Rabu melirik Katha yang sudah mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada buku menu. Lebih tepatnya pura-pura fokus. Sebab, tubuh perempuan itu tidak bisa berbohong. Katha gemetaran dan wajahnya sudah memucat.
Sementara Rabu kembali mengamati wajah Brama sembari membiarkan Katha menyebutkan pesanan mereka. Lelaki itu setelah terkejut tadi, tampak biasa dan profesional. Seolah-olah dia tak mengenal Rabu dan Katha.
“Baik. Mohon ditunggu, ya.”
Setelah mengatakan itu, Brama berlalu dari meja mereka.
“Lo nggak apa-apa, Tha? Kita pindah restoran aja, yuk!” ajak Rabu. Dia menggeggam tangan Katha yang awalnya bertumpu di tas meja.
Katha menggeleng. “Gue nggak mau terlihat masih terpengaruh sama kejadian yang lalu, Bu. Itu sama aja bikin dia ngerasa menang,” jawab Katha.
Rabu menghela napas. “Dasar keras kepala,” gumamnya. Namun, tetap mengeratkan genggamannya di tangan Katha. Dia harap dengan begitu,
Katha tidak penah menyangka bahwa dia harus bertemu dan mendapat ucapan yang seperti itu dari seorang Brama. Meski sudah mempersiapkan diri akan pertemuan ini, tapi mendapat cemoohan kasar dari lelaki itu kembali membuat tubuh Katha gemetar. Wajahnya pucat pasi. Rabu yang menyadari kalau Brama membisikkan sesuatu yang buruk pada Katha langsung bereaksi. Dia bangkit dari kursinya, lalu menarik kerah kemeja Brama. “Ngomong apa lo sama istri gue? Ha?!” bentaknya. Matanya kini benar-benar nyaris keluar dari rongga. Orang-orang seketika bereaksi. Arah pandang mereka terarah pada titik yang sama. Namun, tak satu pun yang beranjak memisahkan. Namun sepeti buta dan tulis, seingai muncul di bibir Brama. Dia mengabaikan tatapan orang lain dan luruk menantang wajah Rabu. “Istri? Wah, ternyata kabar yang gue denger benar.” Dia bertepuk tangan. “Gue udah nyangka kalian sejak dulu tuh pasti udah ada hubungan. Dan gue …,” bisiknya sambil mendekatkan kepala ke teling
Mobil hitam itu akhirnya menabrak sebuah pohon setelah berusaha menghindar dan bagian depannya tertabrak truk. Asap keluar dari kap depan mobil yang terbuka. Rabu yang masih sadar langsung menoleh ke arah Katha dan mengamati perempuan yang tengah terbelalak dengan wajah pucat. “Lo nggak apa-apa, Tha? Ya, ampun, maafin gue,” ujar Rabu sembari melepas seat belt, begitu juga dengan yang melintangi tubuh Katha. Dia merasa sangat bersalah. Pasalnya, Katha sudah mengalami dua kecelakaan di waktu dekat, dan sekarang harus mengalaminya untuk yang ketiga kalinya. Padahal saat ini Katha sedang terluka. “Bu, gue nggak apa-apa. Ayo keluar!” ajak Katha. Dia meringis sedikit. Luka di belakang kepalanya mulai berdenyut nyeri. Demi mendengar ringisan Katha, Rabu langsung berlari turun dari mobil. Dia membuka pintu di sebelah Katha, lalu mencoba menggendong perempuan itu di punggungnya. “Naik, Tha!” perintahnya sambil berjongkok. Dia mau menggendong Katha deng
Katha keluar rumah sakit tiga hari setelah dirawat. Dan dia tetap masuk kerja karea dipaksa oleh Kandara meski luka jahitan di belakang kepalanya belum sembuh. Hal itu dilakukan Kandara karena adiknya itu terus-meneru di rumah sakit dan enggan pulang. Makanya dia lebih baik membuat Katha sibuk dengan pekerjaan agar tidak terlalu sibuk memikirkan Rabu. Rabu sendiri mendukung keputusan Kandara. Dia sudah putus asa meminta Katha pulang dan beristirahat dengan nyaman di rumah. Namun, meski begitu, Katha setiap pulang kerja selalu ke rumah sakit. Dia beberapa kali menginap di sana setelah berhasil kabur dari Kandara, contohnya seperti mala mini. “Apa gue cuti lagi aja, ya?” gumam Katha sambil mengunyah nasi goreng yang dipesannya melalui aplikasi ojek online. “Kandara kejam banget, ih. Dia kasih gue kerjaan setinggi gunung.” Rabu terkekeh pelan. Dia sudah tau kalau Kandara sengaja melakukannya. “Nggak usah cuti. Ngapain deh,” sahutnya kemudian. Waj
Pukul sepuluh malam, Katha baru sampai di rumah orang tuanya. Dia memang enggan bertemu Rabu untuk sementara waktu, karena takut bahwa kesimpulannya tadi benar. Kalau dia benar-benar suka Rabu, maka persahabatan mereka bisa saja hancur. Oleh karenanya dia memutuskan untuk menginap di rumah orang tunya. Selain itu, dia masih kesal juga atas kejadian pagi tadi di rumah sakit. “Makasih, Kha,” ujar Katha sambil melepas seat belt. “Anytime,” jawab Sakha. “Ini yakin nginep sini?” tanyanya. Katha mengangguk. Dia kemudian mengucapkan terima kasih kembali, lalu keluar dari mobil Sakha. Gerbang rumahnya sudah terbuka sedikit. Di sana berdiri Pak Hadi yang menunggu dengan kernyitan di dahi. “Oh, Mbak Katha tenyata. Saya kira siapa. Soalnya orang rumah udah di dalam semua,” ujarnya. Katha nyengir sebentar, lalu mengucapkan terima kasih karena sudah dibukakan gerbang. Dia kemudian langsung masuk ke dalam rumah dan menapaki tangga menuju kamarnya.
Katha seketika tercengang setelah mendengar ucapan Rabu. Dia tidak mengira hal seperti itu akan keluar dari mulut lelaki yang dikenalnya selama kurang lebih empat belas tahun. Kekecewaan seketika menyelimuti Katha. Dia bahkan tak bisa menahan air mata yang mulai menggembung di mata. “Maksud lo apa, Bu? Lo udah nggak mau sahabatan sama gue? Hubungan kita sampai di sini aja? Gue nggak nyangka lo bisa berubah kayak gini secara tiba-tiba,” oceh Katha. Suaranya mulai bergetar. Sementara Rabu menyaksikan itu dengan mengukuhkan hati. Dia tidak boleh mundur. Entah nantinya dia akan kehilangan Katha, atau akan berhasil menjadikan perempuan itu istrinya secara nyata. “Apa yang sebenarnya lo takutin, Tha?” tanya Rabu. “Ini,” jawab Katha langsung. Air mata mulai turun di pipinya. “Ini, Bu. Gue takut lo berubah. Gue takut lo nggak jadi sahabat gue lagi.” Rabu memicingkan mata. Melihat wajah Katha yang basah membuatnya tidak tega juga, tapi ini harus dia la
“Friends don’t kiss, Katharina.” Katha tersentak. Dia menyadari bahwa banyak hal yang terjadi di luar batas persahabatan mereka sejak pernikahan ini. Dia tidur satu kasur dengan sahabatnya sendiri, saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, belanja bulanan, pergi ke luar negeri yang jelas sekali itu terlihat seperti bulan madu ketimbang liburan, bahkan dia berciuman dengan Rabu tak hanya sekali. Lantas, selama ini dia memang menjalani kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Dia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menjernihkan kepala. Tidak, ini tidak benar. Seharusnya tidak seperti ini. “Jangan coba menyangkal, Katha,” ujar Rabu. Nadanya kali ini tegas. Pemaklumannya mungkin sudah berada pada batas. Katha menutup mulutnya dengan telapak tangan, sementara kepalanya terarah pada pintu balkon yang tertutup. “Do you love me, Bu?” tanyanya. “Kalau mau tau jawabannya, lihat gue!” perintah Rabu. Namun, Katha tetap tak bisa melak
Rabu dan Katha kini duduk di balkon. Keduanya mengobrol ringan setelah perdebatan menguras emosi dan tenaga. Malam padahal sangat larut. Bakan hampir sampai pada waktu sepertiga malam sepertinyanya. Tapi tak ada satu pun yang terserang kantuk. “Kamu tadi ke mana?” tanya Rabu. Katha bergidik mendengar sapaan Rabu. “Apaan sih tiba-tiba ganti sapaan gitu? Orang cuma lagi berdua aja.” Rabu terkekeh. “Biar terbiasa aja. Kalau kamu masih mau pakai lo-gue juga nggak apa-apa, Tha.” Katha menggeleng-gelengkan kepala, sebab rasanya terlalu aneh dan menggelikan. “So, pertanyaanku tadi belum dijawab,” ujar Rabu. “Ah, itu, gue ke pantai,” jawab Katha. Kenyitan muncul di dahi Rabu. “Sama siapa? Shae gue cek masuk kerja dia tuh.” “Sama Sakha. Lagi nggak kerja dia. Jadilah gue dianterin melipir sebentar dari hidup yang penat.” Rabu kali ini berdecak. Campuran kesal, dan geli atas kalimat Katha. “Bilang aja kabur karena cemburu,
Hubungan Katha dan Rabu semakin membaik hari demi hari. Mereka terkadang seperti suami-istri yang mesra, di lain hari seperti sahabat yang sering bertengkar karena alasan konyol. Meski begitu, satu hal yang belum terjadi meski perasaan keduanya kini telah berubah: hubungan suami istri. Rabu tidak pernah memaksa Katha. Walaupun tentu ada malam di mana dia benar-benar merasa bergairah terhadap Katha, tapi dia dengan bersungguh-sungguh mengatakan akan menunggu Katha siap. Katha sendiri bukannya tidak siap. Dia hanya canggung. Meski sudah terbiasa saling berciuman, tapi membayangkan sentuhan yang lebih dari itu membuat bulu kuduknya meremang. Dia berhubungan seks dengan sahabatnya sendiri adalah hal tidak terduga dan menggelikan. Rasanya dia tidak akan sanggup membiarkan Rabu melihat tubuh telanjangnya, begitupun sebaliknya. Ya, walaupun dia sudah pernah melihat Rabu naked akibat ketidaksengajaan. “Ini lo langsung berangkat survey lokasi sama Kandara?” ta