Mobil hitam itu akhirnya menabrak sebuah pohon setelah berusaha menghindar dan bagian depannya tertabrak truk. Asap keluar dari kap depan mobil yang terbuka. Rabu yang masih sadar langsung menoleh ke arah Katha dan mengamati perempuan yang tengah terbelalak dengan wajah pucat.
“Lo nggak apa-apa, Tha? Ya, ampun, maafin gue,” ujar Rabu sembari melepas seat belt, begitu juga dengan yang melintangi tubuh Katha.
Dia merasa sangat bersalah. Pasalnya, Katha sudah mengalami dua kecelakaan di waktu dekat, dan sekarang harus mengalaminya untuk yang ketiga kalinya. Padahal saat ini Katha sedang terluka.
“Bu, gue nggak apa-apa. Ayo keluar!” ajak Katha. Dia meringis sedikit. Luka di belakang kepalanya mulai berdenyut nyeri.
Demi mendengar ringisan Katha, Rabu langsung berlari turun dari mobil. Dia membuka pintu di sebelah Katha, lalu mencoba menggendong perempuan itu di punggungnya.
“Naik, Tha!” perintahnya sambil berjongkok. Dia mau menggendong Katha deng
Katha keluar rumah sakit tiga hari setelah dirawat. Dan dia tetap masuk kerja karea dipaksa oleh Kandara meski luka jahitan di belakang kepalanya belum sembuh. Hal itu dilakukan Kandara karena adiknya itu terus-meneru di rumah sakit dan enggan pulang. Makanya dia lebih baik membuat Katha sibuk dengan pekerjaan agar tidak terlalu sibuk memikirkan Rabu. Rabu sendiri mendukung keputusan Kandara. Dia sudah putus asa meminta Katha pulang dan beristirahat dengan nyaman di rumah. Namun, meski begitu, Katha setiap pulang kerja selalu ke rumah sakit. Dia beberapa kali menginap di sana setelah berhasil kabur dari Kandara, contohnya seperti mala mini. “Apa gue cuti lagi aja, ya?” gumam Katha sambil mengunyah nasi goreng yang dipesannya melalui aplikasi ojek online. “Kandara kejam banget, ih. Dia kasih gue kerjaan setinggi gunung.” Rabu terkekeh pelan. Dia sudah tau kalau Kandara sengaja melakukannya. “Nggak usah cuti. Ngapain deh,” sahutnya kemudian. Waj
Pukul sepuluh malam, Katha baru sampai di rumah orang tuanya. Dia memang enggan bertemu Rabu untuk sementara waktu, karena takut bahwa kesimpulannya tadi benar. Kalau dia benar-benar suka Rabu, maka persahabatan mereka bisa saja hancur. Oleh karenanya dia memutuskan untuk menginap di rumah orang tunya. Selain itu, dia masih kesal juga atas kejadian pagi tadi di rumah sakit. “Makasih, Kha,” ujar Katha sambil melepas seat belt. “Anytime,” jawab Sakha. “Ini yakin nginep sini?” tanyanya. Katha mengangguk. Dia kemudian mengucapkan terima kasih kembali, lalu keluar dari mobil Sakha. Gerbang rumahnya sudah terbuka sedikit. Di sana berdiri Pak Hadi yang menunggu dengan kernyitan di dahi. “Oh, Mbak Katha tenyata. Saya kira siapa. Soalnya orang rumah udah di dalam semua,” ujarnya. Katha nyengir sebentar, lalu mengucapkan terima kasih karena sudah dibukakan gerbang. Dia kemudian langsung masuk ke dalam rumah dan menapaki tangga menuju kamarnya.
Katha seketika tercengang setelah mendengar ucapan Rabu. Dia tidak mengira hal seperti itu akan keluar dari mulut lelaki yang dikenalnya selama kurang lebih empat belas tahun. Kekecewaan seketika menyelimuti Katha. Dia bahkan tak bisa menahan air mata yang mulai menggembung di mata. “Maksud lo apa, Bu? Lo udah nggak mau sahabatan sama gue? Hubungan kita sampai di sini aja? Gue nggak nyangka lo bisa berubah kayak gini secara tiba-tiba,” oceh Katha. Suaranya mulai bergetar. Sementara Rabu menyaksikan itu dengan mengukuhkan hati. Dia tidak boleh mundur. Entah nantinya dia akan kehilangan Katha, atau akan berhasil menjadikan perempuan itu istrinya secara nyata. “Apa yang sebenarnya lo takutin, Tha?” tanya Rabu. “Ini,” jawab Katha langsung. Air mata mulai turun di pipinya. “Ini, Bu. Gue takut lo berubah. Gue takut lo nggak jadi sahabat gue lagi.” Rabu memicingkan mata. Melihat wajah Katha yang basah membuatnya tidak tega juga, tapi ini harus dia la
“Friends don’t kiss, Katharina.” Katha tersentak. Dia menyadari bahwa banyak hal yang terjadi di luar batas persahabatan mereka sejak pernikahan ini. Dia tidur satu kasur dengan sahabatnya sendiri, saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, belanja bulanan, pergi ke luar negeri yang jelas sekali itu terlihat seperti bulan madu ketimbang liburan, bahkan dia berciuman dengan Rabu tak hanya sekali. Lantas, selama ini dia memang menjalani kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Dia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menjernihkan kepala. Tidak, ini tidak benar. Seharusnya tidak seperti ini. “Jangan coba menyangkal, Katha,” ujar Rabu. Nadanya kali ini tegas. Pemaklumannya mungkin sudah berada pada batas. Katha menutup mulutnya dengan telapak tangan, sementara kepalanya terarah pada pintu balkon yang tertutup. “Do you love me, Bu?” tanyanya. “Kalau mau tau jawabannya, lihat gue!” perintah Rabu. Namun, Katha tetap tak bisa melak
Rabu dan Katha kini duduk di balkon. Keduanya mengobrol ringan setelah perdebatan menguras emosi dan tenaga. Malam padahal sangat larut. Bakan hampir sampai pada waktu sepertiga malam sepertinyanya. Tapi tak ada satu pun yang terserang kantuk. “Kamu tadi ke mana?” tanya Rabu. Katha bergidik mendengar sapaan Rabu. “Apaan sih tiba-tiba ganti sapaan gitu? Orang cuma lagi berdua aja.” Rabu terkekeh. “Biar terbiasa aja. Kalau kamu masih mau pakai lo-gue juga nggak apa-apa, Tha.” Katha menggeleng-gelengkan kepala, sebab rasanya terlalu aneh dan menggelikan. “So, pertanyaanku tadi belum dijawab,” ujar Rabu. “Ah, itu, gue ke pantai,” jawab Katha. Kenyitan muncul di dahi Rabu. “Sama siapa? Shae gue cek masuk kerja dia tuh.” “Sama Sakha. Lagi nggak kerja dia. Jadilah gue dianterin melipir sebentar dari hidup yang penat.” Rabu kali ini berdecak. Campuran kesal, dan geli atas kalimat Katha. “Bilang aja kabur karena cemburu,
Hubungan Katha dan Rabu semakin membaik hari demi hari. Mereka terkadang seperti suami-istri yang mesra, di lain hari seperti sahabat yang sering bertengkar karena alasan konyol. Meski begitu, satu hal yang belum terjadi meski perasaan keduanya kini telah berubah: hubungan suami istri. Rabu tidak pernah memaksa Katha. Walaupun tentu ada malam di mana dia benar-benar merasa bergairah terhadap Katha, tapi dia dengan bersungguh-sungguh mengatakan akan menunggu Katha siap. Katha sendiri bukannya tidak siap. Dia hanya canggung. Meski sudah terbiasa saling berciuman, tapi membayangkan sentuhan yang lebih dari itu membuat bulu kuduknya meremang. Dia berhubungan seks dengan sahabatnya sendiri adalah hal tidak terduga dan menggelikan. Rasanya dia tidak akan sanggup membiarkan Rabu melihat tubuh telanjangnya, begitupun sebaliknya. Ya, walaupun dia sudah pernah melihat Rabu naked akibat ketidaksengajaan. “Ini lo langsung berangkat survey lokasi sama Kandara?” ta
Pagi tadi tiba-tiba Felysia mengirimkan pesan berisi ajakan bertemu saat jam makan siang di restoran milik sepupunya pada Katha. Katha jelas terkejut. Dia tidak tahu alasan perempuan itu meminta bertemu dengannya, padahal sangat membenci dirinya. Akan tetapi panggilan itu harus dia penuhi untuk tahu cara penyelesaiian perkara kontrak yang bocor ke tangan Felysia. “Lo mau bicara apa?” tanya Katha kala Felysia baru saja duduk di kursi seberangnya. Meja mereka kosong. Belum ada pesanan yang dibuat. Karena tidak mungkin juga orang yang saling tak suka menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. “Oke, nggak usah basa-basi,” ujar Felysia. Dia membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah map. “Buka itu!” perintahnya sambil melempat map ke depan Katha. Katha dengan sedikit ragu mengambil map, lalu membukanya. Sungguh terkejut dia, sebab isi map itu adalah salinan surat kontrak pernikahannya dengan Rabu. Padahal surat yang asli saja sudah dia bakar bersama Rabu
Katha terbangun kala badannya tergerak-gerak. Dia kemudian membuka mata dan menemukan Rabu sedang memakaian piyamanya di tengah keremangan kamar. Melihat itu, Katha jadi mengulas senyum. Namun, ingatan tentang pegulatan mereka tadi membuat wajahnya tiba-tiba merasa panas. Dan untuk menghilangkan itu, dia berdeham lalu bertanya, “Jam berapa ini?” Rabu tesentak mendengar pertanyaan Katha. Dia tidak sadar kalau gerakannya membuat perempuan itu terbangun. “Eh! Sorry bikin lo bangun,” ujar Rabu. “Gue nggak mau lo kedinginan aja,” ujarnya. “Sekarang baru jam satu malam.” Katha tertawa dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur. “Lanjutin, Bu,” pintanya, karena gerakan Rabu terhenti. Atas permintaan itu, Rabu melanjutkan aksinya. Dia lanjut memasukkan lengan Katha ke lengan pakaian. Dia tahu kalau perempuan itu pasti lelah sekali. Setelah itu, dia mengambil handuk yang sudah dia basahi di kamar mandi tadi, dan dipakainya untuk menyeka kaki Katha.