,” jawab Katha asal sambil memperbaiki posisi duduknya yang melorot. Lemak perutnya tadi terlihat, hingga dia menegakkan punggung dan menyilangkan kaki kanan di atas paha kiri. Perubahan posisi itu malah membuat pahanya makin terekspos. Tapi, dia memang sengaja, bahkan dua kancing teratas blus kuning gadingnya dibiarkan terbuka.
Lelaki, memanglah lelaki. Mata Danu langsung beralih dari wajah menuju paha Katha
“Uji coba apa?” tanya Danu penasaran.
“Uji coba kesetiaan sebelum nikah,” jawab Katha setengah berbisik.
Pandangan Danu seketika kembali pada wajah cantik Katha. “Kamu sudah ada calon suami?”
Bulatan bola mata Danu membuat Katha tertawa. “Menurut kamu saya masih single? Kan kamu sendiri tadi yang bilang kalau saya cantik.” Pada kenyataannya Katha memang belum mempunyai pasangan di usianya yang ke-28 ini, hingga Agung harus menyeret nama Rendra untuk mengancam sang putri.
Wajah Danu Sanjaya yang sejak tadi terlihat angkuh dan percaya diri akhirnya pias. “Lalu, kenapa Kandara bilang kalau kamu sedang mencari calon?”
Katha menyandarkan punggungnya lagi. “Benar, kan? Saya memang mencari calon, calon percobaan.”
“Percobaan?” Dua ujung alis Danu hampir menyatu.
Katha menyesap kopinya yang sudah dingin, lalu mengembalikan cangkir ke atas meja. “Iya, seperti yang saya bilang tadi, soal kesetiaan.”
Katha pikir, Danu akan marah atas jawaban yang asal keluar dari mulutnya itu. Ternyata dia salah, jawaban itu malah membuat Danu tersenyum.
“Berarti kalau percobaan kamu gagal, kamu bisa saja jatuh ke pelukan saya?” tanya Danu.
Sial! Katha mengumpat dalam hati. Dia salah ambil strategi karena tadi kurang fokus. Melamun ternyata membuat kepalanya jadi bodoh.
“Sayang, sudah cukup main-mainnya,” tegur seseorang tiba-tiba.
Serempak Katha dan Danu menoleh ke sosok yang baru saja menghampiri meja mereka.
“Halo, saya Langit, calon suami Katharina,” ujar Langit sembari memasukkan tangan kanan ke dalam saku celana.
Melihat Langit, Katha bersorak dalam hati. Teman dekat sahabatnya itu ternyata tahu timing yang tepat untuk memberikan bantuan dan menyelamatkannya dari situasi yang keliru. Kalau saja tadi dia sampai salah menjawab, dua jam tambahan itu bisa benar-benar terjadi.
Katha nyaris terbahak kala melihat wajah Danu kali ini benar-benar pias. Lelaki itu seperti baru saja bangkrut dalam permainan monopoli setelah berhasil membeli belasan hotel. Katha pun segera berdiri dari duduknya untuk mengakhiri pertemuan ini.
“Terima kasih Danu buat obrolan yang menyenangkan tadi,” ujar Katha. Dia membungkukkan badannya dengan sengaja, hanya agar Danu semakin kebakaran jenggot kala melihat belahan dadanya.
Melihat itu, Langit langsung menyeret Katha setelah memberikan senyum pada Danu yang melongo dengan wajah memerah. Dia membawa Katha menuju ruang kerjanya.
Begitu pintu ruang kerja Langit tertutup, Katha langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sambil terbahak-bahak. Dia benar-benar puas melihat kepercayaan diri Danu runtuh, hingga tak bisa mengatakan apa pun.
Tadinya dia sempat berpikir kalau Danu adalah lelaki yang cukup baik. Sayangnya, ketika dia memancing pembicaraan mengenai sosok istri yang bekerja, lelaki itu langsung menolak. Bagi Danu, tugas istri hanyalah mengurus rumah, suami dan anak. Maka begitulah Katha kehilangan ketertarikan, meski sebetulnya dia pun tak berniat jadi istri yang berkarir.
“Lo lihat tadi? Lihat, kan?” tanya Katha heboh.
Langit turut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Katha. Perempuan itu kini sudah mengancingkan kembali blusnya dengan benar, meski masih sambil tertawa.
“Gila lo, Tha. Bisa marah besar si Rabu kalau lihat tingkah lo tadi,” ujar Langit.
“Ya, asal lo nggak ngadu aja,” sahut Katha. Perempuan itu kini sudah melepaskan high heels hitam dari kakinya.
“Lo belum cerita ke Rabu?” Langit kini duduk di sofa seberang Katha. Diamatinya sahabat perempuan dari sahabatnya itu. Cukup membingungkan? Ya, memang demikian.
Katha menggeleng. “Males, ntar dia resek ngejek-ngejekin gue.”
“Bukan karena lo takut Rabu marah?” pancing Langit.
“Marah apa, deh? Dia mah malah seneng kalau tahu gue dipaksa nikah sama Papa.”
“Marah kayaknya.”
“Mau taruhan?” tantang Katha.
Langit berdecak. Dia tahu akan selalu kalah taruhan dengan Katha kalau sudah menyangkut Rabu. “Nggak, nggak ada.”
“Takut, kan?” Katha tertawa, sedangkan Langit hanya mendengkus.
“Lain kali hati-hati, Tha. Tadi lo cukup keterlaluan, sih. Kalau tiba-tiba cowok itu nyerang lo karena udah terlanjur nafsu, gimana?”
“Nggak bakal,” sahut Katha santai.
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. “Yang penting lo nggak berbuat kayak gitu di depan Rabu. Bisa kesetanan dia.”
Katha berdecak kesal, hingga dia bangun dari posisi bersandarnya yang nyaman. “Apaan, sih, dari tadi ngomong Rabu mulu. Nggak ada dia marah-marah atau resek, asal lo tutup mulut dengan benar.”
“Gue, sih, bisa tutup mulut. Tapi, kan, anak-anak lihat kelakuan lo tadi.” Langit menepuk-nepuk apron di pinggannya.
Seketika Katha berdiri. “Astaga! Gue harus sumpal mulut mereka.” Dia cepat-cepat berlari keluar dari ruangan Langit dengan bertelanjang kaki menuju meja kasir.
***
“Nggak ada oleh-oleh!” bentak Rabu pada gawai yang melekat di telinga kanannya.
Di seberang sana, Katha sedang merengek. “Ayolah, Bu. Beliin oleh-oleh. Lo kan hobi beli oleh-oleh. Tapi, tiap pergi selalu nggak bawain gue oleh-oleh kalau gue nggak memohon kayak begini.”
“Nggak ada, Katha. Gue capek,” sahut Rabu.
“Halah, gitu terus alasan lo. Kemarin pas lo ke Pontianak, lo udah nggak beliin gue oleh-oleh. Sekarang pokoknya harus!”
Rabu mengulas senyum. Sebenarnya dia sekarang ada di salah satu toko perhiasan, bahkan tangan kanannya sudah meneteng bungkusan. Memang sudah cukup lama dia tidak membawakan oleh-oleh untuk sahabat perempuannya yang kurang ajar itu. Maka kali ini, dia berinisiatif sendiri sebelum Katha melayangkan protesnya.
“Lihat nanti,” ucap Rabu sambil menahan tawa kala mendengar teriakan Katha lagi. Samar-samar dia bisa mendengar alunan musik di antara napas kasar Katha. “Lo lagi di tempatnya Langit?”
“Iya.”
“Ngapaian? Nggak kerja?”
Butuh dua detik sebelum akhirnya terdengar jawaban dari Katha. “Nggak, gue diliburin sama Kandara.”
Rabu memicingkan mata. “Bukan lo yang maksa libur?” tuduhnya. Sebab, Katha memang sering meminta libur dari Kandara kalau dia sedang penat dengan pekerjaan.
“Enak aja. Kalau nggak percaya, lo bisa tanya langsung ke dia.” Nada suara Katha terdengar meninggi lagi.
Rabu menahan tawa sambil melirik tas kecil di tangannya. “Ya, udah. Jangan teriak-teriak, bisa kabur ntar pelanggan Langit.”
“Langit lo bawain oleh-oleh?” tanya Katha.
“Iya.”
“Tuh, kan, lo pilih kasih banget. Tanpa minta aja, Langit selalu di ….”
Rabu tidak menjawab, melainkan langsung mematikan sambungan telfon. Sengaja dia biarkan Katha marah-marah di sana. Sahabatnya itu memang suka sekali teriak-teriak seperti Tarzan. Langit bahkan menjuluki Katha petasan pasar malam kalau sudah kesal.
Terik matahari jam dua siang membuat Rabu akhirnya menggerakkan badan menuju parkiran. Dia merogoh saku celana untuk mengambil kunci mobil sewaannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya ditabrak seseorang dengan keras dari arah depan, sampai-sampai dia limbung dan jatuh terlentang di atas trotoar.
“Astaga, maaf, maaf,” ujar sosok itu sambil cepat-cepat berdiri dari atas tubuh Rabu.
Rabu mengerutkan dahi untuk menghalau silau. Begitu matanya bisa melihat dengan jelas, dia menemukan orang yang menabraknya tadi mengulurkan tangan. Saat dia telusuri tangan itu, matanya seketika terbelalak menyadari wajah yang sangat tidak asing di ingatannya.
Suasana ruang keluarga itu sedang tak bagus, seakan-akan hendak muncul badai di sana kurang dari sepuluh menit lagi. Dua wajah dari empat penghuninya jadi keruh, bak awan mendung yang kian pekat. “Aku pasti nikah, kok, nanti.” Katha kembali berargumen. Dia masih belum terima dikata-katai oleh papanya sendiri. “Kapan? Kerjaanmu bermain laki-laki saja, tak ada satu pun yang serius,” tukas Agung. “Pokoknya kamu harus ketemu sama Rendra.” Nama Rendra mungkin sudah diucapkan Agung lebih dari tiga puluh kali dalam waktu kurang dari satu jam. Katha bahkan sudah muak tiap kali nama itu keluar dari mulut sang papa. “Rendra lagi,” cibir Katha. “Kenapa memangnya? Toh, kamu tidak punya laki-laki lain yang bisa menggantikan Rendra,” ujar Agung. Kali ini dia tak mau lagi mengalah pada s
Angin senja menerbangkan rambut hitam Felysia yang sepanjang bahu. Rabu yang melihat perempuan itu berulang-kali menyugar rambut ke belakang, akhirnya menyarankan untuk pindah duduk di lantai satu café. “Nggak usah. Aku suka di sini,” tolak Felysia. Perempuan itu menikmati semburat jingga yang baru muncul pada langit Jogja sore ini. “Oke,” jawab Rabu. Sebetulnya, sejak tadi Rabu menyesal mengiyakan ajakan Felysia untuk masuk ke café ini. Pertemuan dengan perempuan itu saja sudah membuatnya kehilangan keseimbangan dalam hati, apalagi berbicara dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh menit. Rabu pikir setelah perpisahan beberapa waktu silam, dia akan mudah menjauhi Felysia. Namun ternyata, dia terlalu percaya diri. Ini bukan kali pertama Rabu bertemu Felysia secara tidak sen
Katha pernah berada dalam situasi, di mana dia terjebak di antara dua lelaki. Pada waktu itu dia memang sedang didekati oleh keduanya. Lantas, ketika tanpa sengaja takdir membuat mereka bertiga berada di satu tempat dengan waktu yang sama, Katha tidak mengerti kenapa dua lelaki itu akhirnya adu mulut. Maka sebagai langkah penyelamatan, Katha diam-diam menghubungi nomor Rabu, lalu mematikan sambungannya. Tak sampai lima detik, Rabu balik menghubunginya. Dan begitu akhirnya dia bisa melarikan diri dengan berpura-pura ada situasi darurat yang mengharuskannya hengkang. Sejak saat itu, Katha meletakkan nomor Rabu pada panggilan darurat nomor satunya. Sebab, dia sering berada pada situasi-situasi serupa. Hari ini adalah salah satunya. Katha tersenyum kaku ke arah Rena kala dituntun untuk duduk kembali di sofa. Di kepalanya langsung muncul nama Rabu, s
“Kamu tadi kabur dari kencanmu?” tuduh Agung. Katha yang baru masuk ke ruang keluarga, langsung tersentak. Dia terkejut karena tiba-tiba disemprot pertanyaan seperti itu. “Apanya yang kabur?” tanya Katha ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Tadi papanya Seiya telfon Papa. Katanya kamu ninggalin Seiya yang lagi sakit di Dufan.” Katha memutar bola matanya malas. Kini nilai minus saja sudah tak bisa dia berikan pada Seiya. Lelaki itu rupanya anak manja yang suka mengadu. Lagi pula, apa tadi? Sakit? Huh, omong kosong! batinnya. “Dia itu gila, Pa,” jawab Katha. “Astaga Katha.” Agung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu ternyata tidak sadar kalau kamu itu yang gila.” Tiba-tiba suara tawa terdengar dari arah tangga. Katha menoleh dan menemukan Kandara yang baru turun dari lantai dua. Kakaknya itu berpakaian santai dengan rambut masih basah. “Ketawa seenaknya. Keringin dulu itu rambut. Bikin becek!” Katha mel
Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna. Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu. Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya. “Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha. Katha mengulas senyum tipis. D
“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar. Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri. “Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah. Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?” “Karena Papa mau aku segera menikah.” “Kenapa?” Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya. Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Ra
Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus. Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami. “Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung. Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya. “Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi. Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.” Agung mengerang frustasi. Dia meremas ram
Katha mengerahkan kekuatan untuk melepaskan bahunya dari cengkraman Rabu. Lantas begitu terlepas, langsung dia arahkan telapaknya pada pipi Rabu. Pukulan itu tak begitu keras, tapi mampu menciptakan suara yang jelas. Dipukul begitu, Rabu hanya diam. Matanya terus menghunjamkan tatapan tajam pada Katha. Kali ini dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski perempuan di depannya tampak tak percaya. “Wah, lagi ngaco lo,” ucap Katha, lalu tertawa pelan. Dia kembali memukul pipi kanan Rabu untuk kali kedua. Namun, reaksi lelaki itu tak jauh beda. “Bu!” pekiknya saat pandangan Rabu tak kunjung putus dari manik miliknya. “Sadar, Bu!” Dia membalas perbuatan Rabu sebelumnya dengan mencengkeram dua bahu yang lebih tinggi darinya. Meski susah payah, Katha berusaha mengguncangkan bahu sahabatnya itu agar cepat sadar. Reaksi kemarahan Rabu yang seperti ini tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Maka kali ini dia seperti orang yang masuk ke sebuah wilay