Beranda / Romansa / Red in Us / 152. Bersama Felysia

Share

152. Bersama Felysia

Penulis: Dy Robyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Katha masih tetap terdiam di tempat, sampai akhirnya Rabu menyadari kehadiran dirinya. Lelaki itu langsung beringsut menjauh dari Felysia, dan membenai lengannya yang tersingkap.

Tadi Felysia memukul legannya, dan tanpa bisa menahan dia mengaduh. Akhirnya perempuan itu memaksa untuk memeriksa lengannya. Namun, membiarkan perempuan itu sudah pasti kebodohannya. Apalagi sampai disaksikan Katha seperti sekarang.

Dia akhirnya mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa beku. Belum lagi, tidak ada seorang pun yang berbicara.

“Tha, udah mandi? Nih, makan. Udah dingin. Apa mau aku hangatkan?” tanyanya. Dia sengaja mengganti sapaan, entah dengan alasan apa.

Katha menggeleng. Dia akhirnya memutuskan mendekat. “Kenapa?” tanyanya sambil melirik Felysia.

“Lengan Prabu terluka. Gue cuma cek aja,” jawab Felysia.

Seketika Katha berdeham. Dia merasa sangat canggung, sebab tidak tahu kalau ternyata Rabu terluka. Pasti lelaki itu

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Red in Us   153. Ketahuan Felysia

    Katha tidak tahu kenapa, tapi dia rasa Rabu dan Felysia semakin hari, semakin dekat. Dia kerap memergoki Felysia menghubungi Rabu lebih sering dari sebelumnya, bahkan terkadang di jam-jam istirahat malam. Namun, karena gengsi dianggap cemburu, Katha akhirnya tak pernah bernyata lagi pada Rabu. Apalagi lelaki itu sudah mengatakan bahwa dia dan Felysia sedang mengerjakan sebuah bisnis bersama. Seperti siang ini, dia datang ke kantor Rabu untuk mengajak lelaki itu makan siang bersama. Dia bahkan sudah membawa dua bungkusan makanan. Satu berisi bento, satunya lagi nasi padang. Akan tetapi, kabar yang dia dapat malah membuatnya terkejut, meski itu bukan hal yang sangat aneh. “Ada Felysia di dalam?” tanya Katha sekali lagi. Shofi mengangguk. Dia kemudian melirik paper bag di tangan Katha. “Mbak mau makan siang di sini? Biar aku panggilin si Bos,” ujarnya. Katha menggeleng. “Mereka lagi rapat?” tanyanya. Shofi terdiam lama. Keraguan tampak jelas di w

  • Red in Us   154. Potongan Masa Lalu yang Muncul Kembali

    “Kenapa lo ngomong hal kayak gitu ke gue?” tanya Katha yang mulai kehabisan kesabaran. Dia urung menuntaskan hajatnya dan memilih untuk meladenin Felysia yang menurutnya kali ini keterlaluan.Felysia berdecih. Dia masih menatap rendah pada Katha. “Gue tahu rahasia lo sama Prabu.”“Rahasia?” tanya Katha dengan kening terlipat. “Rahasia apa maksud lo? Rahasia apa yang bikin lo bisa bersikap kayak gini ke gue?”Seringai muncul di bibir mantan Rabu itu. “Gue tahu kalau lo sama Prabu nikah kontrak,” ujarnya.Katha terbelalak. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya hingga membuat senyum kemenangan nampak di wajah perempuan di depanya.“Kenapa kaget gitu?” tanya Felysia.Katha tak menyahut. Dia membuang muka dan hendak membalik badan. Tapi, tahu-tahu lengannya dicekal dan ditarik oleh Felysia.“Tunggu aja. Gue bakal dapatin lagi Prabu supaya kontrak kalian b

  • Red in Us   155. Tragedi Malam Minggu I

    Rabu melirik Katha yang sudah mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada buku menu. Lebih tepatnya pura-pura fokus. Sebab, tubuh perempuan itu tidak bisa berbohong. Katha gemetaran dan wajahnya sudah memucat.Sementara Rabu kembali mengamati wajah Brama sembari membiarkan Katha menyebutkan pesanan mereka. Lelaki itu setelah terkejut tadi, tampak biasa dan profesional. Seolah-olah dia tak mengenal Rabu dan Katha.“Baik. Mohon ditunggu, ya.”Setelah mengatakan itu, Brama berlalu dari meja mereka.“Lo nggak apa-apa, Tha? Kita pindah restoran aja, yuk!” ajak Rabu. Dia menggeggam tangan Katha yang awalnya bertumpu di tas meja.Katha menggeleng. “Gue nggak mau terlihat masih terpengaruh sama kejadian yang lalu, Bu. Itu sama aja bikin dia ngerasa menang,” jawab Katha.Rabu menghela napas. “Dasar keras kepala,” gumamnya. Namun, tetap mengeratkan genggamannya di tangan Katha. Dia harap dengan begitu,

  • Red in Us   156. Tragedi Malam Minggu II

    Katha tidak penah menyangka bahwa dia harus bertemu dan mendapat ucapan yang seperti itu dari seorang Brama. Meski sudah mempersiapkan diri akan pertemuan ini, tapi mendapat cemoohan kasar dari lelaki itu kembali membuat tubuh Katha gemetar. Wajahnya pucat pasi. Rabu yang menyadari kalau Brama membisikkan sesuatu yang buruk pada Katha langsung bereaksi. Dia bangkit dari kursinya, lalu menarik kerah kemeja Brama. “Ngomong apa lo sama istri gue? Ha?!” bentaknya. Matanya kini benar-benar nyaris keluar dari rongga. Orang-orang seketika bereaksi. Arah pandang mereka terarah pada titik yang sama. Namun, tak satu pun yang beranjak memisahkan. Namun sepeti buta dan tulis, seingai muncul di bibir Brama. Dia mengabaikan tatapan orang lain dan luruk menantang wajah Rabu. “Istri? Wah, ternyata kabar yang gue denger benar.” Dia bertepuk tangan. “Gue udah nyangka kalian sejak dulu tuh pasti udah ada hubungan. Dan gue …,” bisiknya sambil mendekatkan kepala ke teling

  • Red in Us   157. Ke Rumah Sakit

    Mobil hitam itu akhirnya menabrak sebuah pohon setelah berusaha menghindar dan bagian depannya tertabrak truk. Asap keluar dari kap depan mobil yang terbuka. Rabu yang masih sadar langsung menoleh ke arah Katha dan mengamati perempuan yang tengah terbelalak dengan wajah pucat. “Lo nggak apa-apa, Tha? Ya, ampun, maafin gue,” ujar Rabu sembari melepas seat belt, begitu juga dengan yang melintangi tubuh Katha. Dia merasa sangat bersalah. Pasalnya, Katha sudah mengalami dua kecelakaan di waktu dekat, dan sekarang harus mengalaminya untuk yang ketiga kalinya. Padahal saat ini Katha sedang terluka. “Bu, gue nggak apa-apa. Ayo keluar!” ajak Katha. Dia meringis sedikit. Luka di belakang kepalanya mulai berdenyut nyeri. Demi mendengar ringisan Katha, Rabu langsung berlari turun dari mobil. Dia membuka pintu di sebelah Katha, lalu mencoba menggendong perempuan itu di punggungnya. “Naik, Tha!” perintahnya sambil berjongkok. Dia mau menggendong Katha deng

  • Red in Us   158. Sebuah Kesimpulan yang Masih Penuh Tanya

    Katha keluar rumah sakit tiga hari setelah dirawat. Dan dia tetap masuk kerja karea dipaksa oleh Kandara meski luka jahitan di belakang kepalanya belum sembuh. Hal itu dilakukan Kandara karena adiknya itu terus-meneru di rumah sakit dan enggan pulang. Makanya dia lebih baik membuat Katha sibuk dengan pekerjaan agar tidak terlalu sibuk memikirkan Rabu. Rabu sendiri mendukung keputusan Kandara. Dia sudah putus asa meminta Katha pulang dan beristirahat dengan nyaman di rumah. Namun, meski begitu, Katha setiap pulang kerja selalu ke rumah sakit. Dia beberapa kali menginap di sana setelah berhasil kabur dari Kandara, contohnya seperti mala mini. “Apa gue cuti lagi aja, ya?” gumam Katha sambil mengunyah nasi goreng yang dipesannya melalui aplikasi ojek online. “Kandara kejam banget, ih. Dia kasih gue kerjaan setinggi gunung.” Rabu terkekeh pelan. Dia sudah tau kalau Kandara sengaja melakukannya. “Nggak usah cuti. Ngapain deh,” sahutnya kemudian. Waj

  • Red in Us   159. "Gue nggak mau jadi sahabat lo lagi."

    Pukul sepuluh malam, Katha baru sampai di rumah orang tuanya. Dia memang enggan bertemu Rabu untuk sementara waktu, karena takut bahwa kesimpulannya tadi benar. Kalau dia benar-benar suka Rabu, maka persahabatan mereka bisa saja hancur. Oleh karenanya dia memutuskan untuk menginap di rumah orang tunya. Selain itu, dia masih kesal juga atas kejadian pagi tadi di rumah sakit. “Makasih, Kha,” ujar Katha sambil melepas seat belt. “Anytime,” jawab Sakha. “Ini yakin nginep sini?” tanyanya. Katha mengangguk. Dia kemudian mengucapkan terima kasih kembali, lalu keluar dari mobil Sakha. Gerbang rumahnya sudah terbuka sedikit. Di sana berdiri Pak Hadi yang menunggu dengan kernyitan di dahi. “Oh, Mbak Katha tenyata. Saya kira siapa. Soalnya orang rumah udah di dalam semua,” ujarnya. Katha nyengir sebentar, lalu mengucapkan terima kasih karena sudah dibukakan gerbang. Dia kemudian langsung masuk ke dalam rumah dan menapaki tangga menuju kamarnya.

  • Red in Us   160. Friends Don't Kiss

    Katha seketika tercengang setelah mendengar ucapan Rabu. Dia tidak mengira hal seperti itu akan keluar dari mulut lelaki yang dikenalnya selama kurang lebih empat belas tahun. Kekecewaan seketika menyelimuti Katha. Dia bahkan tak bisa menahan air mata yang mulai menggembung di mata. “Maksud lo apa, Bu? Lo udah nggak mau sahabatan sama gue? Hubungan kita sampai di sini aja? Gue nggak nyangka lo bisa berubah kayak gini secara tiba-tiba,” oceh Katha. Suaranya mulai bergetar. Sementara Rabu menyaksikan itu dengan mengukuhkan hati. Dia tidak boleh mundur. Entah nantinya dia akan kehilangan Katha, atau akan berhasil menjadikan perempuan itu istrinya secara nyata. “Apa yang sebenarnya lo takutin, Tha?” tanya Rabu. “Ini,” jawab Katha langsung. Air mata mulai turun di pipinya. “Ini, Bu. Gue takut lo berubah. Gue takut lo nggak jadi sahabat gue lagi.” Rabu memicingkan mata. Melihat wajah Katha yang basah membuatnya tidak tega juga, tapi ini harus dia la

Bab terbaru

  • Red in Us   176. Red in Us

    Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek

  • Red in Us   175. Kabar Kecil

    Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m

  • Red in Us   174. Penyelamatan

    Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak

  • Red in Us   173. Tertembak

    Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran

  • Red in Us   172. Seseorang yang Tak Terduga

    Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai

  • Red in Us   171. Siapa?

    Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan

  • Red in Us   170. Pencarian yang Melelahkan

    Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba

  • Red in Us   169. Diculik

    “Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum

  • Red in Us   168. Tanda-Tanda yang Diabaikan

    Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya

DMCA.com Protection Status