Beranda / Romansa / Forbidden Lover / Chapter 52: Good Bye My Love

Share

Chapter 52: Good Bye My Love

Penulis: Romaneskha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali.

Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar.

"Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya.

"Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan.

"Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Forbidden Lover    Chapter 53: Epilog (END)

    Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b

  • Forbidden Lover    Chapter 1: Yang Hilang

    Biru bening langit di luar, titik yang sama yang ia harap seseorang itu juga memperhatikannya. Hingga sejauh apa pun tempatnya sekarang, Ana berharap seseorang itu tetap sadar mereka pernah dinaungi langit yang sama."Kau yakin tidak punya keluarga," laki-laki berjas putih membuat Ana berpaling.Warna jas yang serupa memenuhi hampir seluruh ruangan tempat Ana dan Dokter Ruin sekarang. Tirai tipis bergoyang entah mendapat sapuan angin dari mana. Ana tetap tak bersuara. Bukan sekali dua kali Dokter Ruin menanyai tentang itu dan jawaban Ana tetap sama. "Tidak." Tentu saja yang dicari Dokter Ruin bukan sebentuk Vanessa, makhluk kecil yang masih belum mengerti apa-apa soal CT-Scan dan Rontgen perut yang rumit. Pada akhirnya Ana yang harus mendengar penjelasan itu sendiri, mencernanya dan kemudian mengambil keputusan.

  • Forbidden Lover    Chapter 2: Anjing Peliharaan

    [..."Apa kau menyukainya?"Aku berpaling melihatnya. Dia bertanya dengan senyum simpul terukir di bibirnya. Saat itu, aku tahu aku telah jatuh cinta pada orang yang duduk di sampingku. Dia terlalu indah untuk tak dirindukan. Saat di hadapan orang lain, caranya berdiri, berjalan, dan menatap orang lain, tak ubah seperti berandalan. Ia acuh dan dingin. Namun, saat bersamaku, entah kenapa yang kulihat hanya kebijaksanaan. Sikapnya saat bersamaku, seakan hanya untuk melindungiku, bukan waspada terhadapku. Aku suka caranya menyandarkan punggungnya, juga caranya menyilangkan kaki saat duduk, semua terlihat anggun. Tapi, caranya memandangku, aku tak tahu. Dia buru-buru mengalihkan matanya saat tak sengaja kami bertemu pandang. Selalu seperti itu, seperti takut untuk melihatku.

  • Forbidden Lover    Chapter 3: Time To Remember

    "Apa pentingnya isi hatiku bagi orang lain?"Selalu terpikir bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar ingin tahu isi hatinya. Pertanyaan, "Bagaimana perasaanmu?" Bagi Ana hanya sebagai formalitas saja. Cara supaya orang terlihat perhatian dan peduli. Sementara Ana yakin tidak ada yang peduli padanya. Makanya Ana selalu diam saat ada orang yang bertanya soal itu. Peduli Dokter Ruin, atau Nara.Ana, seperti tembok yang semakin hari semakin meninggi, tak berpintu dan semakin tebal. Bahkan suara pun pelan-pelan tak akan mampu menembusnya. Setelah Julian pergi, hatinya seperti diselimuti badai kutub, pelan-pelan membeku menuju salju abadi."Bagaimana perasaanmu?" sekali lagi Dokter Ruin bertanya.Ana yang berdiri menghadap jendela diam

  • Forbidden Lover    Chapter 4: Disainer

    Ana menghela napas, ada perasaan bersalah merangkulnya jika saja ia menyendok makanan berkuah di hadapannya. Entah kenapa kata-kata Dokter Ruin menjadi penting pada moment-moment itu. "Pikirkan tentang Vanessa!" Kata-kata itu seperti satu-satunya senjata bagi Dokter Ruin agar Ana patuh. Dokter muda itu telah menuliskan daftar menu makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Ana. Dan tentu saja Ana mengabaikannya. Anehnya, "tentang Vanessa" yang selalu menjadi penutup pembicaraan mereka, Ana menjadi tahu semua hal yang baik dan yang akan memperburuk keadaannya. Mungkin tak semua pengetahuan tentang bagaimana ia harus bertahan hidup ia pelajari dari Dokter Ruin, ada lebih banyak pengalaman yang membuatnya merasakan sakit dan akhirnya membuatnya jera."Aku telah banyak berpikir tentang ini," lirihnya. Bukankah cepat atau lambat akan sama saja. "Aku akan mati juga," pikir Ana seraya meny

  • Forbidden Lover    Chapter 5: Julian Andreas Segovia

    "Ada apa?"Julian tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Dari sana ia bisa melihat Paris malam hari, indah dengan cahaya jingga lampu jalanan yang menghiasi sepanjang jalan Champs-Élysées.Ia baru saja sampai ketika managernya datang. Juan melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Ada banyak hal yang membuatnya bahkan tak sempat meghela napas seharian itu. Dengan melihat pemandangan malam Paris, sedikit membuat stress kerjanya hilang."Kudengar kau menolak menjual gaun itu lagi, kali ini harganya sungguh fantastis. Apa kau tidak menyesal?"Julian berbalik, ia yakin yang barusan ia dengar bukanlah suara managernya. Ia menggeser kepalanya agak ke kanan. Seseorang

  • Forbidden Lover    Chapter 6: Orang Asing

    "Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana."Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana."Boleh paman duduk di sini?"Seseorang berpakaian serba hitam duduk di sam

  • Forbidden Lover    Chapter 7: Pertemuan Kembali

    Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b

Bab terbaru

  • Forbidden Lover    Chapter 53: Epilog (END)

    Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b

  • Forbidden Lover    Chapter 52: Good Bye My Love

    "Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me

  • Forbidden Lover    Chapter 51: Aku, Kamu dan Kita

    "Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.

  • Forbidden Lover    Chapter 50: Pilihan

    Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali

  • Forbidden Lover    Chapter 49: Bayangan Mengerikan

    "Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau

  • Forbidden Lover    Chapter 48: Keluarga

    "Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu

  • Forbidden Lover    Chapter 47: Seanzevy Atmadja

    Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta

  • Forbidden Lover    Chapter 46: Let's Make Love

    Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.

  • Forbidden Lover    Chapter 45: Hasrat

    Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men

DMCA.com Protection Status