Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu.
"Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendekat, ana mencoba mundur, tapi ada tembok di belakangnya. Ia bahkan merentangkan jari-jarinya, sewaktu-waktu ia bisa saja mendorong Julian. Laki-laki itu tak seharusnya... "koper?" heran Ana. Koper Julian yang berada di belakang Ana.
Julian mengambil sebuah kemeja hitam dari kopernya, "kebetulan hari ini aku juga harus pergi ke suatu tempat," lanjut Julian.
Ana memegangi dadanya. Jantungnya berdegup kencang dan ia masih berusaha mengatur napasnya. Ana merasa perasaannya begitu kacau, sementara Julian masih bersikap biasa. Julian yang mengancingkan kemejanya, kemudian berjalan santai menuju meja makan.
<<>>
Julian berjalan menunduk, ia mencoba mengatur langkahnya agar tak terlalu cepat. Dua tangannya tertahan di saku celananya dan Julian bisa melihat bayangan dirinya di atas marmer putih.
Ada aroma khas yang mengganggu penciumannya. Aroma yang sebenarnya tak asing buat Julian karena ia pernah berbulan-bulan berada di rumah sakit. Dia hafal dengan hiruk pikuk rumah sakit yang entah sejak kapan membuatnya ingin menghindari tempat itu. Dan saat harus berada di sana, Julian menghela napas berulang kali, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
dr. Ruindira Atmadja, spesialis bedah onkologi. Sesuai dengan yang tertera di kartu nama. Julian menengok sedikit ke dalam ruangan, tampaknya ia akan menunggu lama jika ingin bertemu pria berkulit putih yang pernah ditemuinya di bandara. Orang itu sedang sibuk dengan pasien-pasiennya. Benar saja, hampir dua jam ketika Dokter Ruin kemudian keluar dari ruangannya,
"Kau seharusnya menelponku jika ingin bertemu."
Julian mengalihkan pandangannya dari i-pad dalam genggamannya ke lantai. Sepasang sepatu yang membalut kaki seseorang yang kemudian ia lihat, Julian menengadahkan kepalanya sebelum benar-benar menegakkan tubuhnya.
Dokter Ruin tersenyum, "Kita bicara di kantin," katanya. Saat itu sudah satu jam lewat dari jam makan siang yang seharusnya. Julian menurut saja. Langkahnya menggiring pria berjas putih. Pria yang sibuk menebarkan senyum setiap kali ada yang berpapasan dengannya.
"Aku meminta maaf karena membuatmu terkejut waktu itu," Doter Ruin memulai pembicaraan. Sekilas pembicaraan mereka terlihat santai. Sebelumnya juga seperti itu. Tapi, seharusnya seorang dokter tahu kapan dan bagaimana caranya menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang mampu membuat seseorang tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan. "Tapi, aku tidak punya pilihan," sambung Ruin.
Ada sesuatu yang lain yang ditangkap Julian dari sikap Ruin saat itu. Raut wajah Ruin berubah. Senyumnya yang perlahan tenggelam dalam kegetiran. Untuk pertama kalinya Julian merasa Ruin berada di luar jalur seharusnya ia bersikap. Bukan hanya sekadar hubungan professional antara dokter dan pasien. Itu membuat Julian penasaran, seberapa dekat ia dengan Ana. Dan apakah dokter itu sudah menikah? Dia akan tampak sempurna di mata wanita.
Julian masih diam, sementara Dokter Ruin sibuk mengosongkan tempat di meja untuk menempatkan makanan yang ia pesan. Sepotong daging sapi dengan potongan kentang, serta salad sayur dan buah. Secangkir kopi telah tersaji lebih dulu. Entah, apakah itu menu umum yang ada di jam makan siang.
"Sepertinya kau sudah terbiasa dengan itu," Ruin bersuara lagi. Kali ini ia membuat gerak tangan Julian terhenti. Soal pisau yang ia gunakan untuk memotong daging dan garpu yang berada di tangan kirinya, Julian melepaskan dua benda itu. Gerak mulutnya melambat, ia merasa tak nyaman jika makan siang kali ini hanyalah untuk menguji dirinya.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" tanya Ruin.
Julian menyeruput kopinya, "apa yang ingin kau tahu dariku?" Julian balik bertanya.
"Aku tahu tentangmu, dan aku yakin kau memang benar Julian sang desainer itu. Dunia hiburan internasional sedang sibuk mencarimu. Kau menghilang begitu saja, bahkan mungkin kau meninggalkan pacarmu di sana," ucap Ruin.
"Aku tidak punya apa-apa lagi yang bisa kukatakan tentang diriku," tanggap Julian.
"Ada," sanggah Ruin, "tentang hubunganmu dengan Ana dan maksudnya menganggapmu "tidak" sebagai keluarga. Aku hanya ingin memastikan yang terbaik untuk pasienku."
"Aku mengenal Ana sejak usianya delapan tahun. Sejak ayahnya meninggal, dia hidup denganku sampai usia 21 tahun. Tidak ada yang lebih baik yang bisa menjaga Ana di dunia ini selain aku," Julian mencoba meyakinkan.
"Tapi, kau meninggalkannya dan pergi ke Paris. Gadis itu seperti orang gila terus menyebut namamu saat ia sekarat?"
Julian menantang pandangan Ruin, ia tak suka dengan kata 'sekarat' yang diucapkan Ruin. "Lalu menurutmu apa aku harus tinggal di sini dan membiarkannya selalu bergantung padaku?" suara Julian melemah. Masih teringat jelas sakitnya meninggalkan Ana enam tahun lalu dan datang ke negeri asing di mana tak seorang pun ia kenal.
Ruin tersenyum sinis, ia masih tak mengerti bagaimana sebenarnya Julian. Apa yang membuat Ana terus menyebut nama Julian dalam sakitnya. "Lalu apa menurutmu Ana harus bergantung padamu sekarang?"
Julian mengalihkan pandangannya. Ia kira dokter itu terlalu banyak bertanya dan tak perlu rasanya menjawab semua pertanyaan itu. Untuk sejenak Julian ingin meghindar, tapi itu tak akan lama, karena mengetahui kondisi Ana yang sebenarnya, adalah jauh lebih penting buatnya.
"Baiklah," sepertinya Ruin bosan menunggu jawaban dari Julian, "dia seharusnya tak bergantung padamu, tapi padaku," lanjutnya.
Julian tak menyangkal itu. Setidaknya Ruin adalah seorang dokter.
"Kanker tumbuh di lambungnya. Sampai saat ini belum menyebar ke kelenjar getah bening, aliran darah ataupun organ lainnya. Kubilang sampai saat ini, itu berarti ada potensi untuk semakin parah," Ruin mencoba menegaskan. "Kami tidak bisa melakukan pembedahan karena risikonya yang cukup tinggi. Satu-satunya yang bisa kusarankan adalah kemoterapi untuk mencegah penyebaran kanker dan Ana menolaknya. Ana akan mengalami mual dan sakit perut yang hebat sebagai gejala dari penyakitnya, sampai sekarang ia hanya mengkonsumsi obat yang kuberikan," sejenak Ruin melirik ke Julian yang tak lagi menyentuh makanannya.
Sampai Ruin menegakkan tubuhnya, mengelap mulutnya, Julian tetap diam memandangi gelas kopinya dengan sorotan keputusasaan.
"Aku menyesal harus mengatakan ini, tapi seperti yang kubilang aku tidak punya pilihan," Ruin pergi dengan meninggalkan dua lembar uang seratus ribu di atas meja.
"Kanker?" lirih Julian. Julian hampir tertawa, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia melirik ke Dokter Ruin, berharap dokter itu salah memberikan informasi. Namun, Dokter Ruin tidak berpaling dan pelan-pelan bayangan Ana muncul di benaknya. Ana yang tadi malam gelisah di bawah selimutnya sendiri karena rasa sakit dan Ana yang berbohong tentang banyak hal padanya, itu memaksa Julian yakin sesuatu yang buruk terjadi pada Ana.
Segera setelah Ruin pergi, Julian melanjutkan makan siangnya, entah kenapa ia merasa sangat lapar saat itu. Ia menjejalkan apa saja yang tertangkap oleh garpunya, menelannya sebelum sempat makanan itu terkunyah sempurna. Dadanya terasa sesak, ia pikir itu karena makanan yang tersangkut di kerongkongannya. Julian menepuk-nepuk dadanya, tapi itu tak berguna, dadanya tetap terasa sesak. Julian meraih gelas kopinya, hanya saja tidak setetes pun air tersisa. Itu membuatnya kesal. Tak sadar, air mata Julian mulai menetes. Ia mulai merasa kesal pada dirinya sendiri, pada meja makan di depannya, pada semuanya yang ada di sana. Julian mendorong meja makan hingga terbalik. Semua pengunjung terkejut dan berpaling ke Julian. Termasuk Dokter Ruin, ia masih bisa melihat bagaimana kacaunya Julian saat itu.
"Tuan! Apa Anda baik-baik saja?" beberapa waiters menghampirinya.
Julian menghalaunya, tak membiarkan seorang pun menyentuhnya. Julian mengeluarkan dompetnya dan melemparkan sejumlah uang ke lantai. Ia pikir itulah yang diinginkan orang-orang yang mulai mencoba menahannya agar tak anarkis.
"Biarkan saja dia," Ruin bersuara.
Orang yang coba menangkap Julian mulai menjaga jarak. Saat itu Julian berjalan keluar dengan tubuh sempoyongan. Bukan alkohol yang ia minum, tapi kepalanya terasa sangat berat. Julian terus berjalan hingga tak sengaja telah berada di depan sekolah Ana dulu, tempat ia biasa menunggu Ana setiap pulang sekolah. Julian duduk di pinggiran trotoar di depan sekolah itu. Ada tiang listrik yang menjadi tempatnya menyandarkan bahu, sementara kepalanya yang berat, tertunduk dan tertahan di antara kedua pahanya.
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
"Kau duluan saja! Aku ke kamar mandi sebentar!" ucap Julian sebelum mereka sempat masuk ke ruangan Dokter Ruin.Ini pertama kalinya Ana datang bersama Julian ke rumah sakit. Julian yang meminta Ana untuk pergi bersama. Tentu saja Ana tidak bisa menolak setelah Julian tidak bicara padanya hampir tiga hari lamanya, makan dan tidurnya juga jadi tidak karuan. Entah apakah Julian perlu waktu untuk menerima kenyataan, yang jelas Ana dibuat hampir gila karena masalah itu. Dan semua itu, tentunya salah laki-laki berjas putih yang selalu sok tahu."Kau bilang kau sahabatku!" teriak Ana setelah menampar Ruin di depan pasien-pasiennya. "Tapi, kau samasekali tidak mengerti aku," katanya lagi.Ruin diam saja sambil memegangi pipinya. Ini reaksi wajar dari Ana yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
Saat kembali ke apartement milik Ana, Julian dihujani pandangan menyeringai perempuan itu. Siapa pun akan heran ketika melihat orang-orang yang katanya dari kamar kecil, kembali dengan wajah lebam dan berdarah. Baik Julian maupun Nara, mereka berdua sama saja."Kau puas sudah menghajarnya?" Ana setengah berteriak.Julian yang menyandarkan pantatnya di meja makan tidak bisa berkata apa-apa."Lihat wajahmu ini!" Ana mengangkat dagu Julian dengan jarinya, kemudian mengusapkan obat luka ke wajah Julian. "Lihat! Julian yang punya wajah tampan dan jadi perhatian para perempuan, sekarang sudah nggak keren lagi!" Ana menggesar sedikit tubuhnya, mengarahkan Julian pada cermin yang tertempel di dinding belakang Ana."Kukira perempuan lebih suka sama cowok yang punya banyak bekas luka. See
Ana turun dari mobil, taman luas dengan hamparan rumput hijau menghadangnya. Tempat itu sejuk meskipun matahari bersinar cukup terik di hampir pukul dua hari itu. Ana sudah tak sabar bertemu Paman Toro. Setidaknya ia akan mencium aroma khas sebuah keluarga jika berkunjung ke sana.Dari sebuah dinding kaca besar, Ana melihat Paman Toro sedang duduk bersama anggota keluarganya yang lain. Orang tua itu sempat tertegun ketika menyadari kehadiran Ana. Sesaat ia berjalan cepat ke luar hanya untuk menyambut Ana."Aku merindukan Paman!" Ana memeluknya. Ia ingat bagaimana Paman Toro memaksanya untuk tinggal di rumah yang ia pijak sekarang ketika ia bercerai dengan Nara. "Kau sudah kuanggap seperti puteriku sendiri," katanya berulang kali. Tentu saja Ana tahu itu tulus dan untuk setiap kali datang ke sana, Ana merasa masih memiliki keluarga.
Ana menjadikan bahu Julian sebagai tempat bersandar saat ia tertidur, untuk itu Julian hanya menggunakan satu tangan untuk menyetir mobil sport hitamnya. Dari rumah Paman, mereka akan menyusuri jalan beraspal di daerah pesisir untuk menuju ke rumah lama mereka. Julian menikmati suasana saat itu, aroma laut yang perlahan membangkitkan memori masa remajanya. Untuk sesaat, ia ingin agar perjalanan mereka jadi lebih panjang. Julian tak pernah keberatan, jika saja jalan yang akan dilaluinya berat, lama dan sangat panjang, asalkan itu bersama Ana. Rasa cintanya pada Ana membuatnya terkekang dalam perasaan tak menentu sepanjang tahun dan entah sejak kapan, Julian tetap memilih jalan itu.Matahari telah kembali keperaduan, satu bintang mulai memancarkan cahayanya di ufuk barat. Ana baru saja mengangkat wajahnya dari bahu Julian. Tangan kanan Julian masih memegang stir, hanya saja mobil yang mere
Berita tentang anak sulung Segovia yang telah kembali rupanya begitu cepat menyebar. Sejak Julian turun dari mobil, banyak yang menghadangnya, sekadar menunduk sebagai sebuah penghormatan dari pegawai ke pemimpinnya. Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah menjadi budaya di Mount East. Julian tak terlalu mengerti arti sebuah penghormatan. Ia hanya membawa ajaran ayahnya, bahwa dirinya harus terbiasa diperlakukan seperti itu. Julian bahkan tidak diperkenankan untuk tersenyum untuk membalas sambutan hangat orang lain padanya. Satu hal lagi yang penting, bahwa punggungnya harus tetap tegak apa pun yang terjadi. Ayahnya selalu bilang di punggung itu berlindung ribuan pekerja. Kau harus bisa dipercaya sebelum mereka menjatuhkan kepercayaan padamu sebagai pemimpin. Jangan pernah melirik ke samping, apalagi berpaling ke belakang. Bicaralah dengan tetap menghadap ke depan. Dan untuk sesaat, Julian menjadi orang yang sangat arogan.
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men