Rabu seketika panik. Dia meninggalkan kopernya begitu saja dan berlari menghampiri Ratu. Jantungnya berdegup kencang dengan rasa panas serta keringat yang menderas di sekujur tubuhnya.
Lelaki itu kemudian meraih bahu sang adik, lalu menatapnya tajam dengan mata memerah. Pegangannya di kedua bahu sang adik mengerat.
“Rat, Ibu kenapa?” tanyanya menahan segala emosi yang hampir meledak.
Di samping itu, mata Ratu seketika terbelalak. Dia tidak menyangka langsung melihat wajah sang kakak hari ini. Apalagi dengan muka memerah begitu.
“Mas ….”
“Ibu mana, Rat? Ibu kenapa? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya lagi. Suaranya kali ini lebih meninggi, hingga Katha yang tadinya memperhatikan dari jauh, akhirnya berlari mendekat sambil susah payah menarik dua koper.
“Rabu!” panggil Katha.
Rabu tidak menoleh, tapi Ratu yang melihat Katha. Remaja itu menggumamkan nama Katha, membiarkan sang kakak terus mengguncang bahunya.
Dengan napas t
Rahayu akhirnya keluar dari rumah sakit setelah serangkaian drama bersama Ratu, Rabu, dan Katha. Dia memaksa anak-anaknya untuk pulang dan istirahat di rumah, terutama Rabu dan Katha, tapi semua menolak. Mereka pun memaksa untuk bisa menemani dirinya bertiga, padahal pihak rumah sakit hanya meperbolehkan satu orang penjaga. Maka untuk menghindari perseteruan yang tiada habisnya. Dia meminta untuk pulang lebih dulu. Apalagi kondisinya memang sudah baik. Hanya lengan kanannya yang masih perlu dibalut gips, karena butuh penyembuhan lebih lama. “Kita harus masakin Ibu,” ujar Katha kala mereka sudah sampai di rumah dan sudah merapikan barang-barang Rahayu. Perempuan paruh baya itu kini duduk di ruang keluarga sambil menonton drama terbaru di Netfl**. Meski usia sudah tidak muda, tapi selera nontonnya tidak jauh beda dengan Ratu dan Katha. “Kenapa ajak-ajak?” duga Rabu. Tanpa diminta pun, dia sebetulnya akan tetap membantu Katha jika perempuan itu berniat memasak.
“Mbak, anak-anak biar istirahat dulu,” ujar Rahayu berusaha menyelamatkan Rabu dan Katha dari keganasan mulut kakaknya. “Eh, baiknya periksa dulu aja ….” Rahayu langsung maju ke depan, melewati Rabu dan Katha yang langkahnya terhenti. Dia menggandeng lengan kakaknya dengan tangannya yang tidak dibalut gips, lalu menariknya menuju ke ruang keluarga. “Mbak kapan datang? Aku kira baliknya masih lama. Biasanya kalau nengokin Andini kan lama,” tanya Rahayu. Lalu suara keduanya mengobrol terdengar semakin pelan. Katha dan Rabu pun seketika mengembuskan napas lega. Mereka melanjutkan langkah menuju kamar. Rabu kemudian membantu Katha berbaring, lalu membalurkan minyak kayu putih di perut perempuan itu. “Aku bisa sendiri, Bu,” ujar Katha. Kali ini dia cukup malu memperlihatkan perutnya pada Rabu, padahal Rabu sudah biasa melihat dia memakai pakaian-pakaian terbuka. Mungkin karena kali ini tangan lelak itu akan menyentuh kulitnya. “Udah
Setelah bertelfonan dengan Sakha, Katha enggak menghabiskan makanannya. Dia terus saja meminta Ayam Goreng Mantap para Rabu. Dan lelaki itu gagal membujuk Katha. Hingga lagi-lagi Bude Marni lewat di depan kamar mereka, lalu mendengar perdebatan mereka soal ayam goreng. “Tuh, kan, Bude bilang apa,” ujarnya sambil membuka pintu kamar. “Katha itu pasti isi. Kamu bohongin Bude soal dia haid, kan? Mau bikin surprise untuk ibumu nanti?” Perempuan itu tersenyum simpul, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia duduk di tepi tempat tidur, sementara Rabu berdiri di samping nakas. Mendengar ucapan Bude Marni, Katha lagi-lagi merasa frustrasi. Dia kira orang ini segera pulang. Tapi, jelang petang begini rupanya perempuan paruh baya itu masih saja ada di sini. “Eh, aku kira Bude udah pulang,” ujar Katha akhirnya. Dia mencoba mengabaikan pertanyaan Bude Marni sebelumnya, dan berharap perempuan itu lupa akan ucapannya sendiri. “Iya, Bude nunggu Pakde jemput.
Ayam Goreng Mantap rupanya gagal digunakan untuk membujuk Katha minum obat. Entah kenapa perempuan yang satu ini begitu rewel hari ini. Rabu sendiri bingung. Apa memang karena PMS, ataukah karena sakitnya. Yang pasti Katha jarang begini kalau sakit. “Lo bener nggak mau minum obatnya?” tanya Rabu sekali lagi. Raut wajah jengkelnya kali ini terpampang jelas, tapi tetap diabaikan oleh Katha. “Gue cuma perlu istirahat, Bu. Obatnya nggak perlu.” Katha menjawab masih sama santainya. Sepulang Rabu dari kedai ayam goreng, dia langsung memeriksa demam Katha. Dan ternyata memang benar sudah sedikit lebih turun lagi dibanding sebelumya. Namun, dia belum merasa tenang kalau Katha tidak minum obat. Sebab, dia khawatir kalau demamnya bisa naik lagi. Rabu kemudian menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Kepalanya akhirnya menunjukkan sebuah ide gila yang bisa dia pakai untuk mengancam Katha. “Muka lo tiba-tiba mencurigakan,” celetuk Katha curiga. Dia sam
“Aku pulang!” teriak Ratu. Remaja SMA itu langsung berlari menghampiri kakak iparnya yang duduk di depan televisi. “Hey, gimana sekolah?” tanya Katha. “Gitu aja, Mbak,” jawabnya malas. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah semringah. “Aku bawa banyak jajanan buat Mbak biar nggak bosan.” Dia kemudian membuka tas, lalu mengeluarkan berbagai jajanan basah dan snack bungkusan. Jajanan basah berbumbu bubuk dan berminyak itu tampak masih hangat. “Ini ada telur gulung,” ujarnya. “Mbak pasti udah lama nggak makan ini, kan?” Katha seketika tertawa. Dia memang sudah lama sekali tidak makan jajanan sekolah semacam ini semenjak bekerja. Dan ketika melihat jajanan yang dibawa Ratu, dia baru menyadari bahwa ada rasa rindu yang muncul. “Ini gede-gede banget, Rat,” ujar Katha sambil mengambil plastik berisi telur gulung itu. “Iyalah, Mbak. Orang harganya juga gede,” sahut Ratu. Perempuan itu kini mengambil plastik berisi maklor, lalu mengun
Katha mengelak. Dia akhirnya berbohong kalau itu adalah telepon dari Shae. Sampai saat ini, dia beranggapan bahwa belum saatnya memberitahukan perihal keanehan yang dialaminya pada Rabu. Lagi pula meski curiga, entah bagaimana dia jadi merasa menuduh orang tanpa bukti kuat.“Terus gimana? Jadi ke mini market? Ayo gue anterin. Mau beli apa emang?” tanya Rabu.“Mau beli pembalut sih. Tapi ini mager banget mau ke sana,” jawab Katha akhirnya.“Ya, kan, gue anterin,” sahut Rabu. “Atau mau gue beliin aja? Yang kayak biasanya, kan?” tanyanya. Sebab, dulu Katha hampir selalu menyuruh dirinya membeli pembalut kala tamu bulanan itu datang di tempat yang tidak diharapkan.Katha menggeleng. “Ayo, deh!” ujarnya sambil naik ke boncengan Rabu.Rabu pun membelokkan motor ke arah mulut gang lagi.Sementara selama perjalanan tak panjang itu, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tahu kalau o
Kereta yang ditumpangi Katha dan Rabu mengalami kecelakaan. Kereta keluar dari jalur dan jatuh ke sisi kiri. Beruntung tidak ada korban jiwa, meski banyak yang mengalami luka ringan dan syok. Rabu sendiri langsung marah-marah usai keluar dari kereta. Katha sampai perlu menenangkan lelaki itu berkali-kali. Padahal seingatnya dulu Rabu bukan sosok pemarah seperti ini. Namun entah kenapa hati ini Rabu tampak lebih sensitif. Pada akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan bus, dan tidak menunggu pemberitaan dari pihak kereta api lebih lanjut. Sebetulnya Katha yang memaksa, karena tidak ingin Rabu kembali meledak-ledak. “Perjalanan ini bakal lebih melelahkan. Lo nggak apa-apa?” tanya Rabu. Sebab posisi mereka sekarang memang sedang di jawa tengah. Perlu beberapa jam sebelum tiba di bandara Jogja untuk naik pesawat menuju Jakarta. Katha mengangguk. “Gue oke, kok,” jawabnya. “Oke.” “Terus ini ngomong-ngomong tangan lo kapan pindahny
Katha masih tetap terdiam di tempat, sampai akhirnya Rabu menyadari kehadiran dirinya. Lelaki itu langsung beringsut menjauh dari Felysia, dan membenai lengannya yang tersingkap. Tadi Felysia memukul legannya, dan tanpa bisa menahan dia mengaduh. Akhirnya perempuan itu memaksa untuk memeriksa lengannya. Namun, membiarkan perempuan itu sudah pasti kebodohannya. Apalagi sampai disaksikan Katha seperti sekarang. Dia akhirnya mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa beku. Belum lagi, tidak ada seorang pun yang berbicara. “Tha, udah mandi? Nih, makan. Udah dingin. Apa mau aku hangatkan?” tanyanya. Dia sengaja mengganti sapaan, entah dengan alasan apa. Katha menggeleng. Dia akhirnya memutuskan mendekat. “Kenapa?” tanyanya sambil melirik Felysia. “Lengan Prabu terluka. Gue cuma cek aja,” jawab Felysia. Seketika Katha berdeham. Dia merasa sangat canggung, sebab tidak tahu kalau ternyata Rabu terluka. Pasti lelaki itu