Biru bening langit di luar, titik yang sama yang ia harap seseorang itu juga memperhatikannya. Hingga sejauh apa pun tempatnya sekarang, Ana berharap seseorang itu tetap sadar mereka pernah dinaungi langit yang sama.
"Kau yakin tidak punya keluarga," laki-laki berjas putih membuat Ana berpaling.
Warna jas yang serupa memenuhi hampir seluruh ruangan tempat Ana dan Dokter Ruin sekarang. Tirai tipis bergoyang entah mendapat sapuan angin dari mana. Ana tetap tak bersuara. Bukan sekali dua kali Dokter Ruin menanyai tentang itu dan jawaban Ana tetap sama. "Tidak." Tentu saja yang dicari Dokter Ruin bukan sebentuk Vanessa, makhluk kecil yang masih belum mengerti apa-apa soal CT-Scan dan Rontgen perut yang rumit. Pada akhirnya Ana yang harus mendengar penjelasan itu sendiri, mencernanya dan kemudian mengambil keputusan.
"Kami tidak bisa mengoperasimu," itulah inti dari segala penjelasan Dokter Ruin tentang betapa mengakar tumor di perutnya. Yang belakangan sering merenggut kenyamanannya.
"Kau harus dikemoterapi," lanjut Dokter Ruin.
"Aku tidak mau," tegas Ana. Soal ini juga sebenarnya sudah cukup jelas. Ana tak ingin rambutnya rontok dan perasaan mual semakin menggerogotinya. Dikemoterapi ataupun tidak, Dokter Ruin juga tak menjamin umurnya akan lebih panjang. "Aku ingin meninggal dalam keadaan cantik," cita-cita yang agak gila yang membuat Dokter Ruin tersenyum dalam kegetiran.
"Kau juga harus tinggal di rumah sakit dan menjalani perawatan di sini," Dokter itu terlihat mengiba. Dia kehabisan cara untuk membuat Ana menuruti kata-katanya.
"Aku masih sehat," jawab Ana sambil meraih tasnya, dia berdiri.
"Apa kau khawatir soal pembiayaan? Aku akan mengusahakan kau mendapat jaminan kesehatan, jika perlu aku sendiri yang akan membiayai perawatanmu."
Ana sudah sempat berbalik ketika ia harus memandangi wajah Dokter itu lagi, "Apa aku terlihat sedang memikirkan uang?" ucap Ana.
Ana sadar jawabannya akan membuat perasaan Dokter yang dua tahun lebih tua darinya tidak nyaman. Tapi, dia sendiri tak mengerti apa yang diucapkannya. Tidak ada bedanya ketika kemudian harus mati, tidak akan ada yang menangisinya, Vanessa juga tidak, setidaknya gadis mungil itu belum mengerti apa-apa. Hanya saja, tidak bisa bohong kalau ketakutan menyusup diam-diam di setiap malam. Ana takut tidur di malam hari, takut jika kemudian tak terbangun lagi. Rasa sakit yang luar biasa juga harus ditanggungnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang menegakkan tubuhnya saat dia terjatuh dan tidak ada yang bisa diajak bicara saat ketakutan itu menghampirinya.
Hampir pukul sebelas saat Ana keluar dari rumah sakit. Ana berniat ke taman depan SMA Bunda Pertiwi, taman yang juga dekat dengan taman kanak-kanak tempat Vanessa belajar. Setengah jam pertemuan mereka, dirasa Ana sangat berarti sebelum ayah Vanessa, mantan suaminya, menjemput anak itu. Tapi, hari ini agaknya tidak bisa. Sakit di perutnya menghantam lagi. Rasa sakit yang membuat lututnya tertekuk, dia kesulitan hanya untuk menegakkan bandannya. Perempuan itu meringis. Jalan di depannya mulai buram dan ia merasa mual.
"Kakak!" lirihnya. Ana pingsan. Dan dalam keadaan setengah sadar, ia merasa kereta tempat tubuhnya terbaring bergerak cepat. Dokter Ruin seperti meneriakkan sesuatu, orang itu panik, tapi Ana tak bisa berbuat apa-apa.
[...
Aku menganggapnya anjing peliharaan ayahku saja, yang mengangguk pasrah saat ayah memerintahnya. Aku ingat pertama kali melihatnya, di suatu siang di ruang tengah rumah kami, aku melompat ke pangkuan ayah dan kuminta ayah mengomentari lukisan yang kubuat di sekolah. Orang itu berdiri sambil menunduk, dia sudah seperti berandalan sejak pertama datang ke rumah kami. Entahlah, waktu itu aku belum mengerti apa-apa. Yang kutahu dia tinggal di rumah kami untuk waktu yang sangat lama. Hanya saja kami tak pernah bicara. Hingga suatu hari, ketika ayah meninggalkanku, dalam batas bumi aku tak bisa memintanya kembali, pertama kalinya aku merasa ayah begitu kejam. Hujan di bulan April yang mestinya tidak ada. Ketika mereka yang berpakaian hitam berlalu begitu saja, aku merasa sendiri di tengah kabut abu-abu pekuburan dan dalam hidupku. Aku tak punya siapa pun selain ayah dan ayah tak punya siapa pun selain aku.
Tapi, orang ini menggenggam bahuku dan berkata, "Sudah! ayo, kita pulang!", itu pertama kalinya kudengar dia bicara padaku. Belakangan aku tahu ada nama Segovia di belakang namanya. Nama yang sama yang juga ada di belakang namaku. Orang-orang memanggilnya Julian, Julian Andreas Segovia.
"Kau harus berhati-hati padanya," ungkapan itu yang kuingat saat Julian memecat semua pembantu di rumah kami. Kupikir ayah orang yang sangat kaya, dan orang yang diangkat ayah entah dari sudut gelap mana, yang telah berada di kartu keluarga Segovia sebagai anak pertama, akan memanfaatkanku sekarang. Dia berpura-pura menjadi kakakku, sebelum menjerumuskanku pada siksaan dunia dan mengambil semua harta ayah. Ya, itu asumsi semua orang dan aku tidak peduli. Aku justru bersyukur jika saja Julian mau membunuhku saat itu. Tapi, dia justru berkata, "Jika kau perlu sesuatu, katakan padaku!" itu menjadikan dirinya sendiri sebenar-benarnya pembantu, pesuruhku dan kubilang anjing peliharaanku yang tetap kuwaspadai kalau-kalau suatu hari ia akan menggigitku. Dia memasakkan makanan layaknya seorang ibu, memberiku uang saku layaknya seorang ayah, mengantarku ke sekolah layaknya seorang kakak dan mencuci pakaianku layaknya seorang pembantu.
Aku selalu terkejut ketika melihatnya di depan gerbang sekolah. Menungguku hampir empat jam saat gagak mulai melantunkan suaranya di antara garis jingga dan malam sebentar lagi datang. Sudah kubilang agar dia tak usah lagi menungguku, tapi dia tetap melakukannya. Itu membuatku jengkel dan enggan bicara padanya. Kulewatkan dia tanpa mengatakan apa-apa dan dia berjalan di belakangku hingga kami sampai di rumah. Itu terus ia lakukan sampai seseorang datang dan bilang akan menyita seluruh harta ayah. Julian sepertinya tak terlalu terkejut, sebuah alasan kenapa ia memecat semua pembantu adalah karena keuangan kami dan kebangkrutan usaha ayah. Kemerosotan yang dimulai jauh sebelum ayah meninggal.
"Mulai sekarang aku akan bekerja paruh waktu, dan kamu belajarlah dengan baik!" katanya.
Tidakkah yang keluar dari mulut Julian hanya yang penting-penting saja. Dia tak pernah menatapku saat bicara dan selalu dengan tiba-tiba hingga kadang membuatku terkejut. Aku diam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Rasanya cukup canggung menghadapi Julian. Bagiku dia tetap orang lain, laki-laki dari gen yang berbeda. Saat ayah tidak ada, sudut mana yang bisa meyakinkan bahwa kami saudara.
"Apa yang harus kulakukan?" Aku, gadis enam belas tahun tinggal di rumah yang kini kosong dari perabotan, di depan rumah peninggalan ayahku tertempel segel dari pengadilan. Sebentar lagi rumah itu pasti akan dilelang. Julian, aku tak tahu kapan mulai berpikir dia yang dari jalanan. Jika sekali lagi harus hidup di jalanan, pastinya tidak akan terlalu berat. Apa perlu kukatakan padanya, "Kau pergi saja! Jangan pedulikan aku!" Karena aku juga tak boleh egois terhadap hidupnya untuk mengurusiku.
Tapi, aku diam saja. Membiarkan Julian melakukan apa pun yang ia mau. Toh dia mencari uang juga untukku sekolah, untuk kami makan, dan membayar sewa kamarku yang hanya 4x4 meter, sementara dia tidur di teras.
"Aku akan terus bekerja sampai kudapatkan kembali rumah ayah!" katanya suatu waktu yang justru membuatku tak tenang. Aku tak ingin dia berusaha terlalu keras untuk itu. Julian selalu saja membuatku khawatir jika ia harus kerja lembur. Kukira aku hanya bisa tenang dan merasa aman saat dia ada di dekatku, walau tak bicara, dan itu yang kuinginkan. Aku, yang merasa mati saat ayah tak ada. Perlahan merasa seperti puteri yang berarti keberadaannya, walau setiap hari harus melewati gang sempit becek dan dengan pakaian lusuhku. Ada yang berusaha menghidupiku dengan kerja kerasnya di luar sana. Aku, yang pernah menyesali kehidupan yang berubah drastis, merasa ingin kehidupanku sekarang tetap seperti sekarang, bersama Julian dan hidup seadanya. Aku, ada yang membutakan mataku tentang orang yang harusnya kusebut dia 'Kakak', dialah cinta. Julian, cinta pertamaku.
...]
Plafon keabu-abuan, membuat Ana kecewa ketika sekali lagi terbangun. Sementara di luar, garis jingga membentang indah di langit. Ana cukup akrab dengan semua itu. Tempat yang pagi tadi coba ditinggalkannya, namun tak lama menariknya kembali dalam ketidaksadaran.
"Sudah bangun?"
Ana enggan berpaling. Matahari bulat besar di balik jendela kaca bening rumah sakit menjadi perhatiannya.
"Ya," jawab Ana seadanya.
Dokter Ruin merangkul bahu Ana. "Cobalah sekali-kali menurut. Tidak ada salahnya," katanya.
Ana diam sambil memperhatikan Dokter Ruin. Dokter yang khusus menangani dirinya, sudah hampir setahun. Yang dikatakan Dokter Ruin tentang dirinya yang tak penurut, Ana juga tak bisa mengerti kenapa ia bersikap seperti itu. Hanya tinggal di ruangan seluas 4x6 meter dan membiarkan orang mengobatinya, bukankah itu lebih mudah. Dibanding harus merepotkan orang lain setiap kali ia pingsan di tengah jalan. Untungnya tidak pernah pingsan dihadapan...
"Vanessa," sebut Ana. "Apa ayahnya menjemputnya tepat waktu?"
Doter Ruin tersenyum, "Ya, tadi aku menelpon Nara."
"Dokter bilang padanya aku pingsan lagi?"
"Aku hanya bilang kalau kau tidak bisa menjemput Vanessa."
Ana mengecek ponselnya, lima panggilan tak terjawab dari Nara, mantan suaminya. "Karena Dokter yang bilang, dia pasti berpikir aku pingsan lagi," keluhnya. "Apa dia akan kemari?"
"Tadinya iya. Tapi, kubilang kau sudah tidak apa-apa."
"Baguslah."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin dia membawa Vanessa menemuiku di rumah sakit."
"Aku heran kenapa kalian bercerai. Padahal, sepertinya Nara masih perhatian banget sama kamu."
Ana menyorotkan pandangan curiga pada Dokter Ruin, ia pikir laki-laki itu terlalu suka mengulang pertanyaan yang sama.
Dan seperti biasa, Ana enggan menjawabnya.
[..."Apa kau menyukainya?"Aku berpaling melihatnya. Dia bertanya dengan senyum simpul terukir di bibirnya. Saat itu, aku tahu aku telah jatuh cinta pada orang yang duduk di sampingku. Dia terlalu indah untuk tak dirindukan. Saat di hadapan orang lain, caranya berdiri, berjalan, dan menatap orang lain, tak ubah seperti berandalan. Ia acuh dan dingin. Namun, saat bersamaku, entah kenapa yang kulihat hanya kebijaksanaan. Sikapnya saat bersamaku, seakan hanya untuk melindungiku, bukan waspada terhadapku. Aku suka caranya menyandarkan punggungnya, juga caranya menyilangkan kaki saat duduk, semua terlihat anggun. Tapi, caranya memandangku, aku tak tahu. Dia buru-buru mengalihkan matanya saat tak sengaja kami bertemu pandang. Selalu seperti itu, seperti takut untuk melihatku.
"Apa pentingnya isi hatiku bagi orang lain?"Selalu terpikir bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar ingin tahu isi hatinya. Pertanyaan, "Bagaimana perasaanmu?" Bagi Ana hanya sebagai formalitas saja. Cara supaya orang terlihat perhatian dan peduli. Sementara Ana yakin tidak ada yang peduli padanya. Makanya Ana selalu diam saat ada orang yang bertanya soal itu. Peduli Dokter Ruin, atau Nara.Ana, seperti tembok yang semakin hari semakin meninggi, tak berpintu dan semakin tebal. Bahkan suara pun pelan-pelan tak akan mampu menembusnya. Setelah Julian pergi, hatinya seperti diselimuti badai kutub, pelan-pelan membeku menuju salju abadi."Bagaimana perasaanmu?" sekali lagi Dokter Ruin bertanya.Ana yang berdiri menghadap jendela diam
Ana menghela napas, ada perasaan bersalah merangkulnya jika saja ia menyendok makanan berkuah di hadapannya. Entah kenapa kata-kata Dokter Ruin menjadi penting pada moment-moment itu. "Pikirkan tentang Vanessa!" Kata-kata itu seperti satu-satunya senjata bagi Dokter Ruin agar Ana patuh. Dokter muda itu telah menuliskan daftar menu makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Ana. Dan tentu saja Ana mengabaikannya. Anehnya, "tentang Vanessa" yang selalu menjadi penutup pembicaraan mereka, Ana menjadi tahu semua hal yang baik dan yang akan memperburuk keadaannya. Mungkin tak semua pengetahuan tentang bagaimana ia harus bertahan hidup ia pelajari dari Dokter Ruin, ada lebih banyak pengalaman yang membuatnya merasakan sakit dan akhirnya membuatnya jera."Aku telah banyak berpikir tentang ini," lirihnya. Bukankah cepat atau lambat akan sama saja. "Aku akan mati juga," pikir Ana seraya meny
"Ada apa?"Julian tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Dari sana ia bisa melihat Paris malam hari, indah dengan cahaya jingga lampu jalanan yang menghiasi sepanjang jalan Champs-Élysées.Ia baru saja sampai ketika managernya datang. Juan melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Ada banyak hal yang membuatnya bahkan tak sempat meghela napas seharian itu. Dengan melihat pemandangan malam Paris, sedikit membuat stress kerjanya hilang."Kudengar kau menolak menjual gaun itu lagi, kali ini harganya sungguh fantastis. Apa kau tidak menyesal?"Julian berbalik, ia yakin yang barusan ia dengar bukanlah suara managernya. Ia menggeser kepalanya agak ke kanan. Seseorang
"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana."Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana."Boleh paman duduk di sini?"Seseorang berpakaian serba hitam duduk di sam
Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b
Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men