Pagi tadi tiba-tiba Felysia mengirimkan pesan berisi ajakan bertemu saat jam makan siang di restoran milik sepupunya pada Katha. Katha jelas terkejut. Dia tidak tahu alasan perempuan itu meminta bertemu dengannya, padahal sangat membenci dirinya.
Akan tetapi panggilan itu harus dia penuhi untuk tahu cara penyelesaiian perkara kontrak yang bocor ke tangan Felysia.
“Lo mau bicara apa?” tanya Katha kala Felysia baru saja duduk di kursi seberangnya. Meja mereka kosong. Belum ada pesanan yang dibuat. Karena tidak mungkin juga orang yang saling tak suka menghabiskan waktu untuk makan siang bersama.
“Oke, nggak usah basa-basi,” ujar Felysia. Dia membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah map. “Buka itu!” perintahnya sambil melempat map ke depan Katha.
Katha dengan sedikit ragu mengambil map, lalu membukanya. Sungguh terkejut dia, sebab isi map itu adalah salinan surat kontrak pernikahannya dengan Rabu. Padahal surat yang asli saja sudah dia bakar bersama Rabu
Katha terbangun kala badannya tergerak-gerak. Dia kemudian membuka mata dan menemukan Rabu sedang memakaian piyamanya di tengah keremangan kamar. Melihat itu, Katha jadi mengulas senyum. Namun, ingatan tentang pegulatan mereka tadi membuat wajahnya tiba-tiba merasa panas. Dan untuk menghilangkan itu, dia berdeham lalu bertanya, “Jam berapa ini?” Rabu tesentak mendengar pertanyaan Katha. Dia tidak sadar kalau gerakannya membuat perempuan itu terbangun. “Eh! Sorry bikin lo bangun,” ujar Rabu. “Gue nggak mau lo kedinginan aja,” ujarnya. “Sekarang baru jam satu malam.” Katha tertawa dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur. “Lanjutin, Bu,” pintanya, karena gerakan Rabu terhenti. Atas permintaan itu, Rabu melanjutkan aksinya. Dia lanjut memasukkan lengan Katha ke lengan pakaian. Dia tahu kalau perempuan itu pasti lelah sekali. Setelah itu, dia mengambil handuk yang sudah dia basahi di kamar mandi tadi, dan dipakainya untuk menyeka kaki Katha.
Sejak pulang dari mall hingga pagi, Katha terus saja merasa resah. Dia memeriksa gawai beberapa kali. Bahkan bunyi notifikasi dari gawainya atau gawai Rabu, membuatnya terkejut. Melihat keresahan Katha, Rabu hanya bisa menghela napas. Dia sudah berulang kali menenangkan, tapi tetap saja gagal. Katha hanya tenang selama sepuluh menit, sebelum kembali seperti sebelumnya. Sepertinya kalau belum mendapat marah dari orang tuanya, dia tidak akan kunjung tenang. “Mumpung libur, mau ke rumah Papa-Mama?” tanya Rabu akhirnya. Dia baru selesai membuat sarapan. Sementara Katha baru selesai menyapu rumah secara manual. Dia tidak mengunakan penyedot debu, karena Rabu memang tidak punya alatnya. Ditanya begitu, Katha menghadap Rabu. Dia berdiri tidak jauh dari posisi lelaki itu dengan bibir sudut bibir yang masih saja turun. “Daripada lo khawatir terus di sini, ayo ke rumah Papa. Kalau memang Felysia mengirimkan salinan kontrak itu ke Papa, ya pasti ada yang
“Kamu udah nggak kerja mulai hari ini?” tanya Rabu. Mereka sudah sepakat mengganti panggilan sejak dua minggu lalu. Itu karena mereka ketahuan masih menggunakan sapaan lo-gue oleh Agung, dan diceramahi habis-habisan. Padahal sebelumnya Katha sudah lega tak mendapat omelan dari sang papa. “Iya,” jawab Katha sambil beranjak memindahkan piring-piring kotor ke dapur. “Kamu benar-benar yakin? Aku nggak masalah kamu kerja,” ujar Rabu. Dia mendekati Katha yang tengah mencuci piring. “Biar aku yang cuci.” Katha menggeleng. Dia menyikut pinggang Rabu agar lelaki itu menjauh. “Yakin. Lagian Kandara udah dapat sekretaris baru. Dan sesuai ucapanku dulu, kalau aku akan berhenti kerja kalau dapat suami sesungguhnya.” “Oh, iya, aku naik level dari suami kontrak jadi suami permanen ya?” goda Rabu. Katha seketika tertawa. Bisa-bisanya Rabu menyamakan dirinya sendiri dengan pekerja kantoran yang kontrak dan tetap. “Mandi, sana!” perintah Katha.
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai