"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana.
"Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.
Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.
Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana.
"Boleh paman duduk di sini?"
Seseorang berpakaian serba hitam duduk di samping Vanessa. Sontak membuat Vanessa terkejut, tapi laki-laki itu membawakan semangkuk besar apa yang ia mau.
"Syukurlah kau datang!" Ana yang sedari tadi asyik mengacak-acak tasnya mengira itu adalah Nara. Hanya saja suaranya agak berbeda, dan "paman"? Ana menengadahkan kepalanya.
Laki-laki dengan celana denim, kemeja, dan blezzer hitam. Ya. Seseorang ini memang amat menyukai warna hitam. Dia juga suka menyembunyikan sudut matanya yang tajam dibalik rambutnya yang agak panjang dan terkuncir setengah. Seketika angin bertiup cukup kencang, helayan rambutnya tersibak dan wajahnya terlihat jelas.
"Bagaimana? Kau suka?" Sekali lagi laki-laki itu bertanya pada Vanessa.
Ana mengalihkan pandangannya pada Vanessa. Berharap gadis kecil itu mampu menyadarkannya dari mimpi yang panjang. Bahwa yang ia lihat kali ini hanyalah bayangan kerinduan yang dalam. Ana ingin semuanya kembali seperti biasa, di mana hanya ada dia dan Vanessa di café terbuka itu.
Dan sekali lagi Ana menggeser pandangannya, bayangan itu masih berada di tempatnya. Dengan mata berbinar dan senyum yang melebar. Namun, senyum itu berubah saat laki-laki yang ia sebut bayangan kerinduan, balik menatapnya. Senyum Julian seperti tertahan, dan laki-laki itu ragu untuk menatap Ana lebih lama.
"Bagaimana kabarmu? Lama tidak bertemu!" ucap Julian.
Ana tak menjawab. Ia terus meratapi Julian. Ana tak tahu bagaimana caranya menghadapi Julian. Ada perasaan kecewa dan marah mengingat Julian yang menghilang begitu saja dan hari ini muncul tiba-tiba. Orang seperti itu, apakah pantas untuk dirindukan kehadirannya?
"Mama!"
Ana tersentak. Gadis kecil itu ternyata bereaksi karena kehadiran Nara. Nara yang berjalan menghampiri mereka.
Langkah Nara melambat sambil memperhatikan laki-laki di sebelah Vanessa. Pada akhirnya ia pun tersenyum, "Julian!" sebutnya nyaring.
Julian berdiri. Nara langsung memeluknya saat itu. "Sudah lama sekali, kemana aja?"
"Eh...," Julian tampak ragu untuk menjawab. Sesekali ia menoleh ke Ana yang berdiri di sampingnya. Seakan-akan Analah yang membuat ia tak leluasa untuk berbicara tentang dirinya.
"Kapan datang?"
"Baru saja."
"Nginap di mana? Nginap di rumah kami ya!" Nara yang amat bersemangat.
Ana mengerutkan keningnya, mengisyaratkan sesuatu pada Nara agar tak melakukan hal yang membuat kebenaran tentang perceraian mereka terungkap di hadapan Julian.
"Tidak usah. Aku tinggal di hotel dekat bandara."
"Kau seharusnya tidak perlu tinggal di hotel," ucap Nara sambil melirik pada Ana. Nara sadar, Julian akan sangat kecewa ketika mendengar Ana bukan istrinya lagi. Karena Julianlah yang memperjuangkan benar hubungan mereka. Tapi, Nara juga berusaha agar Ana mengerti bagaimana seharusnya memperlakukan satu-satunya keluarganya. Atau Ana sudah memutuskan untuk tidak membebani Julian. Setelah enam tahun, baru saja mereka bertemu lagi. Mungkin jika kali ini Julian pergi lagi, dua belas tahun kemudian baru mereka akan bertemu kembali. Terlebih untuk Ana, sangat mungkin mereka tidak akan bertemu untuk selamanya. Dan untuk itu, Nara bersedia saja jika Ana ingin bersandiwara bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Walaupun sulit untuk tidak jujur, jika saja Julian bertanya bagaimana sebenarnya keadaan Ana.
"Ok. Waktu istirahat makan siang sudah hampir habis. Aku ke sini hanya ingin menjemput Vanessa dan kukira aku akan meninggalkan kalian berdua," Nara memperhatikan jamnya. "Sayang!" sebut Nara sambil memandang Ana, "sampai jumpa di rumah!" Dan "Julian! Kutunggu kau di rumah! Jangan lupa!"
Ana tersenyum getir, ungkapan "sayang" itu, ia kira terlalu berlebihan.
"Aku senang keluargamu baik-baik saja. Dan Vanessa...," Julian tak yakin ia mengucapkan nama yang benar.
"Ya. Vanessa," tegas Ana.
"Dia lebih manis dari ibunya," senyum Julian melebar. Ia ingat, sehari lalu jiwanya seperti tertarik tak tentu arah. Ada rasa sakit dan kekhawatiran yang memuncak yang membuat kakinya kembali berpijak di Indonesia. Itu karena Ana. "Aku senang kau baik-baik saja!" ucapnya dalam hati. "Mau makan sesuatu?" kata Julian lagi.
Ana diam saja sambil memperhatikan Julian. Butuh waktu untuk membuatnya yakin ini bukanlah mimpi, suatu saat dia terbangun dan mimpi itu menghilang. Saat ini, Ana merasa sedang dipermainkan oleh Tuhan. Ana tak pernah mengerti kenapa Julian enam tahun lalu pergi diam-diam dan sekarang tiba-tiba datang dengan alasan yang juga tak bisa dimengerti Ana. Julian, yang sebenarnya bukan orang asing, tapi hari itu Ana ingin bertanya "siapa kau?" Julian yang hari itu duduk bersamanya, tapi Ana merasa tak bisa menggapainya. Sekadar untuk mengatakan sesuatu, amatlah sulit.
"Tidak ada yang ingin kau bicarakan denganku?"
Ana tetap diam. Bahkan hingga dua puluh menit kemudian dan makanan yang dipesan Julian sudah tersaji di hadapan mereka.
"Ayolah! Setidaknya temani aku makan. Aku sangat lapar," Julian tampak memohon.
"Makan?" Ana ingin meneriakkannya. Perutnya bahkan mual, bagaimana mungkin ia bisa makan. Dan Ana terlalu muak dengan sikap Julian yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Ana beranjak dari tempat duduknya sambil menarik tasnya. Ia sudah tak tahan berada di sana. Air matanya menetes setelah itu.
Namun, Julian menarik tangan Ana.
Saat Ana berbalik, satu tamparan mendarat di pipi Julian.
"Kau bukan keluarga kami lagi!" ucap Ana.
Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b
Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men