Beranda / Romansa / Red in Us / Bab 161 - Bab 170

Semua Bab Red in Us: Bab 161 - Bab 170

176 Bab

161. I Love You

“Friends don’t kiss, Katharina.” Katha tersentak. Dia menyadari bahwa banyak hal yang terjadi di luar batas persahabatan mereka sejak pernikahan ini. Dia tidur satu kasur dengan sahabatnya sendiri, saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, belanja bulanan, pergi ke luar negeri yang jelas sekali itu terlihat seperti bulan madu ketimbang liburan, bahkan dia berciuman dengan Rabu tak hanya sekali. Lantas, selama ini dia memang menjalani kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Dia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menjernihkan kepala. Tidak, ini tidak benar. Seharusnya tidak seperti ini. “Jangan coba menyangkal, Katha,” ujar Rabu. Nadanya kali ini tegas. Pemaklumannya mungkin sudah berada pada batas. Katha menutup mulutnya dengan telapak tangan, sementara kepalanya terarah pada pintu balkon yang tertutup. “Do you love me, Bu?” tanyanya. “Kalau mau tau jawabannya, lihat gue!” perintah Rabu. Namun, Katha tetap tak bisa melak
Baca selengkapnya

162. Best Day Ever

Rabu dan Katha kini duduk di balkon. Keduanya mengobrol ringan setelah perdebatan menguras emosi dan tenaga. Malam padahal sangat larut. Bakan hampir sampai pada waktu sepertiga malam sepertinyanya. Tapi tak ada satu pun yang terserang kantuk. “Kamu tadi ke mana?” tanya Rabu. Katha bergidik mendengar sapaan Rabu. “Apaan sih tiba-tiba ganti sapaan gitu? Orang cuma lagi berdua aja.” Rabu terkekeh. “Biar terbiasa aja. Kalau kamu masih mau pakai lo-gue juga nggak apa-apa, Tha.” Katha menggeleng-gelengkan kepala, sebab rasanya terlalu aneh dan menggelikan. “So, pertanyaanku tadi belum dijawab,” ujar Rabu. “Ah, itu, gue ke pantai,” jawab Katha. Kenyitan muncul di dahi Rabu. “Sama siapa? Shae gue cek masuk kerja dia tuh.” “Sama Sakha. Lagi nggak kerja dia. Jadilah gue dianterin melipir sebentar dari hidup yang penat.” Rabu kali ini berdecak. Campuran kesal, dan geli atas kalimat Katha. “Bilang aja kabur karena cemburu,
Baca selengkapnya

163. Ancaman Felysia

Hubungan Katha dan Rabu semakin membaik hari demi hari. Mereka terkadang seperti suami-istri yang mesra, di lain hari seperti sahabat yang sering bertengkar karena alasan konyol. Meski begitu, satu hal yang belum terjadi meski perasaan keduanya kini telah berubah: hubungan suami istri. Rabu tidak pernah memaksa Katha. Walaupun tentu ada malam di mana dia benar-benar merasa bergairah terhadap Katha, tapi dia dengan bersungguh-sungguh mengatakan akan menunggu Katha siap. Katha sendiri bukannya tidak siap. Dia hanya canggung. Meski sudah terbiasa saling berciuman, tapi membayangkan sentuhan yang lebih dari itu membuat bulu kuduknya meremang. Dia berhubungan seks dengan sahabatnya sendiri adalah hal tidak terduga dan menggelikan. Rasanya dia tidak akan sanggup membiarkan Rabu melihat tubuh telanjangnya, begitupun sebaliknya. Ya, walaupun dia sudah pernah melihat Rabu naked akibat ketidaksengajaan. “Ini lo langsung berangkat survey lokasi sama Kandara?” ta
Baca selengkapnya

164. Salinan Kontrak

Pagi tadi tiba-tiba Felysia mengirimkan pesan berisi ajakan bertemu saat jam makan siang di restoran milik sepupunya pada Katha. Katha jelas terkejut. Dia tidak tahu alasan perempuan itu meminta bertemu dengannya, padahal sangat membenci dirinya. Akan tetapi panggilan itu harus dia penuhi untuk tahu cara penyelesaiian perkara kontrak yang bocor ke tangan Felysia. “Lo mau bicara apa?” tanya Katha kala Felysia baru saja duduk di kursi seberangnya. Meja mereka kosong. Belum ada pesanan yang dibuat. Karena tidak mungkin juga orang yang saling tak suka menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. “Oke, nggak usah basa-basi,” ujar Felysia. Dia membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah map. “Buka itu!” perintahnya sambil melempat map ke depan Katha. Katha dengan sedikit ragu mengambil map, lalu membukanya. Sungguh terkejut dia, sebab isi map itu adalah salinan surat kontrak pernikahannya dengan Rabu. Padahal surat yang asli saja sudah dia bakar bersama Rabu
Baca selengkapnya

165. Sweet Night

Katha terbangun kala badannya tergerak-gerak. Dia kemudian membuka mata dan menemukan Rabu sedang memakaian piyamanya di tengah keremangan kamar. Melihat itu, Katha jadi mengulas senyum. Namun, ingatan tentang pegulatan mereka tadi membuat wajahnya tiba-tiba merasa panas. Dan untuk menghilangkan itu, dia berdeham lalu bertanya, “Jam berapa ini?” Rabu tesentak mendengar pertanyaan Katha. Dia tidak sadar kalau gerakannya membuat perempuan itu terbangun. “Eh! Sorry bikin lo bangun,” ujar Rabu. “Gue nggak mau lo kedinginan aja,” ujarnya. “Sekarang baru jam satu malam.” Katha tertawa dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur. “Lanjutin, Bu,” pintanya, karena gerakan Rabu terhenti. Atas permintaan itu, Rabu melanjutkan aksinya. Dia lanjut memasukkan lengan Katha ke lengan pakaian. Dia tahu kalau perempuan itu pasti lelah sekali. Setelah itu, dia mengambil handuk yang sudah dia basahi di kamar mandi tadi, dan dipakainya untuk menyeka kaki Katha.
Baca selengkapnya

166. Menanti Amarah Papa

Sejak pulang dari mall hingga pagi, Katha terus saja merasa resah. Dia memeriksa gawai beberapa kali. Bahkan bunyi notifikasi dari gawainya atau gawai Rabu, membuatnya terkejut. Melihat keresahan Katha, Rabu hanya bisa menghela napas. Dia sudah berulang kali menenangkan, tapi tetap saja gagal. Katha hanya tenang selama sepuluh menit, sebelum kembali seperti sebelumnya. Sepertinya kalau belum mendapat marah dari orang tuanya, dia tidak akan kunjung tenang. “Mumpung libur, mau ke rumah Papa-Mama?” tanya Rabu akhirnya. Dia baru selesai membuat sarapan. Sementara Katha baru selesai menyapu rumah secara manual. Dia tidak mengunakan penyedot debu, karena Rabu memang tidak punya alatnya. Ditanya begitu, Katha menghadap Rabu. Dia berdiri tidak jauh dari posisi lelaki itu dengan bibir sudut bibir yang masih saja turun. “Daripada lo khawatir terus di sini, ayo ke rumah Papa. Kalau memang Felysia mengirimkan salinan kontrak itu ke Papa, ya pasti ada yang
Baca selengkapnya

167. Penyusup

“Kamu udah nggak kerja mulai hari ini?” tanya Rabu. Mereka sudah sepakat mengganti panggilan sejak dua minggu lalu. Itu karena mereka ketahuan masih menggunakan sapaan lo-gue oleh Agung, dan diceramahi habis-habisan. Padahal sebelumnya Katha sudah lega tak mendapat omelan dari sang papa. “Iya,” jawab Katha sambil beranjak memindahkan piring-piring kotor ke dapur. “Kamu benar-benar yakin? Aku nggak masalah kamu kerja,” ujar Rabu. Dia mendekati Katha yang tengah mencuci piring. “Biar aku yang cuci.” Katha menggeleng. Dia menyikut pinggang Rabu agar lelaki itu menjauh. “Yakin. Lagian Kandara udah dapat sekretaris baru. Dan sesuai ucapanku dulu, kalau aku akan berhenti kerja kalau dapat suami sesungguhnya.” “Oh, iya, aku naik level dari suami kontrak jadi suami permanen ya?” goda Rabu. Katha seketika tertawa. Bisa-bisanya Rabu menyamakan dirinya sendiri dengan pekerja kantoran yang kontrak dan tetap. “Mandi, sana!” perintah Katha.
Baca selengkapnya

168. Tanda-Tanda yang Diabaikan

Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya
Baca selengkapnya

169. Diculik

“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Baca selengkapnya

170. Pencarian yang Melelahkan

Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status