Setelah bertelfonan dengan Sakha, Katha enggak menghabiskan makanannya. Dia terus saja meminta Ayam Goreng Mantap para Rabu. Dan lelaki itu gagal membujuk Katha. Hingga lagi-lagi Bude Marni lewat di depan kamar mereka, lalu mendengar perdebatan mereka soal ayam goreng.
“Tuh, kan, Bude bilang apa,” ujarnya sambil membuka pintu kamar. “Katha itu pasti isi. Kamu bohongin Bude soal dia haid, kan? Mau bikin surprise untuk ibumu nanti?” Perempuan itu tersenyum simpul, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.
Dia duduk di tepi tempat tidur, sementara Rabu berdiri di samping nakas.
Mendengar ucapan Bude Marni, Katha lagi-lagi merasa frustrasi. Dia kira orang ini segera pulang. Tapi, jelang petang begini rupanya perempuan paruh baya itu masih saja ada di sini.
“Eh, aku kira Bude udah pulang,” ujar Katha akhirnya. Dia mencoba mengabaikan pertanyaan Bude Marni sebelumnya, dan berharap perempuan itu lupa akan ucapannya sendiri.
“Iya, Bude nunggu Pakde jemput.
Ayam Goreng Mantap rupanya gagal digunakan untuk membujuk Katha minum obat. Entah kenapa perempuan yang satu ini begitu rewel hari ini. Rabu sendiri bingung. Apa memang karena PMS, ataukah karena sakitnya. Yang pasti Katha jarang begini kalau sakit. “Lo bener nggak mau minum obatnya?” tanya Rabu sekali lagi. Raut wajah jengkelnya kali ini terpampang jelas, tapi tetap diabaikan oleh Katha. “Gue cuma perlu istirahat, Bu. Obatnya nggak perlu.” Katha menjawab masih sama santainya. Sepulang Rabu dari kedai ayam goreng, dia langsung memeriksa demam Katha. Dan ternyata memang benar sudah sedikit lebih turun lagi dibanding sebelumya. Namun, dia belum merasa tenang kalau Katha tidak minum obat. Sebab, dia khawatir kalau demamnya bisa naik lagi. Rabu kemudian menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Kepalanya akhirnya menunjukkan sebuah ide gila yang bisa dia pakai untuk mengancam Katha. “Muka lo tiba-tiba mencurigakan,” celetuk Katha curiga. Dia sam
“Aku pulang!” teriak Ratu. Remaja SMA itu langsung berlari menghampiri kakak iparnya yang duduk di depan televisi. “Hey, gimana sekolah?” tanya Katha. “Gitu aja, Mbak,” jawabnya malas. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah semringah. “Aku bawa banyak jajanan buat Mbak biar nggak bosan.” Dia kemudian membuka tas, lalu mengeluarkan berbagai jajanan basah dan snack bungkusan. Jajanan basah berbumbu bubuk dan berminyak itu tampak masih hangat. “Ini ada telur gulung,” ujarnya. “Mbak pasti udah lama nggak makan ini, kan?” Katha seketika tertawa. Dia memang sudah lama sekali tidak makan jajanan sekolah semacam ini semenjak bekerja. Dan ketika melihat jajanan yang dibawa Ratu, dia baru menyadari bahwa ada rasa rindu yang muncul. “Ini gede-gede banget, Rat,” ujar Katha sambil mengambil plastik berisi telur gulung itu. “Iyalah, Mbak. Orang harganya juga gede,” sahut Ratu. Perempuan itu kini mengambil plastik berisi maklor, lalu mengun
Katha mengelak. Dia akhirnya berbohong kalau itu adalah telepon dari Shae. Sampai saat ini, dia beranggapan bahwa belum saatnya memberitahukan perihal keanehan yang dialaminya pada Rabu. Lagi pula meski curiga, entah bagaimana dia jadi merasa menuduh orang tanpa bukti kuat.“Terus gimana? Jadi ke mini market? Ayo gue anterin. Mau beli apa emang?” tanya Rabu.“Mau beli pembalut sih. Tapi ini mager banget mau ke sana,” jawab Katha akhirnya.“Ya, kan, gue anterin,” sahut Rabu. “Atau mau gue beliin aja? Yang kayak biasanya, kan?” tanyanya. Sebab, dulu Katha hampir selalu menyuruh dirinya membeli pembalut kala tamu bulanan itu datang di tempat yang tidak diharapkan.Katha menggeleng. “Ayo, deh!” ujarnya sambil naik ke boncengan Rabu.Rabu pun membelokkan motor ke arah mulut gang lagi.Sementara selama perjalanan tak panjang itu, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tahu kalau o
Kereta yang ditumpangi Katha dan Rabu mengalami kecelakaan. Kereta keluar dari jalur dan jatuh ke sisi kiri. Beruntung tidak ada korban jiwa, meski banyak yang mengalami luka ringan dan syok. Rabu sendiri langsung marah-marah usai keluar dari kereta. Katha sampai perlu menenangkan lelaki itu berkali-kali. Padahal seingatnya dulu Rabu bukan sosok pemarah seperti ini. Namun entah kenapa hati ini Rabu tampak lebih sensitif. Pada akhirnya mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan bus, dan tidak menunggu pemberitaan dari pihak kereta api lebih lanjut. Sebetulnya Katha yang memaksa, karena tidak ingin Rabu kembali meledak-ledak. “Perjalanan ini bakal lebih melelahkan. Lo nggak apa-apa?” tanya Rabu. Sebab posisi mereka sekarang memang sedang di jawa tengah. Perlu beberapa jam sebelum tiba di bandara Jogja untuk naik pesawat menuju Jakarta. Katha mengangguk. “Gue oke, kok,” jawabnya. “Oke.” “Terus ini ngomong-ngomong tangan lo kapan pindahny
Katha masih tetap terdiam di tempat, sampai akhirnya Rabu menyadari kehadiran dirinya. Lelaki itu langsung beringsut menjauh dari Felysia, dan membenai lengannya yang tersingkap. Tadi Felysia memukul legannya, dan tanpa bisa menahan dia mengaduh. Akhirnya perempuan itu memaksa untuk memeriksa lengannya. Namun, membiarkan perempuan itu sudah pasti kebodohannya. Apalagi sampai disaksikan Katha seperti sekarang. Dia akhirnya mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa beku. Belum lagi, tidak ada seorang pun yang berbicara. “Tha, udah mandi? Nih, makan. Udah dingin. Apa mau aku hangatkan?” tanyanya. Dia sengaja mengganti sapaan, entah dengan alasan apa. Katha menggeleng. Dia akhirnya memutuskan mendekat. “Kenapa?” tanyanya sambil melirik Felysia. “Lengan Prabu terluka. Gue cuma cek aja,” jawab Felysia. Seketika Katha berdeham. Dia merasa sangat canggung, sebab tidak tahu kalau ternyata Rabu terluka. Pasti lelaki itu
Katha tidak tahu kenapa, tapi dia rasa Rabu dan Felysia semakin hari, semakin dekat. Dia kerap memergoki Felysia menghubungi Rabu lebih sering dari sebelumnya, bahkan terkadang di jam-jam istirahat malam. Namun, karena gengsi dianggap cemburu, Katha akhirnya tak pernah bernyata lagi pada Rabu. Apalagi lelaki itu sudah mengatakan bahwa dia dan Felysia sedang mengerjakan sebuah bisnis bersama. Seperti siang ini, dia datang ke kantor Rabu untuk mengajak lelaki itu makan siang bersama. Dia bahkan sudah membawa dua bungkusan makanan. Satu berisi bento, satunya lagi nasi padang. Akan tetapi, kabar yang dia dapat malah membuatnya terkejut, meski itu bukan hal yang sangat aneh. “Ada Felysia di dalam?” tanya Katha sekali lagi. Shofi mengangguk. Dia kemudian melirik paper bag di tangan Katha. “Mbak mau makan siang di sini? Biar aku panggilin si Bos,” ujarnya. Katha menggeleng. “Mereka lagi rapat?” tanyanya. Shofi terdiam lama. Keraguan tampak jelas di w
“Kenapa lo ngomong hal kayak gitu ke gue?” tanya Katha yang mulai kehabisan kesabaran. Dia urung menuntaskan hajatnya dan memilih untuk meladenin Felysia yang menurutnya kali ini keterlaluan.Felysia berdecih. Dia masih menatap rendah pada Katha. “Gue tahu rahasia lo sama Prabu.”“Rahasia?” tanya Katha dengan kening terlipat. “Rahasia apa maksud lo? Rahasia apa yang bikin lo bisa bersikap kayak gini ke gue?”Seringai muncul di bibir mantan Rabu itu. “Gue tahu kalau lo sama Prabu nikah kontrak,” ujarnya.Katha terbelalak. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya hingga membuat senyum kemenangan nampak di wajah perempuan di depanya.“Kenapa kaget gitu?” tanya Felysia.Katha tak menyahut. Dia membuang muka dan hendak membalik badan. Tapi, tahu-tahu lengannya dicekal dan ditarik oleh Felysia.“Tunggu aja. Gue bakal dapatin lagi Prabu supaya kontrak kalian b
Rabu melirik Katha yang sudah mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada buku menu. Lebih tepatnya pura-pura fokus. Sebab, tubuh perempuan itu tidak bisa berbohong. Katha gemetaran dan wajahnya sudah memucat.Sementara Rabu kembali mengamati wajah Brama sembari membiarkan Katha menyebutkan pesanan mereka. Lelaki itu setelah terkejut tadi, tampak biasa dan profesional. Seolah-olah dia tak mengenal Rabu dan Katha.“Baik. Mohon ditunggu, ya.”Setelah mengatakan itu, Brama berlalu dari meja mereka.“Lo nggak apa-apa, Tha? Kita pindah restoran aja, yuk!” ajak Rabu. Dia menggeggam tangan Katha yang awalnya bertumpu di tas meja.Katha menggeleng. “Gue nggak mau terlihat masih terpengaruh sama kejadian yang lalu, Bu. Itu sama aja bikin dia ngerasa menang,” jawab Katha.Rabu menghela napas. “Dasar keras kepala,” gumamnya. Namun, tetap mengeratkan genggamannya di tangan Katha. Dia harap dengan begitu,