Home / Romansa / Forbidden Lover / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Forbidden Lover : Chapter 1 - Chapter 10

53 Chapters

Chapter 1: Yang Hilang

Biru bening langit di luar, titik yang sama yang ia harap seseorang itu juga memperhatikannya. Hingga sejauh apa pun tempatnya sekarang, Ana berharap seseorang itu tetap sadar mereka pernah dinaungi langit yang sama."Kau yakin tidak punya keluarga," laki-laki berjas putih membuat Ana berpaling.Warna jas yang serupa memenuhi hampir seluruh ruangan tempat Ana dan Dokter Ruin sekarang. Tirai tipis bergoyang entah mendapat sapuan angin dari mana. Ana tetap tak bersuara. Bukan sekali dua kali Dokter Ruin menanyai tentang itu dan jawaban Ana tetap sama. "Tidak." Tentu saja yang dicari Dokter Ruin bukan sebentuk Vanessa, makhluk kecil yang masih belum mengerti apa-apa soal CT-Scan dan Rontgen perut yang rumit. Pada akhirnya Ana yang harus mendengar penjelasan itu sendiri, mencernanya dan kemudian mengambil keputusan.
Read more

Chapter 2: Anjing Peliharaan

[..."Apa kau menyukainya?"Aku berpaling melihatnya. Dia bertanya dengan senyum simpul terukir di bibirnya. Saat itu, aku tahu aku telah jatuh cinta pada orang yang duduk di sampingku. Dia terlalu indah untuk tak dirindukan. Saat di hadapan orang lain, caranya berdiri, berjalan, dan menatap orang lain, tak ubah seperti berandalan. Ia acuh dan dingin. Namun, saat bersamaku, entah kenapa yang kulihat hanya kebijaksanaan. Sikapnya saat bersamaku, seakan hanya untuk melindungiku, bukan waspada terhadapku. Aku suka caranya menyandarkan punggungnya, juga caranya menyilangkan kaki saat duduk, semua terlihat anggun. Tapi, caranya memandangku, aku tak tahu. Dia buru-buru mengalihkan matanya saat tak sengaja kami bertemu pandang. Selalu seperti itu, seperti takut untuk melihatku.
Read more

Chapter 3: Time To Remember

"Apa pentingnya isi hatiku bagi orang lain?"Selalu terpikir bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar ingin tahu isi hatinya. Pertanyaan, "Bagaimana perasaanmu?" Bagi Ana hanya sebagai formalitas saja. Cara supaya orang terlihat perhatian dan peduli. Sementara Ana yakin tidak ada yang peduli padanya. Makanya Ana selalu diam saat ada orang yang bertanya soal itu. Peduli Dokter Ruin, atau Nara.Ana, seperti tembok yang semakin hari semakin meninggi, tak berpintu dan semakin tebal. Bahkan suara pun pelan-pelan tak akan mampu menembusnya. Setelah Julian pergi, hatinya seperti diselimuti badai kutub, pelan-pelan membeku menuju salju abadi."Bagaimana perasaanmu?" sekali lagi Dokter Ruin bertanya.Ana yang berdiri menghadap jendela diam
Read more

Chapter 4: Disainer

Ana menghela napas, ada perasaan bersalah merangkulnya jika saja ia menyendok makanan berkuah di hadapannya. Entah kenapa kata-kata Dokter Ruin menjadi penting pada moment-moment itu. "Pikirkan tentang Vanessa!" Kata-kata itu seperti satu-satunya senjata bagi Dokter Ruin agar Ana patuh. Dokter muda itu telah menuliskan daftar menu makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Ana. Dan tentu saja Ana mengabaikannya. Anehnya, "tentang Vanessa" yang selalu menjadi penutup pembicaraan mereka, Ana menjadi tahu semua hal yang baik dan yang akan memperburuk keadaannya. Mungkin tak semua pengetahuan tentang bagaimana ia harus bertahan hidup ia pelajari dari Dokter Ruin, ada lebih banyak pengalaman yang membuatnya merasakan sakit dan akhirnya membuatnya jera."Aku telah banyak berpikir tentang ini," lirihnya. Bukankah cepat atau lambat akan sama saja. "Aku akan mati juga," pikir Ana seraya meny
Read more

Chapter 5: Julian Andreas Segovia

"Ada apa?"Julian tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Dari sana ia bisa melihat Paris malam hari, indah dengan cahaya jingga lampu jalanan yang menghiasi sepanjang jalan Champs-Élysées.Ia baru saja sampai ketika managernya datang. Juan melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Ada banyak hal yang membuatnya bahkan tak sempat meghela napas seharian itu. Dengan melihat pemandangan malam Paris, sedikit membuat stress kerjanya hilang."Kudengar kau menolak menjual gaun itu lagi, kali ini harganya sungguh fantastis. Apa kau tidak menyesal?"Julian berbalik, ia yakin yang barusan ia dengar bukanlah suara managernya. Ia menggeser kepalanya agak ke kanan. Seseorang
Read more

Chapter 6: Orang Asing

"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana."Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana."Boleh paman duduk di sini?"Seseorang berpakaian serba hitam duduk di sam
Read more

Chapter 7: Pertemuan Kembali

Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b
Read more

Chapter 8: Sweet Ice Cream

Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
Read more

Chapter 9: Rahasia

"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Read more

Chapter 10: Sang Malaikat

Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan. Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status