Paris...
Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.
Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seorang model muda papan atas, Isabel terbiasa ditawari untuk menjadi model para desainer terkenal, bahkan dalam pertemuan mereka yang tidak disengaja.
"I'am Julian, may I help you?" Julian mencoba bersikap sopan. Saat itu Julian terpaksa turun dari pembaringannya karena dipanggil oleh Mrs. Alena.
"Gaunmu bagus!" Itu kata pertama yang diucapkan Isabel pada Julian.
Julian terdiam sejenak, ia terkejut mendengar kata dengan bahasa Indonesia yang diucapkan seorang gadis muda, untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berada di Paris.
"Terima kasih," tanggap Julian.
"Hanya begitu saja?"
Julian mengerutkan keningnya, ia tak tahu seberapa serius sebenarnya pembicaraan mereka, "Memang, ada apa lagi?" Julian balik bertanya.
"Kau tak mengenalku?"
Julian memfokuskan perhatiannya pada gadis di depannya sekali lagi. Seperti gadis-gadis lain yang biasa mengunjungi butiknya. "Tentu aku tahu, Anda Isabel, seorang model."
"Bagus. Aku mungkin saja menolak tawaran Anda untuk menjadi model suatu hari nanti," Isabel mencoba mengatakan bahwa Julian seharusnya bersikap baik padanya.
Julian tersenyum, "Benarkah? Aku pasti sungguh kecewa," katanya terdengar seperti lelucon. Hanya saja Isabel tak menyadarinya. "Anda pilih saja yang Anda suka, maaf aku harus ke atas, masih ada yang harus dikerjakan."
Perlahan Isabel berpaling dari deretan baju yang terpajang, ia melihat ke Julian yang menunduk sopan. "Orang ini mau meninggalkanku?" pikirnya kesal. Isabel mendengus keras sambil berpangku tangan. Sementara Julian sudah menaiki anak tangga dan meminta Mrs. Alena menggantikan posisinya untuk menemani Isabel.
Baru sampai di pertengahan anak tangga, Julian mendengar Isabel berteriak padanya, "Anda kira begini caranya memperlakukan seorang pelanggan?" katanya.
Julian heran, ia tak menyadari apa salahnya. Isabel menuju pintu butik saat itu, sepertinya ingin cepat-cepat keluar. Hanya saja, ia kembali ke deretan gaun terpajang, menarik dua potong gaun dan meletakkannya di meja kasir.
Isabel memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk hal yang disukainya. Bisa saja jika ia pergi, sejam kemudian gaun itu sudah tak terpajang di sana. Isabel tidak mau itu terjadi.
Setelah membayar, Isabel melontarkan pandangan kekesalannya lagi pada Julian yang masih berdiri di tengah-tengah tangga, kemudian pergi.
"Ia bahkan tidak mencobanya," pikir Julian tak yakin ukuran gaun itu pas untuk gadis bertubuh mungil. Terakhir yang mengenakan gaun itu adalah seorang model peranakan Rusia.
Keesokan harinya,
Julian punya banyak waktu hari itu. Hampir dua jam ia berada di lantai dasar, menemani pelanggan-pelanggan wanitanya, atau mereka terlihat seperti teman yang menghabiskan waktu berkumpul di sebuah bar kecil. Julian mendengarkan keluhan mereka tentang penampilan yang dirasa selalu tidak sempurna. Masalah yang sama yang didengar Julian setiap hari. Itu agak klise, Julian bahkan tidak melihat apa yang para wanita itu maksudkan. Bukankah kecantikan mereka di atas rata-rata, mereka bertubuh tinggi dengan berat badan yang diidamkan setiap wanita. "Masing-masing memiliki keunikan tersendiri, sadari itu!" satu-satunya yang bisa diucapkan Julian untuk membuat mereka percaya pada diri mereka sendiri.
Julian bersandar di sebuah tiang yang dihiasi pernak-pernik berkilau, dua tangannya tertahan di saku celananya. Sesekali senyumnya mengembang mendengar pembicaraan para model cantik itu. Ada yang mulai mengucapkan kalimat "apa kau tahu...?" dan tentu saja pembicaraan menjadi lebih menarik setelah itu. Mereka membicarakan tentang hal-hal yang ramai dibicarakan di berbagai tabloid fashion yang beredar minggu ini, juga skandal-skandal yang menjadi perbincangan international. Julian tidak suka membaca, jarang menonton televisi dan sebenarnya tak tertarik dengan berbagai hal itu. Namun, entah disadari atau pun tidak, Julian tahu informasi itu penting untuknya tetap bertahan di dunia mode. Julian membuat ini menjadi lebih mudah, ia bisa menyerap semua informasi hanya dengan menyimak pembicaraan para model yang kebetulan berkumpul di butiknya.
Agaknya ada yang mengusik penghuni butik ketika pintu depan butik Julian terbuka. Semua mata tertuju pada seseorang yang baru saja masuk. Seorang wanita yang mengenakan jeans hitam dan kaos ketat berwarna cream. Pinggang dan perutnya sedikit terlihat. Gadis itu juga menggunakan topi berdaun lebar dan stiletto merah yang tingginya tak kurang 10 cm. Julian yakin gadis itu berdandan seperti itu agar tak mudah dikenali, matahari yang meninggi hari itu, juga tak akan langsung mengenai kulit wajahnya karena topi yang ia kenakan.
Julian tak yakin, gadis itu sepertinya sama dengan gadis yang berkunjung ke butiknya kemarin dan marah padanya dengan alasan yang tidak ia mengerti. Hanya saja, Julian melihat pandangan teduh dari gadis itu. Gadis dengan eye shadow berwarna cokelat dan lipstick berwarna merah muda. Ia kira hari ini Isabel mengurangi make-up di wajahnya, rambutnya juga terurai alami. Ini jauh dari kesan angkuh dan glamor yang selama ini melekat pada Isabel. Itu tak buruk, Julian justru lebih menyukai penampilan Isabel yang seperti itu.
Isabel menenteng sebuah tas berlogo J d'Art.
Julian menghampiri Isabel.
"Ikut aku ke atas!" ucapnya ramah.
Isabel menurut saja.
Di lantai dua, Isabel menemukan jejeran patung yang dibalut berbagai gaun setengah jadi. Ada meja rias di sana, juga meja kerja Julian yang penuh tumpukan kertas. Meja kerja yang biasa digunakan Julian untuk membuat sketsa rancangannya. Selain itu ia juga bisa menemukan kain bahan yang masih berupa gulungan, berbagai kristal cantik dan pernak-pernik lain yang tidak dimengerti Isabel. Isabel dibuat kagum dengan ruangan itu.
"Masuklah!" Julian mengarahkan Isabel ke kamar ganti.
Sementara menunggu Isabel, Julian menyiapkan peralatan yang akan ia gunakan, peniti dan pita pengukur badan. Sudah pasti Isabel punya masalah dengan ukuran gaun yang tidak sesuai.
Saat Isabel keluar, Julian tak memungkiri bahwa Isabel punya pilihan yang bagus. Ia mampu mengenali gaun yang cocok untuk dirinya sendiri. Gaun berwarna orange muda, walaupun ukurannya tidak terlalu pas, gaun yang kontras dengan kulit Isabel yang putih dan itu terlihat cantik. Julian meminta Isabel mendekat padanya. Julian memilih duduk di atas meja kerjanya. Posisi seperti ini memudahkannya untuk mengukur setiap lekuk tubuh Isabel. Isabel sebenarnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang model dan dia lebih rendah dari Julian. Dengan posisi seperti itu, Julian tidak perlu menunduk, dan punggungnya tidak perlu merasa sakit.
"Bagaimana kau tahu?"
Julian mencoba mencerna arah pertanyaan Isabel. Ia belum menjawabnya. Namun, yang sebenarnya lebih menarik buat Julian adalah mengingat kemarin gadis itu marah padanya. Dan hari ini ia menggunakan bahasa tidak formal, itu terdengar akrab.
"Aku bisa menebak ukuran pinggangmu sekarang. Dan aku hafal dengan ukuran gaun yang kubuat sendiri. Apa aku belum bilang bahwa inilah pekerjaanku?" Julian menyelipkan satu peniti di bagian pinggang gaun Isabel. Peniti ke delapan yang membuat Isabel terhenyak. Sejak tadi Julian memutar-mutar tubuh Isabel, memperhatikan setiap inci kain yang membalut tubuh gadis muda itu. Itu bukan masalah jika Julian melakukannya dengan lebih lembut.
"Aku bukan patung," protes Isabel pada akhirnya. "Apa kau tahu aku mengahabiskan banyak uang untuk perawatan kulit. Apa jadinya kalau kulitku tertusuk dan menimbulkan bekas? Kau mau bertanggung jawab?" tambahnya.
Julian tersenyum, sekali lagi ia memutar tubuh Isabel. Julian hampir membuat Isabel kehilangan keseimbangan saat itu, dia mungkin saja terjatuh, tapi Julian menahannya, "Kalau kau tertusuk, kau boleh menuntutku dengan tuduhan penganiayaan," tanggapya.
"Ok. Aku pasti akan melakukan itu. Cepat selesaikan saja ini, kau membuatku pusing!"
Hanya butuh tiga puluh menit untuk menjahit kembali dua gaun agar sesuai dengan ukuran Isabel.
"Aku sungguh terkesan!" ucap Isabel jujur, tapi terlihat tidak ikhlas mengucapkannya.
Julian merapikan peralatannya. Ini bukan kali pertama ia mendapat pujian untuk hasil kerjanya.
"Berapa... aku harus membayar?" tanya Isabel agak ragu.
"Kemarin kau sudah membayarnya, nona! Hari ini aku hanya menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda," jelas Julian.
Isabel memperhatikan gaun yang ada dalam genggamannya. Gaun indah yang benar-benar ia sukai. Sebenarnya Julian bisa saja tidak menyerahkan gaun itu pada Isabel, tentu saja karena sikap kasarnya kemarin. Bukankah seorang desainer akan berusaha menemukan pemilik yang tepat untuk gaun-gaun rancangan mereka? Mereka akan melihat berbagai aspek dari calon pembeli, untuk menentukan apakah gaun itu cocok atau tidak dikenakan oleh sang pemilik. Bukan semata-mata soal uang, ini soal makna dari sebuah karya. Untuk itu, Isabel merasa malu atas sikapnya kemarin. Hanya saja, gadis itu tidak tahu caranya meminta maaf. Itu sama sulitnya dengan menelan ramuan obat herbal yang sering dibuat oleh ayahnya.
"Baiklah. Kalau begitu aku pergi," kata Isabel canggung. Ia berbalik dan berjalan menjauhi Julian.
"Setidaknya kau bisa mengucapkan terima kasih," ucap Julian.
Isabel berpaling, ia sadar memang itulah yang harusnya diucapkan. Tapi, yang kemudian keluar dari mulutnya, "Asal kau tahu, aku lebih suka membayar untuk ini," ujarnya.
Untuk pertemuan mereka selanjutnya, Isabel melewatkan begitu banyak pagelaran busana yang dibuat Julian tanpa sekali pun Julian melibatkan dirinya sebagai model. Sejak Isabel mulai merasa nyaman berada di dekat Julian, ia mencari berbagai alasan untuk bertemu desainer itu. Sekadar berkonsultasi dengan Julian tentang penampilannya, Isabel akan mendiskusikan semua gaun yang ia beli pada Julian, bahkan gaun yang ia beli dari desainer lain. Kini mereka terlihat seperti teman. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk makan siang, kadang-kadang menikmati sore yang indah di café-café tepi jalan, dan tentu saja Isabel membawa banyak majalah fashion saat itu. Isabel juga sering berada di ruang kerja Julian untuk melihat laki-laki itu menyiapkan segala hal yang dibutuhkan di atas cat-walk. Kadang-kadang ia merasa cemburu ketika Julian menangani model-model cantiknya. Suatu ketika Isabel tidak tahan melihat Julian bersama wanita-wanita cantik itu, ia pergi tanpa berpamitan. Julian sempat melihatnya, menuruni anak tangga dengan wajah merengut. Jika saja Julian tahu saat itu Isabel sudah ingin pergi, setidaknya Julian akan mengantarnya hingga pintu mobil.
"Kau tidak apa-apa?" untuk pertama kalinya Julian menelpon Isabel setelah ia sadar ia tak bisa menemukan Isabel di sudut mana pun di butiknya.
Isabel tidak menjawab. Ia masih kesal pada Julian.
"Kenapa tiba-tiba pergi?" Julian bertanya lagi.
"Apa pedulimu? Aku...," Isabel menghela napas, "aku tidak suka cara model-modelmu memandangku aneh dan mereka mulai membicarakanku. 'Isabel' ada di sana, tapi bukan sebagai apa-apa," Isabel menyebut namanya sendiri.
Julian mengerutkan keningnya, ia mencoba mencerna apa yang sebenarnya yang dipermasalahkan gadis itu.
"Lalu aku harus bagaimana? Aku bukan siapa-siapa dan tentu saja aku tidak bisa membayarmu bahkan dengan harga minimal yang biasa tertera di majalah. Lagi pula, levelmu terlalu tinggi untuk mendengarkan semua ocehan mereka."
Isabel terdiam sejenak, ia mulai memikirkan kata-kata Julian. Sebenarnya bukan semata-mata ia kesal terhadap model-model Julian. Tapi, Isabel terlalu takut kalau laki-laki itu tergoda dengan salah satu dari mereka. Isabel tak tahu entah sejak kapan ia ingin membuat dinding penghalang yang besar, yang di dalamnya hanya ada dirinya dan Julian. Ini terdengar egois, tapi itulah kenyataannya.
"Kau punya gaun yang cocok untukku?" Isabel bertanya dengan nada suara rendah. Hampir saja Julian tidak bisa mendengarnya.
"Maksudmu kau ingin jadi modelku?" Julian balik bertanya.
"Jujur saja, aku hanya ingin memberikan sedikit pengalaman pada model-modelmu itu, mereka harusnya bangga bisa sepanggung dengan model sekelas aku."
Julian tersenyum kaku, ia tak berpikir akan terlibat masalah gengsi para wanita, tidakkah persiapan fashion show sudah sangat membuatnya kerepotan.
"Sejujurnya aku tidak punya," jawab Julian.
Senyum Isabel lenyap seketika, ia siap meledak lagi.
"Tapi, kukira aku punya sesuatu di kepalaku, sesuatu yang khusus kubuat untukmu. Kau datanglah besok sore!" ucap Julian sebelum menutup ponselnya. Ia harus siap untuk membuat sesuatu yang sudah ia janjikan pada Isabel, dan malam ini mungkin dia tidak akan tidur.
Saat cahaya fajar memenuhi sudut-sudut Champs-Élysées keesokan harinya, Isabel menemukan Julian tertidur di sofa merah di ruang kerjanya. Cahaya jingga yang menembus jendela kaca besar menyentuh wajah Julian, namun sepertinya ia tak terusik dengan itu.
Hal lain yang menarik perhatian Isabel adalah gaun hitam dengan detail bulu yang memenuhi setiap inci gaun tersebut. Gaun yang terpajang di patung model, memantulkan cahaya saat sentuhan sinar fajar juga menghujaninya. Isabel baru menyadari bahwa Julian juga menaburkan swarovski hitam ke rancangannya itu. Isabel jatuh cinta pada pandangan pertama pada gaun tersebut. Tanpa bertanya pada Julian, ia mengenakan gaun tersebut. Gaun cutting sederhana dengan bahu terbuka dan hanya dua per tiga menutupi pahanya. Isabel tercenung saat menghadap cermin. Ia merasa mendapat energi baru setelah mengenakan gaun tersebut.
"Coba kulihat!" Julian meraih pinggang Isabel, memutar tubuh perempuan itu hingga mereka saling berhadapan. Mata Julian masih terlihat sayu saat itu, "Sepertinya sudah tidak perlu ada yang dirubah," katanya seakan mempertegas bahwa gaun itu memang diperuntukan untuk Isabel.
"Kau membuat ini dalam semalam?" Isabel penasaran.
Julian menganguk, "Angel" sebut Julian. Ia memutar lagi tubuh Isabel. Menghadapkan Isabel pada sosok Isabel di dalam cermin.
"Menurutmu, mengapa malaikat tidak boleh jatuh cinta?"
Isabel menggelengkan kepalanya.
"Karena malaikat ditakdirkan hanya untuk setia pada Tuhan, dan ketika ia jatuh cinta, maka berarti kesetiaannya telah berubah. Tentu saja dia tak bisa dianggap lagi sebagai malaikat. Perlahan sayapnya yang indah akan menghitam dan mulai berjatuhan. Ia akan berubah menjadi manusia yang lemah, manusia yang pada akhirnya tak memiliki daya bahkan untuk menyelimutkan selembar kain pada tubuh mereka yang telanjang, hingga akhirnya mereka mati. Malaikat yang jatuh cinta itu, telah memilih jalannya sendiri untuk tetap mencintai, daripada pergi dan melupakan. Malaikat akan melindungi orang yang dicintainya dengan segenap jiwa dan raganya, dan terakhir ia akan merajut bulu dari sayapnya yang berjatuhan dan ia hadiahkan pada kekasihnya. Sebuah gaun yang menjadi bukti cinta nyata, pengorbanan, dan kesetiaan. Dengan itu semua, ia berharap kekasihnya bisa berdiri dengan lebih kuat dengan mengenakan gaun itu. Kekasihnya harus percaya bahwa sang malaikat akan terus bersamanya, akan terus melindunginya, meski kini mereka telah tak bersama," jelas Julian. Ia melihat bayangan Ana yang menari-nari ceria di sekitarnya. Sampai sekarang Julian masih tetap memilih sebagai malaikat, yang hanya memberikan cintanya diam-diam. Tuhan marah padanya, tapi Julian tak bisa dipersalahkan karena Julian sudah berusaha untuk meredam cintanya. Ia bahkan memilih pergi dan melupakan.
"Mungkin kau benar. Tapi, buatku aku sudah berusaha sangat keras untuk mencapai posisi ini. Jika menurutmu ini adalah hadiah pengorbanan, maka sudah seharusnya aku berdiri tegak dan menjadi lebih kuat. Dan orang-orang harus melihat itu," Isabel tersenyum kemudian. Setiap jengkal perjuangan bisa ia ingat jelas. Tidakkah tubuhnya lebih kecil dari model-model yang lain, ia sudah dicemooh dan berakali-kali mendapat penolakan karena itu. Tapi, ia bisa membuktikan kemampuannya pada dunia dan ia tetap bertahan.
"Angel" dan "Julian" menjadi sangat terkenal setelah kemunculan mereka bersama. Mereka mungkin tak akan menjadi perhatian pecinta mode dunia jika saja Isabel tak terlibat. Isabel yang mau bekerja sama dengan desainer muda yang merupakan pendatang baru, menjadi pertanyaan utama wartawan yang meliput mereka saat itu.
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
"Kau duluan saja! Aku ke kamar mandi sebentar!" ucap Julian sebelum mereka sempat masuk ke ruangan Dokter Ruin.Ini pertama kalinya Ana datang bersama Julian ke rumah sakit. Julian yang meminta Ana untuk pergi bersama. Tentu saja Ana tidak bisa menolak setelah Julian tidak bicara padanya hampir tiga hari lamanya, makan dan tidurnya juga jadi tidak karuan. Entah apakah Julian perlu waktu untuk menerima kenyataan, yang jelas Ana dibuat hampir gila karena masalah itu. Dan semua itu, tentunya salah laki-laki berjas putih yang selalu sok tahu."Kau bilang kau sahabatku!" teriak Ana setelah menampar Ruin di depan pasien-pasiennya. "Tapi, kau samasekali tidak mengerti aku," katanya lagi.Ruin diam saja sambil memegangi pipinya. Ini reaksi wajar dari Ana yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
Saat kembali ke apartement milik Ana, Julian dihujani pandangan menyeringai perempuan itu. Siapa pun akan heran ketika melihat orang-orang yang katanya dari kamar kecil, kembali dengan wajah lebam dan berdarah. Baik Julian maupun Nara, mereka berdua sama saja."Kau puas sudah menghajarnya?" Ana setengah berteriak.Julian yang menyandarkan pantatnya di meja makan tidak bisa berkata apa-apa."Lihat wajahmu ini!" Ana mengangkat dagu Julian dengan jarinya, kemudian mengusapkan obat luka ke wajah Julian. "Lihat! Julian yang punya wajah tampan dan jadi perhatian para perempuan, sekarang sudah nggak keren lagi!" Ana menggesar sedikit tubuhnya, mengarahkan Julian pada cermin yang tertempel di dinding belakang Ana."Kukira perempuan lebih suka sama cowok yang punya banyak bekas luka. See
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men