Keesokan harinya,
Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.
Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.
Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah meninggi, dan yang tertinggal hanyalah butiran debu yang tersapu angin. Ana terpaksa turun untuk mencari Julian. Ia menemukan laki-laki itu sedang duduk di kursi panjang di tepi lapangan. Tangan kanannya terentang di sandaran kursi. Sementara tangan kirinya berada di atas pahanya yang tertopang. Julian menatap lurus ke depan.
Ana tahu kakaknya sedang memikirkan sesuatu dan tidak seharusnya ia menggangu Julian saat itu. Ana menghampiri Julian, duduk di sampingnya, "Aku sudah menyiapkan makanan," katanya pelan.
Julian diam saja. Julian sepertinya memilih tetap berada dalam lamunannya.
Angin berhembus cukup kencang di sana. Sesuatu yang membuat Ana sadar kenapa Julian bertahan di sana. Suasana sejuk diantara kesunyian, yang membuat mereka merasa nyaman. Satu per satu butiran keringat yang turun dari sela-sela rambut Julian, jatuh hingga ke dagunya. Itu samasekali tak membuat Julian terusik. Tapi Ana, justru ia yang merasa terganggu. Ana segera mengusapkan tangannya ke kening hingga pipi Julian. Dulu Ana pernah melakukannya, waktu itu Julian bekerja sebagai buruh bangunan. Mereka tak sengaja bertemu saat istirahat siang dan Julian mengajak Ana makan. Gumpalan keringat yang silih berganti menyusuri wajah Julian, Julian sebenarnya terganggu dengan itu. Tapi, tangannya terlalu kotor untuk mengusap wajahnya sendiri. Ana hanya melakukan hal yang sudah sewajarnya ia lakukan, membantu Julian mengusap keringatnya. Tapi, seperti waktu itu, kali ini Julian juga menahan tangan Ana, "Nanti tanganmu kotor," katanya.
"Apa sesuatu telah terjadi?" Ana mencoba mencari tahu sesuatu yang membuat Julian terdiam begitu lama. "Apa pihak bandara belum menghubungimu dan kakak dapat masalah karena itu?" sasarnya.
Julian berpaling ke Ana. Ia merasa Ana tampak lebih pucat hari itu. Perempuan dengan sweater abu-abu membalut tubuh mungilnya. Ana yang samasekali tak tahu kalau Julian tidak bisa tidur semalaman. Jika pun matanya terpejam, itu hanya pura-pura saja. Julian mendengar sendiri bagaimana kegelisahan Ana tadi malam. Untuk pertama kalinya Julian melihat Ana kesakitan. Dan Julian tak bisa berbuat apa-apa saat itu.
"Sudah kuputuskan! Aku tidak akan kembali ke Paris," ucap Julian membuat Ana tercenung.
"Jangan hanya karena aku...,"
"Bukan karena dirimu," potong Julian, "tapi karena diriku sendiri," lanjutnya.
Ana mengerutkan keningnya. Ia tak terlalu mengerti yang baru saja diucapkan kakaknya.
Julian mencoba tersenyum. Ia kira ia tak akan mempertegas alasan yang membuatnya tetap tinggal. Karena itu berhubungan dengan rasa cintanya yang teramat dalam, di hatinya hanya akan tersimpan kekhawatiran jika saja ia meninggalkan Ana sendirian. Kekhawatiran itu perlahan-lahan akan mematikan saraf otaknya dan membunuhnya. Hal yang terburuk yang bisa dirasakan Julian, dan Julian tak ingin itu terjadi.
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
"Kau duluan saja! Aku ke kamar mandi sebentar!" ucap Julian sebelum mereka sempat masuk ke ruangan Dokter Ruin.Ini pertama kalinya Ana datang bersama Julian ke rumah sakit. Julian yang meminta Ana untuk pergi bersama. Tentu saja Ana tidak bisa menolak setelah Julian tidak bicara padanya hampir tiga hari lamanya, makan dan tidurnya juga jadi tidak karuan. Entah apakah Julian perlu waktu untuk menerima kenyataan, yang jelas Ana dibuat hampir gila karena masalah itu. Dan semua itu, tentunya salah laki-laki berjas putih yang selalu sok tahu."Kau bilang kau sahabatku!" teriak Ana setelah menampar Ruin di depan pasien-pasiennya. "Tapi, kau samasekali tidak mengerti aku," katanya lagi.Ruin diam saja sambil memegangi pipinya. Ini reaksi wajar dari Ana yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
Saat kembali ke apartement milik Ana, Julian dihujani pandangan menyeringai perempuan itu. Siapa pun akan heran ketika melihat orang-orang yang katanya dari kamar kecil, kembali dengan wajah lebam dan berdarah. Baik Julian maupun Nara, mereka berdua sama saja."Kau puas sudah menghajarnya?" Ana setengah berteriak.Julian yang menyandarkan pantatnya di meja makan tidak bisa berkata apa-apa."Lihat wajahmu ini!" Ana mengangkat dagu Julian dengan jarinya, kemudian mengusapkan obat luka ke wajah Julian. "Lihat! Julian yang punya wajah tampan dan jadi perhatian para perempuan, sekarang sudah nggak keren lagi!" Ana menggesar sedikit tubuhnya, mengarahkan Julian pada cermin yang tertempel di dinding belakang Ana."Kukira perempuan lebih suka sama cowok yang punya banyak bekas luka. See
Ana turun dari mobil, taman luas dengan hamparan rumput hijau menghadangnya. Tempat itu sejuk meskipun matahari bersinar cukup terik di hampir pukul dua hari itu. Ana sudah tak sabar bertemu Paman Toro. Setidaknya ia akan mencium aroma khas sebuah keluarga jika berkunjung ke sana.Dari sebuah dinding kaca besar, Ana melihat Paman Toro sedang duduk bersama anggota keluarganya yang lain. Orang tua itu sempat tertegun ketika menyadari kehadiran Ana. Sesaat ia berjalan cepat ke luar hanya untuk menyambut Ana."Aku merindukan Paman!" Ana memeluknya. Ia ingat bagaimana Paman Toro memaksanya untuk tinggal di rumah yang ia pijak sekarang ketika ia bercerai dengan Nara. "Kau sudah kuanggap seperti puteriku sendiri," katanya berulang kali. Tentu saja Ana tahu itu tulus dan untuk setiap kali datang ke sana, Ana merasa masih memiliki keluarga.
Ana menjadikan bahu Julian sebagai tempat bersandar saat ia tertidur, untuk itu Julian hanya menggunakan satu tangan untuk menyetir mobil sport hitamnya. Dari rumah Paman, mereka akan menyusuri jalan beraspal di daerah pesisir untuk menuju ke rumah lama mereka. Julian menikmati suasana saat itu, aroma laut yang perlahan membangkitkan memori masa remajanya. Untuk sesaat, ia ingin agar perjalanan mereka jadi lebih panjang. Julian tak pernah keberatan, jika saja jalan yang akan dilaluinya berat, lama dan sangat panjang, asalkan itu bersama Ana. Rasa cintanya pada Ana membuatnya terkekang dalam perasaan tak menentu sepanjang tahun dan entah sejak kapan, Julian tetap memilih jalan itu.Matahari telah kembali keperaduan, satu bintang mulai memancarkan cahayanya di ufuk barat. Ana baru saja mengangkat wajahnya dari bahu Julian. Tangan kanan Julian masih memegang stir, hanya saja mobil yang mere
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men