“Aku pulang!” teriak Ratu. Remaja SMA itu langsung berlari menghampiri kakak iparnya yang duduk di depan televisi.
“Hey, gimana sekolah?” tanya Katha.
“Gitu aja, Mbak,” jawabnya malas. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah semringah. “Aku bawa banyak jajanan buat Mbak biar nggak bosan.”
Dia kemudian membuka tas, lalu mengeluarkan berbagai jajanan basah dan snack bungkusan. Jajanan basah berbumbu bubuk dan berminyak itu tampak masih hangat.
“Ini ada telur gulung,” ujarnya. “Mbak pasti udah lama nggak makan ini, kan?”
Katha seketika tertawa. Dia memang sudah lama sekali tidak makan jajanan sekolah semacam ini semenjak bekerja. Dan ketika melihat jajanan yang dibawa Ratu, dia baru menyadari bahwa ada rasa rindu yang muncul.
“Ini gede-gede banget, Rat,” ujar Katha sambil mengambil plastik berisi telur gulung itu.
“Iyalah, Mbak. Orang harganya juga gede,” sahut Ratu. Perempuan itu kini mengambil plastik berisi maklor, lalu mengun
Katha mengelak. Dia akhirnya berbohong kalau itu adalah telepon dari Shae. Sampai saat ini, dia beranggapan bahwa belum saatnya memberitahukan perihal keanehan yang dialaminya pada Rabu. Lagi pula meski curiga, entah bagaimana dia jadi merasa menuduh orang tanpa bukti kuat.“Terus gimana? Jadi ke mini market? Ayo gue anterin. Mau beli apa emang?” tanya Rabu.“Mau beli pembalut sih. Tapi ini mager banget mau ke sana,” jawab Katha akhirnya.“Ya, kan, gue anterin,” sahut Rabu. “Atau mau gue beliin aja? Yang kayak biasanya, kan?” tanyanya. Sebab, dulu Katha hampir selalu menyuruh dirinya membeli pembalut kala tamu bulanan itu datang di tempat yang tidak diharapkan.Katha menggeleng. “Ayo, deh!” ujarnya sambil naik ke boncengan Rabu.Rabu pun membelokkan motor ke arah mulut gang lagi.Sementara selama perjalanan tak panjang itu, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tahu kalau o
Kereta yang ditumpangi Katha dan Rabu mengalami kecelakaan. Kereta keluar dari jalur dan jatuh ke sisi kiri. Beruntung tidak ada korban jiwa, meski banyak yang mengalami luka ringan dan syok. Rabu sendiri langsung marah-marah usai keluar dari kereta. Katha sampai perlu menenangkan lelaki itu berkali-kali. Padahal seingatnya dulu Rabu bukan sosok pemarah seperti ini. Namun entah kenapa hati ini Rabu tampak lebih sensitif. Pada akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan bus, dan tidak menunggu pemberitaan dari pihak kereta api lebih lanjut. Sebetulnya Katha yang memaksa, karena tidak ingin Rabu kembali meledak-ledak. “Perjalanan ini bakal lebih melelahkan. Lo nggak apa-apa?” tanya Rabu. Sebab posisi mereka sekarang memang sedang di jawa tengah. Perlu beberapa jam sebelum tiba di bandara Jogja untuk naik pesawat menuju Jakarta. Katha mengangguk. “Gue oke, kok,” jawabnya. “Oke.” “Terus ini ngomong-ngomong tangan lo kapan pindahny
Katha masih tetap terdiam di tempat, sampai akhirnya Rabu menyadari kehadiran dirinya. Lelaki itu langsung beringsut menjauh dari Felysia, dan membenai lengannya yang tersingkap. Tadi Felysia memukul legannya, dan tanpa bisa menahan dia mengaduh. Akhirnya perempuan itu memaksa untuk memeriksa lengannya. Namun, membiarkan perempuan itu sudah pasti kebodohannya. Apalagi sampai disaksikan Katha seperti sekarang. Dia akhirnya mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa beku. Belum lagi, tidak ada seorang pun yang berbicara. “Tha, udah mandi? Nih, makan. Udah dingin. Apa mau aku hangatkan?” tanyanya. Dia sengaja mengganti sapaan, entah dengan alasan apa. Katha menggeleng. Dia akhirnya memutuskan mendekat. “Kenapa?” tanyanya sambil melirik Felysia. “Lengan Prabu terluka. Gue cuma cek aja,” jawab Felysia. Seketika Katha berdeham. Dia merasa sangat canggung, sebab tidak tahu kalau ternyata Rabu terluka. Pasti lelaki itu
Katha tidak tahu kenapa, tapi dia rasa Rabu dan Felysia semakin hari, semakin dekat. Dia kerap memergoki Felysia menghubungi Rabu lebih sering dari sebelumnya, bahkan terkadang di jam-jam istirahat malam. Namun, karena gengsi dianggap cemburu, Katha akhirnya tak pernah bernyata lagi pada Rabu. Apalagi lelaki itu sudah mengatakan bahwa dia dan Felysia sedang mengerjakan sebuah bisnis bersama. Seperti siang ini, dia datang ke kantor Rabu untuk mengajak lelaki itu makan siang bersama. Dia bahkan sudah membawa dua bungkusan makanan. Satu berisi bento, satunya lagi nasi padang. Akan tetapi, kabar yang dia dapat malah membuatnya terkejut, meski itu bukan hal yang sangat aneh. “Ada Felysia di dalam?” tanya Katha sekali lagi. Shofi mengangguk. Dia kemudian melirik paper bag di tangan Katha. “Mbak mau makan siang di sini? Biar aku panggilin si Bos,” ujarnya. Katha menggeleng. “Mereka lagi rapat?” tanyanya. Shofi terdiam lama. Keraguan tampak jelas di w
“Kenapa lo ngomong hal kayak gitu ke gue?” tanya Katha yang mulai kehabisan kesabaran. Dia urung menuntaskan hajatnya dan memilih untuk meladenin Felysia yang menurutnya kali ini keterlaluan.Felysia berdecih. Dia masih menatap rendah pada Katha. “Gue tahu rahasia lo sama Prabu.”“Rahasia?” tanya Katha dengan kening terlipat. “Rahasia apa maksud lo? Rahasia apa yang bikin lo bisa bersikap kayak gini ke gue?”Seringai muncul di bibir mantan Rabu itu. “Gue tahu kalau lo sama Prabu nikah kontrak,” ujarnya.Katha terbelalak. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya hingga membuat senyum kemenangan nampak di wajah perempuan di depanya.“Kenapa kaget gitu?” tanya Felysia.Katha tak menyahut. Dia membuang muka dan hendak membalik badan. Tapi, tahu-tahu lengannya dicekal dan ditarik oleh Felysia.“Tunggu aja. Gue bakal dapatin lagi Prabu supaya kontrak kalian b
Rabu melirik Katha yang sudah mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada buku menu. Lebih tepatnya pura-pura fokus. Sebab, tubuh perempuan itu tidak bisa berbohong. Katha gemetaran dan wajahnya sudah memucat.Sementara Rabu kembali mengamati wajah Brama sembari membiarkan Katha menyebutkan pesanan mereka. Lelaki itu setelah terkejut tadi, tampak biasa dan profesional. Seolah-olah dia tak mengenal Rabu dan Katha.“Baik. Mohon ditunggu, ya.”Setelah mengatakan itu, Brama berlalu dari meja mereka.“Lo nggak apa-apa, Tha? Kita pindah restoran aja, yuk!” ajak Rabu. Dia menggeggam tangan Katha yang awalnya bertumpu di tas meja.Katha menggeleng. “Gue nggak mau terlihat masih terpengaruh sama kejadian yang lalu, Bu. Itu sama aja bikin dia ngerasa menang,” jawab Katha.Rabu menghela napas. “Dasar keras kepala,” gumamnya. Namun, tetap mengeratkan genggamannya di tangan Katha. Dia harap dengan begitu,
Katha tidak penah menyangka bahwa dia harus bertemu dan mendapat ucapan yang seperti itu dari seorang Brama. Meski sudah mempersiapkan diri akan pertemuan ini, tapi mendapat cemoohan kasar dari lelaki itu kembali membuat tubuh Katha gemetar. Wajahnya pucat pasi. Rabu yang menyadari kalau Brama membisikkan sesuatu yang buruk pada Katha langsung bereaksi. Dia bangkit dari kursinya, lalu menarik kerah kemeja Brama. “Ngomong apa lo sama istri gue? Ha?!” bentaknya. Matanya kini benar-benar nyaris keluar dari rongga. Orang-orang seketika bereaksi. Arah pandang mereka terarah pada titik yang sama. Namun, tak satu pun yang beranjak memisahkan. Namun sepeti buta dan tulis, seingai muncul di bibir Brama. Dia mengabaikan tatapan orang lain dan luruk menantang wajah Rabu. “Istri? Wah, ternyata kabar yang gue denger benar.” Dia bertepuk tangan. “Gue udah nyangka kalian sejak dulu tuh pasti udah ada hubungan. Dan gue …,” bisiknya sambil mendekatkan kepala ke teling
Mobil hitam itu akhirnya menabrak sebuah pohon setelah berusaha menghindar dan bagian depannya tertabrak truk. Asap keluar dari kap depan mobil yang terbuka. Rabu yang masih sadar langsung menoleh ke arah Katha dan mengamati perempuan yang tengah terbelalak dengan wajah pucat. “Lo nggak apa-apa, Tha? Ya, ampun, maafin gue,” ujar Rabu sembari melepas seat belt, begitu juga dengan yang melintangi tubuh Katha. Dia merasa sangat bersalah. Pasalnya, Katha sudah mengalami dua kecelakaan di waktu dekat, dan sekarang harus mengalaminya untuk yang ketiga kalinya. Padahal saat ini Katha sedang terluka. “Bu, gue nggak apa-apa. Ayo keluar!” ajak Katha. Dia meringis sedikit. Luka di belakang kepalanya mulai berdenyut nyeri. Demi mendengar ringisan Katha, Rabu langsung berlari turun dari mobil. Dia membuka pintu di sebelah Katha, lalu mencoba menggendong perempuan itu di punggungnya. “Naik, Tha!” perintahnya sambil berjongkok. Dia mau menggendong Katha deng