"Ada apa?"
Julian tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Dari sana ia bisa melihat Paris malam hari, indah dengan cahaya jingga lampu jalanan yang menghiasi sepanjang jalan Champs-Élysées.
Ia baru saja sampai ketika managernya datang. Juan melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Ada banyak hal yang membuatnya bahkan tak sempat meghela napas seharian itu. Dengan melihat pemandangan malam Paris, sedikit membuat stress kerjanya hilang.
"Kudengar kau menolak menjual gaun itu lagi, kali ini harganya sungguh fantastis. Apa kau tidak menyesal?"
Julian berbalik, ia yakin yang barusan ia dengar bukanlah suara managernya. Ia menggeser kepalanya agak ke kanan. Seseorang yang berada di belakang managernya, wanita berponi dengan rambut panjangnya yang hitam dan lurus. Berdiri di atas stiletto hitam setinggi tak kurang 10 cm. Julian tersenyum kemudian, tak mengerti dari mana wanita itu datang dengan pakaian yang tidak menutup dua per tiga pahanya hingga ke bawah. Bahu wanita itu juga akan terlihat jika ia tak melingkarkan pundaknya dengan mantel bulu berwarna abu-abu.
Dengan langkah anggun wanita itu mendekati Julian dan langsung menarik kerah baju Julian, membuat tubuh mereka saling merapat.
Wanita itu berada di bawah pengawasan Julian. Segala bentuk kegelisahan yang ia tangkap dari sikap Isabel saat itu. "Ini agak kasar," pikirnya ketika Isabel menarik kerah bajunya dan mencium bibirnya. Julian mulai berpikir bahwa ini salahnya yang seakan lupa pada Isabel, tidak menemui wanita itu selama seminggu. Mereka hanya bisa bicara di telepon dan itu pun sekilas saja. Ada kemarahan dan keputusasaan yang dirasakan Julian dari sikap Isabel saat itu, namun ada lebih banyak cinta dan kerinduan yang bisa dirasakannya.
"Pergilah!" Julian mengisyaratkan itu pada managernya.
Kali ini Julian akan membiarkan Isabel memuaskan hasratnya. Julian tak tahu, entah sejak kapan Isabel seperti adiksi untuk berada di dekatnya. Wajahnya akan memucat, dan denyut nadinya akan meningkat saat keinginannya bertemu Julian tak terpenuhi. Dia akan membuat masalah pada siapa pun saat berada pada kondisi itu. Sebenarnya Isabel wanita terangkuh yang pernah Julian temui, bahkan sejak pertemuan pertama mereka di Julian d'Art. Isabel datang sebagai pelanggan. Dari penampilan Isabel waktu itu, Julian sudah mengira dia orang yang berpengalaman soal fashion, dan seleranya sangat tinggi. Dia seorang model. Wanita berdarah setengah German, ayahnya seorang Indonesia. Julian pernah bertemu orang tua Isabel beberapa kali.
Tak lama Isabel melemahkan genggamannya pada Julian, ada raut kesedihan di wajahnya. Matanya memerah. Ia menatap Julian sejenak. Pandangan itu perlahan turun menyusuri dada Julian. Isabel mulai membuka satu per satu kancing kemeja Julian dengan tangan gemetar.
Julian diam saja. Wanita yang jatuh cinta, akan menyerahkan segala yang ia punya pada laki-laki yang ia cintai. Ini Paris, sudah enam tahun ia tinggal di sana, tapi Julian tak begitu memahami konsep itu. Ini Paris, dan mungkin hanya Isabel wanita yang tidak menyimpan pengaman di tas tangannya. "Aku percaya padamu," setidaknya itulah yang dikatakan ayah Isabel pada Julian. Itu tak sesederhana kedengarannya. Orang tua itu pasti mencekoki hal yang sama pada Isabel, tapi mereka akan mengatakan hal yang lebih gamblang untuk tak tidur dengan pria manapun sebelum menikah.
Tapi, apakah Isabel sudah tak tahan dengan hasratnya atau dia terlalu marah dengan Julian. Julian menahan tangan Isabel, saat Isabel mulai membuka ikat pinggang Julian.
"Sebegitu tidak berhargakah aku?" Isabel tersenyum getir.
Sudah lama Isabel ingin mengatakannya. Atau lebih tepat ingin bertanya. Tapi, ia terlalu takut untuk melihat kenyataan yang tak sesuai dengan harapannya. Bahwa Julian sama sekali tidak menginginkannya, Julian tidak mencintainya.
Isabel gelisah, ia cepat-cepat menarik mantel bulunya yang tergeletak di lantai dan menarik tas tangannya. Ia ingin segera pergi. Ia takut jika Julian mengatakan tentang perpisahan, dan itu sebuah kejujuran.
Tapi, Julian menarik tangan wanita itu. Julian melingkarkan tangannya ke pinggang Isabel, memeluk gadis itu dari belakang. Julian mencoba meresapi apa yang terjadi saat itu. Ketenangan yang coba ia rasakan, saat aroma parfum Isabel menyentuh saraf-saraf di hidungnya, dan seperti sedative mulai menenangkan pikirannya. Helayan rambut gadis itu yang lembut, serta kehangatan yang ia rasakan, untuk selanjutnya Julian berharap Isabel bisa menjadi orang yang mampu membuatnya tertidur dengan lelap, mampu membasuh rasa sakit yang pernah ia rasakan dan mampu meramaikan hidupnya yang sepi.
"Katakan pada ayahmu, bulan depan kita akan menikah," katanya.
Dengan Mrs. Alena, wanita berdarah asli Perancis, tidak banyak yang bisa dibicarakan Julian pada perempuan itu. Hanya beberapa hal yang bisa dikatakan Mrs. Alena dengan bahasa Inggris, dan hanya beberapa kata bahasa Indonesia yang bisa dimengerti oleh perempuan itu. Biar begitu, Mrs. Alena menjadi sangat penting buat Julian untuk menterjemahkan kata-kata dalam bahasa Perancis yang rumit.
Selain itu, "Ini agak memalukan," Julian menghembuskan napas panjang dari mulutnya. Ia pikir ia seharusnya membiarkan Mrs. Alena pulang lebih cepat sehingga tak menemukan hal seperti tadi malam. Julian menyadari, ada yang beda dari senyum wanita itu dan Julian tak ingin melihatnya. Julian menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Mrs. Alena menyapanya. Julian hanya melebarkan senyum sebagai jawaban atas sapaan hangat dari wanita berusia empat puluhan tahun yang telah dua tahun menjadi managernya. Wanita itu juga yang akan mengurus butik jika Julian tidak ada. Butik yang lebih seperti tempat tinggal buat Julian.
Tapi, baru satu langkah Julian melewati wanita itu, langkahnya terhenti.
Julian berbalik. Ia ingat ada sesuatu yang ingin dikataan wanita itu dan Julian belum mendengarnya. "Last nigh, did you want to talk about something?" tanyanya.
"About your dress, Sir...,"
"Oh, I know... I don't change my mind! Say thanks and sorry to Mr. Andrew, but I can't sell Le Reve to him. Now, I want to go to meet Mr. Jean, we will talk about new project at summer. Maybe until lunch," Julian berbalik dan melanjutkan langkahnya.
"Sorry, Sir! Once again," Mrs. Alena mengikuti Julian.
"Someone called you yesterday, but she didn't say her name. I guest she is your family from Indonesia. And..." kata Mrs. Alena lebih nyaring. Ia bahkan mempercepat langkahnya agar tak tertinggal jauh dari Julian.
Sejenak langkah Julian melambat. Entah apakah ia sudah mengatakan pada Mrs. Alena bahwa ia tak punya keluarga, meski itu di Indonesia. Kecuali...
"And what?" Kening Julian mengerut. Ada kekhawatiran yang besar yang kemudian menyergapnya.
"She said "Segovia" at the end of your name," Mrs. Alena tampak ragu.
Julian menarik napas dalam, namun napasnya tertahan. Ada kemarahan yang coba ia tahan ketika mendengar ucapan Mrs. Alena. Sesuatu yang seharusnya Mrs. Alena sampaikan secepatnya pada Julian.
Suara pintu mobil yang menutup terdengar lebih keras hari itu. Julian mencoba menenangkan diri di dalam mobil. "Ada sesuatu," pemikiran itu membuatnya gelisah. "Ana," nama yang muncul dalam ingatannya. Ingin ia ucapkan nama itu, tapi yang keluar hanyalah sebentuk desahan napas. Hanya dengan membayangkan nama itu saja, membuat darahnya memanas.
<>
[...
Sudah dua jam sejak terakhir kali Ana menghubunginya.
"Kakak!" Hanya kata itu yang sempat didengar Julian sebelum akhirnya pembicaraan mereka terputus. Julian balik menghubungi Ana, tapi tidak bisa. Ponsel Ana aktif tapi tak ada yang menyahut panggilannya.
Hari itu hujan turun dengan sangat deras. Julian masih belum berhenti berlari, menyusuri taman-taman kota yang sepi dan jalan-jalan sempit yang gelap. Hampir ia putus asa. Tidakkah Ana jarang sekali bicara padanya dan tak pernah meneleponnya sebelum ini. Julian tak punya bayangan kemana ia harus mencari Ana selain sekolah dan jalan-jalan yang biasa mereka lewati menuju kontrakan. "Ada sesuatu," segala hal buruk mulai bermunculan di benak Julian, ketakutan yang teramat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Bagaimana jika kali ini aku tidak bisa menemukanmu?" Tubuh Julian mulai bergetar. Sebelumnya, ia tak pernah protes jika saja Ana tak banyak bicara padanya. Asal gadis itu ada di hadapannya, itu cukup. Atau jika Ana memang ingin menghilang dari hadapannya, setidaknya Julian bisa mengintainya dari sudut yang tidak Ana sadari. Ya. sejauh ingatan Julian tentang Ana, bukan pertama kali Ana menghilang darinya, sesuatu yang dirasa Julian adalah cara gadis itu menghindarinya. Sesuatu yang membut Julian merasa Ana membencinya dan ingin jauh-jauh darinya.
Hanya saja kali ini berbeda, "Kakak!" Kata itu terus terngiang di telinga Julian. Ana memanggilnya, tak mengerti apa yang terjadi, Julian merasa Ana benar-benar membutuhkannya sekarang.
"Teriaklah! Teriaklah sekeras-kerasnya hingga aku bisa menemukanmu!" napas Julian tersengal.
"Kakak!"
Mata Julian melebar. Ia kira ia berada di teras sebuah gedung tua bekas pabrik kertas yang berada tak jauh dari sekolah Ana. Gedung itu pernah terbakar, terbukti dengan dinding dan tiang penyangganya yang menghitam.
Sesuatu hampir saja terinjak saat Julian mulai melangkah lagi. Sebuah ponsel berwarna pink. Julian mengambil benda itu. "Ana," sebutnya. Mengapa Ana tak menjawab panggilan di handphonenya mulai jelas di benak Julian. Julian segera masuk ke gedung tua, ia menemukan Ana dengan kedua tangan terikat. Baru saja seorang perempuan yang berseragam sama dengan Ana, menyiram Ana dengan seember air. Dan seorang lagi mulai menyodorkan belati ke wajah Ana. Menjambak rambut Ana dan mulai mengatakan hal-hal dengan nada mengancam. Ada dua orang lagi bersama mereka. Dua orang laki-laki yang Julian yakin bukan anak sekolahan.
"Berhenti! Atau kubunuh kalian!"
Pandangan Julian tertuju pada perempuan yang menyodorkan belati pada Ana. Julian tak ingin membayangkan jika saja belati itu menggores wajah Ana. Atau bahkan lebih buruk.
"Hetikan dia!" Perempuan berambut pendek dan memegang belati berteriak. Mungkin dia merasa terancam saat itu.
Dua orang berandalan melayangkan balok besar ke arah Julian. Julian menahannya, mengambil alih balok itu dan melayangkannya pada dua berandalan. Hanya cukup lima detik untuk menjatuhkan dua anak muda yang menurut Julian sangat tidak berpengalaman itu. Tidak banyak yang tahu, bahkan Ana pun tidak, apa yang menyebabkan Julian menyandang nama Segovia dan dari mana ayah Ana memungut Julian. Berkelahi bukan hal yang asing buat Julian. Dia yatim piatu yang kemudian dididik sebagai seorang petarung untuk kemudian dipekerjakan sebagai bodyguard. "Saya akan menjadikan tubuh saya sebagai tameng untuk melindungi Anda, Tuan!" Pernah suatu kali Julian mengatakan itu pada Segovia dan ia membuktikannya. Segovia, pengusaha terkenal selamat dari percobaan pembunuhan. Dan untuk itu, Julian meregang nyawa dengan tiga luka tembak di dadanya.
"Kau hanya seorang bodyguard sewaan. Apa kau tahu itu?"
Julian diam saja.
Segovia tertawa kecil. Ada seorang yang ia anggap hanya anak kecil berdiri di hadapannya. Anak yang baru saja keluar dari rumah sakit dengan luka bedah di dadanya. Luka yang membuat rusuknya terpaksa dibelah dan dirapatkan kembali. Anak itu mencoba tetap berdiri tegak, tanpa seorang pun tahu, bahkan untuk bernapas saja luka itu terasa sangat sakit.
"Apa menurutmu nyawamu pantas dipertaruhkan?"
Sekali lagi Julian diam. Ia sama sekali tak bisa menjawabnya. Mempertaruhkan nyawa atau diam saja, menurutnya adalah hal yang sama. Tidak ada alasan yang membuatnya merasa hidupnya berarti untuk dipertahankan.
"Kuberi kau identitas, rumah, dan semua harta yang kupunya. Sebagai gantinya, lindungi keluargaku," kata Segovia. Saat itu juga, Julian melihat gadis kecil naik ke pangkuan Segovia. Memperlihatkan sebuah lukisan yang dibuatnya. Gadis kecil itu memanggil Segovia dengan sebutan "Ayah."
Hanya butuh sepuluh detik untuk membuat belati ada di tangan Julian, dan ia balik mengancam gadis yang sudah menyakiti Ana.
"Katakan padaku apa rasanya jika belati ini menggores wajahmu?" desah Julian.
Hampir saja Julian melakukannya, tapi ia urung melakukannya. Ia sudah hafal bagaimana dendam dan balas dendam membuat hidup seorang tidak tenang. Dan Julian ingin membuat hidup Ana tanpa beban.
Julian berbalik, mendekati Ana yang hampir saja tidak sadarkan diri. Ada luka lebam di wajahnya dan tubuhnya basah kuyup. Julian melingkarkan tangan kanannya ke pinggang Ana. Sekadar menahan tubuh Ana agar tak terjatuh saat ia membuka ikatan di tangan Ana yang merentang.
"Awas, Kak!" teriak Ana tiba-tiba.
Julian berhasil menghindar dari seseorang yang mencoba menyerangnya. Julian melepaskan Ana, dan berbalik menghajar orang yang mencoba menyerangnya itu. Tapi, sesuatu yang lebih buruk terjadi. Balok kayu besar jatuh dan sebagaian atap bangunan itu runtuh mengenai Julian. Julian masih memikirkan Ana dalam posisi terjepit di reruntuhan. Ia tidak apa-apa. Ia segera menyingkirkan balok-balok besar yang membuatnya tak bisa bergerak. Hanya saja, Julian dibuat lebih terkejut ketika sadar tangan Ana melingkar di lehernya. Ia ingat, seseorang telah mendorong tubuhnya hingga terjatuh dan kemudian dengan cepat bangunan itu runtuh. Balok besar yang seharunya mengenai tubuhnya, terhalang oleh tubuh Ana.
"Kenapa kamu lakuin itu?" Julian mulai berpikir bahwa Ana tak benar-benar membencinya.
"Kenapa? Bukannya kamu juga akan ngelakuin hal yang sama? Hidup kita sama tak berartinya," jawab Ana ketika Julian benar-benar menanyakan kenapa Ana kenapa ia membahayakan dirinya untuk Julian.
Julian mulai berpikir. Tidak salah jika hal itu dijadikan alasan. Tapi, semakin lama Julian berpikir tentang alasannya yang ingin melindungi Ana. Rasanya tak sesederhana karena hidupnya tak berarti. Dan kemudian jika ia mati, maka selesailah tugasnya. Tapi, tidak. Kali ini ia ingin hidup lebih lama untuk melindungi Ana. Gadis itu, yang ia lihat sebagai orang yang paling disayangi Segovia, pada mulanya hanya anak kecil yang manis dan tentunya tak berdaya jika Segovia tidak ada. Karena itu ayah Ana meminta Julian melindungi Ana. Sepanjang waktu berharap Julian mengawasi Ana diam-diam. Bertahun-tahun berlalu, Ana tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik. Rambutnya hitam, tergerai panjang hingga ke punggung, kulitnya putih dan bibirnya merekah. Gadis ini sangat angkuh, ia tak sadar keangkuhannya membuat banyak laki-laki yang penasaran dan ingin mengganggunya. Terlebih karena rok yang hanya menutup sepertiga pahanya dan Ana seringkali sengaja membuka dua kancing teratas seragamnya untuk alasan fashion. Satu hal yang membuat Julian tak tahan, pandangan Ana yang tajam dan membuatnya gugup. Tak akan bertahan dua detik, saat pandangan mereka bertemu. Julian akan menghindari tatapan mata itu. Ada perasaan sakit ketika merasa tak pantas menengadahkan kepala dan memandang Ana, karena seperti kata Ana, dirinya hanyalah anjing peliharaan ayahnya.
...]
<>
Julian benar-benar tenggelam dalam lamunannya, perasaannya ternyata masih tetap sama padahal sudah enam tahun ia menjauh dari Ana. Ia sempat tersentak saat ponselnya berbunyi. Buru-buru Julian mengangkat ponselnya. Ia lupa bahwa ia ada di Paris sekarang. Dan tidak mungkin itu Ana. Benar saja, Julian kecewa ketika mendengar itu suara laki-laki, Mr. Jean yang mengatakan bahwa ia sudah di café dan bertanya kapan Julian akan sampai.
Matahari memang meninggi, tapi sinarnya tak menyengat ke kulit Julian. Hanya matanya yang dibuat silau oleh cahaya itu. Julian memasang kaca mata hitamnya. Ia berjalan di sepanjang pinggiran sungai, menuju café yang dimaksud Mr. Jean. Julian ragu café itulah yang benar-benar ingin ia datangi, tujuannya telah berubah sejak membayangkan soal Ana. Julian mulai melihat-lihat sekelilingnya, seperti mencari sesuatu. Namun, Julian sendiri tak ingin orang yang dicarinya itu menyadari kehadirannya sehingga ia menyembunyikan dirinya di balik kaca mata hitam. Julian seakan kembali seperti dirinya yang masih berusia belasan dan ada Ana di sana.
Tapi, sekali lagi ini adalah Paris. Jarang sekali orang berambut hitam dengan perawakan agak kecil ada di sana. Tapi, Julian ingin terus mencari. Ia tak akan tenang sampai menemukan sesuatu yang ia cari itu.
"Kau sudah sampai?"
Mr. Jean menyalami Julian. Terpaksa Julian duduk di tempat yang katanya disediakan untuknya. Untuk selanjutnya, Julian berperan sebagai pendengar yang baik. Tapi, tidakkah ia hanya seperti raga yang kehilangan jiwanya, tatapannya kosong dan ia kehilangan kata untuk diucapkan. Sampai akhirnya Mr. Jean bertanya," apa kau baik-baik saja?"
Julian tidak segera menjawab, ia sedikit tersenyum, "boleh aku permisi sebentar," Julian mengisyaratkan ada seseorang yang harus ia hubungi dan ia perlu beranjak dari tempat dudukya.
"Ok," sahut Mr. Jean.
Julian mencari tempat di mana sangat sedikit suara yang bisa mengganggunya. "Cancel all of my schedule this week, I will go to Indonesia," katanya pada managernya. Julian merasa Ana membutuhkannya sekarang.
"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana."Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana."Boleh paman duduk di sini?"Seseorang berpakaian serba hitam duduk di sam
Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b
Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men