"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatakan itu.
"Kakak!" Sekali lagi Ana memanggil Julian. Saat itu Vanessa tertidur di pangkuan Ana.
"Hmmm," Julian terkesan malas membuka mulutnya.
"Selama kau pergi aku mulai menginstropeksi diri."
Julian berpaling ke Ana, ia sadar untuk "kepergian itu" dia belum minta maaf pada Ana.
"Aku minta maaf," ucap Ana mulai meneteskan air matanya.
Julian terkejut dengan kata maaf yang justru keluar dari mulut Ana lebih dulu.
"Pasti berat buatmu untuk menjagaku. Karena aku, banyak waktumu terbuang untuk hal yang tak berarti, aku sungguh menyesal,"lanjutnya.
Saat itu mereka hampir sampai dan Julian sudah melihat titik di mana ia akan menghentikan mobil hitam yang ia sewa.
"Tapi aku senang kau kembali, aku tak tahu untuk alasan apa kau datang kemari. Hanya saja aku punya kesempatan untuk mengucapkan maaf. Rasanya tidak buruk jika kukatakan kau bukan lagi keluarga Segovia, kau bukan lagi suruhan ayah, kau bebas seperti saat kau belum mengenal kami," Ana mengusap air matanya, dengan punggung tangannya. "Biar begitu, aku tetap menganggapmu sebagai orang yang penting buatku. Kau...," penuh Ana menatap Julian, "malaikat yang dikirim Tuhan untukku," katanya.
Ana mendorong pintu mobil, ia menggendong Vanessa dan keluar dari mobil. Sementara Julian diam saja, tangan kanannya menggenggam erat setir mobil, sekadar menyembunyikan getaran kuat yang menyergap tubuhnya. Setiap kata-kata Ana mampu menekan batinnya. Ia kehilangan kemampuan untuk bersuara, sekadar mengatakan "bukan itu alasanku pergi," dan jika seperti itu Ana akan bertanya lagi, "lalu apa alasanmu?" Julian tidak mungkin mengatakan bahwa ia tak tahan dengan perasaannya sendiri.
Pelan-pelan air mata Julian juga menetes. Sekejap mereka merasa menjadi sangat asing. Buat Julian, perpisahan itu sangat menyakitkan, ia tak menyangka kedatangannya kembali ke Indonesia untuk menghadapi hal seperti ini. Namun, lebih menyakitkan membayangkan perasaan Ana yang akan terus salah paham terhadapnya.
Keesokan harinya,
Julian seperti tidak punya harapan lagi ada yang melepas kepergiannya. Tapi, ia melihat Ana. Cantik dan anggun seperti biasa, dan ia melambaikan tangannya pada Julian.
Julian tersenyum, ia sangat yakin bahwa ini sandiwara terakhir mereka sebagai sebuah keluarga.
"Kau datang sendiri?" Julian mencari-cari Vanessa.
Ana mengangguk.
"Ini, kubawakan sesuatu untukmu, untuk dibawa pulang ke Paris. Aku sangat yakin tidak ada yang seperti ini di sana!" kata Ana mencoba ceria dengan matanya yang berkaca-kaca.
Julian mengintip sedikit isi tas yang diberikan Ana. Kerupuk ikan dan beberapa makanan khas daerah mereka.
"Aku benar-benar akan mendoakanmu agar kau mendapatkan semua yang kau inginkan dan bisa hidup bahagia. Sebenarnya, nanti, jika Kakak menikah, tidak perlu berpikir bagaimana mengundangku, Paris dan Jakarta sangat jauh sementara aku tidak suka naik pesawat."
Julian berpura-pura mendengar semua kata-kata Ana. Karena yang sebenarnya ia inginkan adalah melihat wajah Ana. Ana berada di bawah pandangannya dan baik-baik saja adalah satu-satunya yang bisa membuatnya tenang. Dan Julian mungkin tak akan pernah melihat wajah Ana setelah keputusan sepihak Ana kemarin. "Aku pergi dulu," ucap Julian. Dengan enggan ia berbalik dan menjauh dari Ana. Inilah ujung dari cintanya ia kira. Julian tak pernah tahu mana yang terbaik untuk perasaannya, berada di dekat Ana dan mencintainya diam-diam, atau pergi mencoba menghilangkan bayangan kerinduan terhadap wanita itu, dua-duanya menyakitkan. Setidaknya pergi bukan hal baru buat Julian, dia hanya harus berusaha sekali lagi untuk melupakan Ana.
"Kau akan ke Paris?"
Julian baru saja menyerahkan tiketnya ke customer servis untuk diperiksa saat seseorang di sampingnya bicara padanya. Julian berpaling sejenak, laki-laki berkulit putih dan senyumnya terlihat ramah. Julian tidak yakin mengenalnya, juga tidak yakin kalau laki-laki itu bicara padanya, kecuali hanya basa-basi saja.
"Kau akan kembali?"
Sekali lagi Julian menoleh, dia lepas kacamatanya kemudian.
"Maaf?" katanya. Ia berharap kejelasan dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan padanya.
"Boleh kita bicara?"
Julian semakin dibuat heran. Ia melihat sekitarnya, memang tidak ada siapa-siapa di dekat mereka, sudah pasti laki-laki itu bicara padanya. Jakun Julian bergerak saat ia menelan air liurnya. Tenggorokannya memang agak kering, dan dia terlalu malas untuk bicara.
"Hanya tiga menit saja!" laki-laki berkulit putih terlihat memohon.
Julian mulai berpikir bahwa wajahnya yang terpampang di media internasionallah penyebabnya. Dan beberapa hari yang lalu wartawan Indonesia juga sempat mewawancarainya. Orang di sampingnya ini mungkin mengenal Julian sebagai seorang desainer.
"Maafkan aku, aku harus segera chek-in!" ucap Julian berbalik. Ia kira ia tidak coba menghindar, karena panggilan untuk penumpang Air France tujuan Paris telah terdengar.
"Kau akan menyesal jika tidak mendengarnya."
Julian berbalik, entah sejak kapan pembicaraan mereka menjadi sangat serius, "Apa aku mengenalmu?" katanya mulai kesal.
"Tidak," laki-laki berkulit putih mendekat pada Julian, kali ini dia tidak lagi bersikap ramah, "tapi, aku mengenal perempuan yang bersamamu tadi," sambungnya.
Julian menghujani laki-laki di dekatnya dengan kewaspadaan. Mencoba mengenali seperti apa orang di depannya saat itu. Tinggi mereka sama, kulitnya bersih tanpa sedikit pun bekas luka. Jelas dia bukan berandalan. Terlihat dari caranya merawat tubuhnya yang putih itu dan setelan yang ia gunakan, celana jeans dan kemeja kotak-kotak yang tampak cukup elegan. Dan sepertinya dia juga cukup cerdas. Jika yang orang itu maksud adalah Ana, maka itu tentu saja menjadi kartu mati untuk Julian.
"Hanya tiga menit," Julian memperhatikan jamnya. Detik itu sudah dimulai.
Laki-laki berkulit putih kembali tersenyum, ia mempersilakan Julian jalan duluan. Ada sebuah café di dekat mereka. Julian duduk dengan menyilangkan kakinya, sementara orang yang mengajaknya bicara bersikap lebih terbuka.
"Anda mau minum apa?"
"Waktu tiga puluh detikmu sudah terbuang!" Julian memperlihatkan jam tangannya.
Sekali lagi laki-laki berkulit putih tersenyum, tapi sepertinya ia tak punya pilihan saat seorang waiters juga menghampirinya, "Capuccino latte hangat dua, ya!" katanya pada wanita muda yang berdiri di samping mereka.
"Katakan apa yang ingin kau katakan!"
"Anda tidak ingin tahu siapa aku?"
"Jika saja kau punya cukup banyak waktu," sahut Julian.
"Namaku Ruin, aku adalah dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah di kota ini. Aku hanya ingin bertanya," kata-kata Ruin tertahan, "siapa kau?" lanjutnya.
Julian cukup terkejut dengan klasifikasi pekerjaan yang disebutkan orang di depannya. Terdengar luar biasa, tapi "Ada urusan apa Ana dengan seorang dokter?"
"Aku selalu bertanya pada Ana tentang apakah dia punya keluarga? Tentu saja bukan Vanessa yang kumaksud. Dan dia selalu menjawab 'tidak'," Ruin berharap ada penjelasan tentang itu dari Julian. Ia kira ia cukup mengenal Ana. Kecuali dirinya, Vanessa dan Nara, Ana tak pernah terlihat bersama orang lain sebelumnya.
"Jawabannya tidak sepenuhnya salah."
"Maksudmu, juga tidak sepenuhnya benar," sanggah Ruin. Ruin tidak melepaskan pandangannya pada Julian. Ia sadar Julian mulai tidak nyaman dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Maksudku kau bisa mencari Nara jika...,"
"Maksudmu mantan suaminya? Kupikir Nara mendapat penolakan cukup besar dari Ana," sekali lagi Ruin menyanggah. Kali ini ia membuat Julian menantang pandangannya.
Tangan kanan Julian mengepal erat di atas pahanya. Sepanjang ingatan Julian, Ana tidak mengatakan apa-apa soal pernikahannya. Dia terlihat bahagia saja. Atau yang sebenarnya yang ia lihat hanyalah bentuk sandiwara.
Sekali lagi terdengar panggilan untuk penumpang yang akan diberangkatkan ke Paris pada pukul sembilan. Julian menyadari waktu mereka bicara memanjang dari kontrak sebelumnya. "Apa kau ingin membuatku membatalkan penerbanganku?" tanya Julian berat.
"Jika itu bisa, aku akan mencobanya," Ruin berdiri, ia mengeluarkan selembar uang dan kartu nama. Ia meletakkan uang di atas meja.
"Katakan padaku jika kau tahu sesuatu. Aku hanya mencari orang yang bisa mendorong Ana untuk menjalani pengobatan dan kemoterapi. Ini untuk kebaikannya sendiri," Ruin menyerahkan kartu namanya pada Julian. "Semoga perjalananmu menyenangkan," katanya sebelum pergi.
"Panggilan terhadap Tuan Julian Andreas, agar segera memasuki ruang tunggu bandara pintu tiga!"
Berkali-kali nama Julian disebut dalam kalimat yang sama. Entah apakah telinga Julian terhalang sesuatu, ia hanya bisa merasakan kesunyian di antara dentuman kaki para pengunjung dan riuh rendah suara mereka semakin menenggelamkan Julian dalam lamunan. Ia masih duduk di tempat yang sama. Pandangannya hampa pada selembar kartu nama yang ditinggalkan Ruin di dekatnya. Julian tak tahu apa yang ingin ia lakukan sekarang. Dia tidak bisa percaya begitu saja kata-kata Dokter Ruin, atau lebih memilih tidak mempercayainya. Ia ingin Ana baik-baik saja. Ia ingin percaya bahwa Ana tidak berbohong padanya. Dan ia percaya wanita itu bisa hidup lebih lama darinya.
"Lalu bagaimana jika aku harus mempercayainya?" Julian mengusap wajahnya. Tiba-tiba ia merasakan lelah yang hebat. Sudah cukup sulit untuk berkompromi dengan perasaan sendiri soal Ana. Selama ini ia bertahan dengan memastikan Ana baik-baik saja di mana pun ia berada. Namun, jika harus melihat Ana menderita, ia tidak ingin membayangkannya.
Saat desingan pesawat menggema nyaring, kemudian perlahan suaranya menghilang di kejauhan, Julian beranjak dari tempat duduknya. Julian samasekali tak berpikir kembali ke Paris dengan perasaan seperti itu. Tapi, ia juga tak punya rencana akan kemana setelah ini, ia kira ia akan menemukan Ana, entah di mana pun ia berada.
Café taman kota pukul 11 siang, tidak salah jika Julian bisa menemukannya di sana. Julian tak ingat kapan terakhir kali ia mengintai Ana dari kejauhan. Tapi, Julian tak pernah lupa Ana yang selalu menuliskan sesuatu di buku cokelatnya saat sedang sendirian. Ana memasukkan buku cokelat ke dalam tasnya saat Vanessa berlari ke arahnya. Tak lama sebuah mobil berhenti di dekat mereka, itu Nara. Hanya saja Nara tak sendirian, dia bersama seorang perempuan, cantik dengan potongan rambut pendeknya. Itu fakta pertama yang harus diterima Julian. Cukup menyakitkan karena dulu ia pernah benar-benar berharap pada Nara untuk menjaga satu-satunya harta yang ingin dijaga Julian di dunia ini.
Sungguh lucu, Ana menyambut hangat perempuan yang dibawa Nara dengan sebuah pelukan dan tentu saja senyum yang lebar. Tapi, sebenarnya Julian tak peduli dengan perempuan itu. Ia hanya ingin melayangkan satu tinjunya pada Nara, jika perlu ia akan menyayat leher orang itu dan meninggalkan mayatnya di hutan.
Julian ingin tahu lebih banyak, apa lagi yang disembunyikan Ana darinya. Ana sendirian sekarang, mobil Nara berlalu begitu saja dengan membawa Vanessa. Entah sejak kapan Julian merasa Vanessa satu-satunya yang akan membuat Ana tersenyum. Sekarang wanita itu tenggelam dalam kesendiriannya, wajahnya mulai memucat dan dengan garis mata yang sendu ia mulai berjalan lagi. Ana menatap kosong segala sesuatunya. Ia mengabaikan cahaya yang terang di hari itu, mengabaikan desiran angin yang menggoyangkan ranting-ranting pohon dan mengabaikan dirinya sendiri yang berkali-kali tak sengaja bertabrakan dengan orang lain. Ia hampir tersungkur tapi ia sendiri yang meminta maaf. Julian pernah melihat Ana yang seperti itu ketika baru saja Ana kehilangan ayahnya. Tentu saja itu membuat Julian khawatir. Perlu waktu sangat lama mengembalikan senyum Ana, dan tak ada yang bisa membayangkan betapa beratnya menghadapi itu.
Ada lebih banyak pertanyaan yang kemudian muncul di benak Julian, apakah selama ini Ana masih memakan makanan yang disukainya? Atau dia mengabaikannya juga? Dan selimut yang menemaninya tidur? Tidakkah itu terbuat dari bulu halus yang terurai lembut saat Ana merebahkan diri di atasnya? Julian mengikuti setiap jejak yang ditinggalkan Ana. Ia semakin takut saat tak bisa menebak kemana sebenarnya Ana akan pergi. Tempat yang Ana tuju terlihat seperti rumah susun. Dari kejauhan terlihat anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan tanpa rumput, tanahnya yang jingga, kering dan terurai menjadi debu. Teriakan ibu-ibu terdengar dari mana-mana, sekadar menyuruh anak-anak yang bermain itu berhenti atau mereka protes karena debu-debu mulai mengotori jemuran mereka. Tapi, semua itu tak membuat anak-anak itu berhenti. Mereka malah semakin bersemangat untuk membuat satu gol. Langkah Julian tertahan saat bola melayang ke arahnya, Julian menangkapnya. Julian sempat terkejut, anak-anak yang bermain bola mulai berteriak, "paman, lemparkan bolanya!" Julian khawatir Ana berpaling dan menyadari keberadaannya. Ana bisa saja lari darinya seperti yang pernah ia lakukan dulu. "Aku tidak suka diikuti," katanya. Tapi, tidak. Ana menaiki anak tangga dengan tidak terusik pada sesuatu apa pun, seakan inderanya telah mati, dia mengabaikan semua hal di sekitarnya.
Setidaknya Julian tahu di mana ia akan mencari Ana setelah ini, tak tahu apakah itu bisa disebut rumah, atau hanya sebuah kamar bernomor 06. Untuk selanjutnya, Julian akan membuat Ana tidak bisa lagi menghindar darinya.
Dari kejauhan aku melihatnya berlari kecil. Laki-laki itu gelisah, seperti sedang mencari sesuatu. Aku tertawa saja, jika tidak begitu Julian tidak akan meninggalkan pekerjaannya.
"Aku di taman depan sekolah," kataku setengah jam sebelumnya saat aku menelponnya.
"Kau bersama teman-temanmu?" Julian bertanya lagi.
Aku tidak menjawab. Kuputuskan sambungan dengan Julian. Untuk selanjutnya Julian terus menelpon dan kuabaikan panggilan itu. Sekarang, sesuai yang kuharapkan, Julian sendiri yang datang mencariku.
Julian menemukanku di bawah pohon besar di tengah taman. Pohon itu dihiasi lampu-lampu kecil berwarna-warni. Aku tersenyum padanya.
Aku tahu Julian pasti lupa malam ini malam tahun baru, seperti ia melupakan hari-hari lainnya dan hanya sibuk mengurusi pekerjaannya. Dalam ingatanku, Julian sekitar dua puluhan tahun waktu itu. Usia seperti itu semestinya Julian membawa pasangannya ke pesta tahun baru, bukan bekerja lembur sendirian di ruangan sempit yang hanya diterangi cahaya putih remang-remang. Lihatlah kemeja yang ia kenakan, dan dasi yang mengikat lehernya, sudah terlihat berantakan. Ada kerutan sedikit di kening Julian saat berhasil menemukanku. Biar begitu, aku tahu, apa pun yang terjadi, Julian tidak akan marah padaku.
"Kau datang?" senyumku semakin lebar. Sekadar ingin mengatakan bahwa diriku sebenarnya tidak apa-apa dan ini sengaja kulakukan.
"Kau sendirian?" Julian balik bertanya.
Aku mengangguk. "Maaf, untuk memaksamu datang kemari."
"Kau seharusnya tidak perlu melakukan hal seperti ini, kau tinggal meminta...,"
"Kau akan menyuruh Nara menemaniku jika kau tahu aku sendirian."
Julian terdiam. Bahwa sebenarnya dirinyalah yang begitu kuharapkan. Aku akan berdandan lebih cantik untuknya. Kudekatkan diriku padanya dan kuraih lengan kiri laki-laki itu. Layaknya seorang kekasih, aku ingin bermanja-manja dengannya. tidakkah kebanyakan saudara menjadikan hubungan mereka untuk ajang berkelahi. Aku selalu bersikap seperti itu sebelumnya, sampai kusadari pelan-pelan aku mulai mencintai Julian. Pantas tidak pantas, sadar tidak sadar, aku berharap suatu hari nanti Julian akan melihat dirinya sebegai seorang perempuan, bukan sebagai adiknya.
Julian punya daya tarik yang besar bagi perempuan. Banyak pertanyaan yang datang padaku, apakah Julian sudah punya pacar? Dan pada akhirnya mereka memintaku mengenalkan mereka pada Julian. Mereka semua membuatku cemburu. Dan malam itu, aku bangga bisa berjalan di samping Julian, menggenggam erat tangannya. Aku merasa tatapan semua orang mengarah padaku, dan mereka iri terhadap kebersamaanku dan Julian. Aku senang saat Julian memperhatikan setiap langkahku, sekadar mencegah hal-hal yang bisa membuatku terjatuh. Aku senang saat Julian merangkulku dengan hangat, menyuapiku dengan makanan-makanan kecil dari stand-stand yang berdiri malam itu, membantuku memilihkan pernak-pernik yang lucu dan aku senang saat Julian memuji diriku. Kebahagiaan mencintai yang belum pernah kurasakan sebelumnya, malam itu bisa kurasakan bersama Julian. Walaupun itu akan berakhir sesaat setelah kembang api diluncurkan ke langit pekat dan menciptakan warna-warni yang indah. Tanpa disadari Julian, bukan kembang api yang kuperhatikan, tapi wajah Julian yang membuatku merasa damai. "Kak, aku kedinginan!" lirihku
Ekspresi Julian berubah, ia tahu ia tak punya apa-apa untuk diselimutkan. Kecuali tubuhnya sendiri.
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
"Kau duluan saja! Aku ke kamar mandi sebentar!" ucap Julian sebelum mereka sempat masuk ke ruangan Dokter Ruin.Ini pertama kalinya Ana datang bersama Julian ke rumah sakit. Julian yang meminta Ana untuk pergi bersama. Tentu saja Ana tidak bisa menolak setelah Julian tidak bicara padanya hampir tiga hari lamanya, makan dan tidurnya juga jadi tidak karuan. Entah apakah Julian perlu waktu untuk menerima kenyataan, yang jelas Ana dibuat hampir gila karena masalah itu. Dan semua itu, tentunya salah laki-laki berjas putih yang selalu sok tahu."Kau bilang kau sahabatku!" teriak Ana setelah menampar Ruin di depan pasien-pasiennya. "Tapi, kau samasekali tidak mengerti aku," katanya lagi.Ruin diam saja sambil memegangi pipinya. Ini reaksi wajar dari Ana yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men