Keesokan harinya,
Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya.
"Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah.
"Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin.
"Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginkan seperti itu. Percaya atau tidak, kami bahkan bersandiwara bahwa rumah tangga kami baik-baik saja. Dan aku berani bertaruh hidup, sampai sekarang Julian tak tahu kalau Ana sakit. Setidaknya Julian akan menghajarku jika ia tahu," sekali lagi Nara menghembuskan napas payah. Ia terlalu takut membayangkan yang terjadi setelah ini. "Lagi pula aku yakin kau akan bersikap sama denganku, soal Julian dan Ana, aku bisa merasakan ada cinta di antara mereka, hanya saja cinta mereka terlarang."
"Tidak," Ruin menyela. "Aku tidak akan bersikap sama denganmu, jika mengatakan kebenaran lebih baik untuk Ana, aku akan mengatakannya."
Dokter Ruin berbalik pergi. Nara mengiringinya dengan pandangan heran, "Kenapa begitu?" tanggapnya. "Kau cemburu ya?" Nara dengan sedikit meledek.
Tidak lama ponsel Nara berbunyi, satu nomor yang tak dikenalnya, "Hallo!"
"Ini aku, Julian!"
"Oh, ada apa?"
"Hari ini... aku akan mengajak Ana dan Vanessa jalan-jalan."
Sejenak Nara tak bersuara, "Kakak," sebutnya datar. "Kau tak perlu meminta izinku untuk ini," lanjut Nara.
Kening Julian mengerut. Ia tak terlalu mengerti apa yang dikatakan Nara, "Baiklah!" ucap Julian sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.
Nara yang masih mengintai dari atas balkon, merasa terluka sendiri melihat Ana begitu berusaha menutupi masalahnya di depan Julian. Tapi, jika diam adalah pilihan Ana dan membuatnya lebih bahagia, maka berbeda dengan Dokter Ruin, Nara tidak akan mengatakannya.
"Kau sudah hubungi Nara?" tanya Ana.
"Ya."
"Lalu? Apa katanya?"
Julian menaikan dua bahunya, "Dia bilang aku tak perlu minta izin untuk ini. Jadi, kita akan jalan-jalan!"
Senyum Ana melebar, "Kita akan kemana?"
Julian mulai berpikir. "Apa tidak sebaiknya tuan rumah yang menentukan," Julian mencoba memberi ide.
Mata Ana berbinar, "Ke pantai!" katanya dengan semangat.
"Setuju!"
Apa Julian sudah pernah mengatakannya, menjaga Ana, seperti menjaga harimau jantan. Dia liar dan punya otoritas sendiri terhadap dirinya. Anak ini tak bisa dikekang. Dia akan membengkokkan kerangka besi yang membatasi kebebasannya atau dia akan melukai dirinya sendiri untuk sebuah kebebasan itu. Untuk mencegah Ana terluka, Julian terpaksa membiarkan Ana bebas dan bertindak seperti apa yang ia mau. Tentunya perlu lebih banyak energi untuk menjaga Ana tetap baik-baik saja. Seperti hari ini, Julian mengemudi mobil terbuka, menembus pertahanan angin yang bertiup lebih kencang di daerah pesisir. Konsentrasinya terbelah pada Ana yang mencoba berdiri menantang angin, sambil berteriak tak jelas dan mulai berjoget mengikuti hentakan musik hip-hop. Sesekali Julian menarik baju Ana, menyuruhnya duduk dengan manis. Lagi pula itu sungguh berbahaya dan tentu saja memalukan.
"Apa?" teriak Ana pada Julian.
Perempuan itu belum mengerti saja rupanya. Dan Julian kira akan percuma jika ia jelaskan sekarang. Suara musik akan mudah menelan suaranya. Lebih buruknya lagi, Vanessa mulai meniru kelakuan ibunya, tidak perlu waktu lama untuk membuat gerakan mereka menjadi seragam.
Sampai di pantai, Julian memilih hanya bersandar di mobil. Ia mengambil kotak rokoknya dan menyalakan sebatang rokok. "Kalian duluan saja," katanya dengan mulut tersumpal rokok saat Ana mengajaknya turun ke laut.
Ana terlihat kesal, "Apa kau sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba.
"Apa?" Julian heran.
Ana menaikkan alisnya, kali ini ia benar-benar menginginkan jawaban Julian.
Julian menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Berapa umurmu sekarang?" Ana mulai meremehkan Julian. "Tapi, memang akan sangat keterlaluan jika kau menikah tanpa mengundangku," Ana menginjak kaki Julian dengan high-hills-nya.
Julian mengaduh, "Hai! Kenapa tiba-tiba mempermasalahkan masalah pernikahan dan marah-marah padaku?"
"Kalau menikah, setidaknya Kakak tahu aturan tidak boleh merokok di hadapan perempuan, apalagi di hadapan anak kecil," Ana memberi penjelasan pada Julian.
"Sejak kapan ada aturan seperti itu?" lirih Julian.
Ana berbalik. Beberapa langkah menjauhi Julian. Vanessa masih dalam genggamannya saat itu. Hanya saja, Ana kembali berpaling pada Julian. "Kakak! Jangan-jangan kau juga tidak punya...," Ana membuat Julian penasaran.
"Apa?"
"Kau tidak punya pacar?" sahut Ana.
Julian diam saja.
"Oh... aku baru mengerti sekarang. Kakak ternyata menyukai laki-laki?"
"Hai!" keras Julian.
Ana tertawa hebat.
"Apa dalam rumah tangga tak ada aturan untuk tidak mengatakan hal-hal yang buruk di hadapan anak kecil?"
"Aku tidak mengatakan hal yang buruk, aku hanya mengatakan... fakta," Ana mundur beberapa langkah.
"Fakta?" desahan Julian terdengar.
"Sayang, ayo kita lari!" ajak Ana pada Vanessa. Buru-buru Ana melepaskan sepatunya dan melemparkannye ke arah Julian.
Ledekan Ana kali ini terdengar tidak nyaman. Bukan Julian namanya jika tidak berhasil menangkap Ana dan membuat wanita itu minta ampun kemudian menarik kata-katanya. Julian melempar punting rokok ke tanah dan segera mengejar Ana. "Awas kau, ya!" katanya.
Sekali lagi Julian ingin menyalakan rokoknya, tapi kemudian urung ia lakukan karena perasaan bersalahnya pada Ana dan Vanessa. Mungkin bukan masalah besar, tapi tatapan Ana langsung berbeda sekadar wanita itu melihat Julian mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya. Ana merasa kecewa jika Julian tak mendengarkan kata-katanya.
Andai Ana tahu bahwa Julian perlu sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dia tidak punya cara lain selain rokok. Tanpa itu, Julian seperti pecandu yang adiksi terhadap heroin, tapi Julian tak tahu di mana mendapatkan benda itu. Tangannya bergetar, dadanya berdebar dan terasa panas sekujur tubuhnya. Tak lama Julian akan merasa mual dan untuk itu ia perlu menenangkan diri.
"Kenapa aku berada di sini?" Julian mulai menyesal. Ia menatap Ana dan Vanessa yang berlari-lari kecil di batasan ombak. Ia tahu ia akan dengan mudah menangkap Ana dan mengekangnya jika ia mau. Tapi, setiap Julian berada di dekat Ana, Julian merasa gugup. Perasaannya sendiri yang menyiksanya. Perasaan bersalah jika tangannya yang kotor menyentuh kulit wanita itu. Perasaan berdosa karena telah menghujani Ana dengan hasratnya yang gila. Bukankah ia hanya anjing peliharaan ayah Ana, yang tugasnya hanya setia dan menurut, tugasnya hanyalah menjaga Ana dan keluarga Segovia yang lain. Tidak seharusnya Julian berharap lebih.
"Aku adalah laki-laki," setidaknya itu yang akan dikatakan Julian saat ia berhasil menangkap Ana. Selebihnya, hanyalah barisan kata yang tak akan mungkin diungkapkan. Bahwa ada sesuatu yang menggodanya dari diri Ana, entah itu rambutnya yang tergerai indah, poni melengkung yang mempertegas keindahan matanya, atau kedipan lembut wanita itu. Sekarang wanita itu berada begitu dekat dengannya. Berkali-kali Julian ingin menarik Ana ke tempat di mana tidak seorangpun bisa melihat mereka, kemudian menahan wanita itu dengan tubuhnya sendiri. Entah apa yang akan dilakukannya kemudian, mungkin akan membuat jiwanya sendiri melayang dengan sebuah ciuman, atau Julian hanya akan menantang tatapan Ana dan mengatakan bahwa di hadapannya ada seorang laki-laki dengan sejuta keinginan terhadapnya, menciumnya, memeluknya, bahkan tidur dengannya. Bahwa dihadapannya ada seorang laki-laki yang sangat lemah, yang amat patut dikasihani. Dan jika Ana punya hati, Ana akan meletakkan laki-laki itu di pangkuannya, sejenak membiarkan laki-laki itu tidur seraya membelainya.
"Menyerah, ya?" Ana menjatuhkan dirinya di samping Julian.
Julian melirik Ana sejenak dan terpaksa tersenyum. Hal yang lucu ketika seorang laki-laki tidak bisa berkompromi dengan perasaannya sendiri. "Mau kubelikan es krim?" Julian membuat tawaran, yang sebenarnya ia perlu lebih banyak ruang untuk tak terlalu dekat dengan Ana.
Julian belum menyadari, pelan-pelan ketenangan terjalin seperti selimut yang dipakaikan seorang ibu pada anaknya yang setengah tertidur. Ada Ana di tengah-tengah antara dirinya dan Vanessa, dan beberapa pasang muda-mudi yang memilih sudut tertentu sambil memandang ke lautan yang telah dihujani cahaya jingga. Ada benda bulat raksasa di hadapan mereka. Julian tak mengerti kenapa orang senang menanti matahari terbenam, apa mereka tak takut hari yang indah akan menghilang ditelan kepekatan malam.
"Sayang! Makan es krimnya yang benar dong!" Ana setengah berteriak. Sedikit membuat Julian terusik. Wanita itu sibuk membersihkan mulut Vanessa yang dilumuri es krim dengan bibirnya sendiri.
Julian mengerutkan keningnya, ia heran darimana Ana mendapatkan kebiasaan aneh seperti itu. Ya. Walaupun sah-sah saja jika itu cara Ana agar bisa terus menciumi anaknya.
Dan tiba-tiba Ana berpaling, "Kau sama saja," katanya melirik tajam pada Julian.
Sepertinya Ana tak sadar karena ia baru saja menyenggol tangan Julian dan membuat es krim di tangan Julian terdorong ke mulutnya sendiri. Jadilah mulut Julian belepotan.
"Apa maksudmu?" Julian sedikit meninggikan nada suaranya, ia merasa terintimidasi oleh tatapan Ana yang seakan menyalahkannya, "kau seharusnya minta...," kata-kata Julian tertahan. Ana menarik pipi Julian dan seketika bibir Ana menyentuh bibir Julian. Wanita itu melumati bibir Julian berkali-kali, diiringi isapan lembut yang hangat. Sebelumnya tak pernah membuat Julian berpikir bahwa rasa es krim bisa begitu manis. Rasa asing yang mampu mendebarkan jantungnya dan membuat tubuhnya terasa panas. Julian tidak ingin menganggapnya serius, bahwa itu hanya sikap spontan dari Ana. Namun, tetap saja Julian merasa berada di posisi paling jahat sekarang, seorang yang mengaku sebagai seorang kakak, menyimpan perasaan begitu dalam pada adiknya sendiri yang telah menikah. Memang ada banyak yang mengatakan tidak mungkin terjalin cinta di antara dua orang saudara, tapi lebih banyak yang tahu bahwa Ana dan Julian bukan siapa-siapa. Semuanya mungkin terjadi, tapi tentu saja Julian tidak ingin merusak hubungan Ana dengan Nara, dan tentu saja tentang kesetiannya, hanya karena perasaan Julian yang meluap ke permukaan. "Apa yang kau lakukan?" suara Julian terdengar berat.
Ana menjauhkan bibirnya. Ia tentu merasakan desahan napas Julian saat bicara, dan pandangan laki-laki itu yang berbeda dari sebelumnya. Ana menyapu bibirnya dengan punggung tangannya, "Kau suka cappuccino latte?" ucap Ana kemudian. "Sejujurnya aku tak terlalu suka hal berbau kopi, selain karena aromanya, tentu karena sedikit rasa pahitnya," jelasnya.
Julian melongo, "Apa dia membahas soal rasa es krim yang barusan kumakan? Aku bahkan tidak menyadarinya," pikirnya. Ia benar-benar ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Ana sekarang, bagaimana perasaannya saat menyentuhkan bibirnya pada Julian, karena tidak bisa dipungkiri Julian menikmatinya, ingin menikmatinya lagi, dan itu mengganggunya.
Julian memandang Ana cukup lama. Kening Ana yang mengerut dan matanya yang memancarkan keputusasaan. Julian tak mengerti pancaran mata seperti apa itu, seakan-akan Ana membaca kemarahan di benak Julian dan perasaan bersalah menyusup pelan-pelan di benak Ana.
"Kau tidak suka, ya? Maaf!" kata Ana kemudian.
Julian berpaling. Tidak ada alasan ia kira untuk Ana meminta maaf padanya. Julian hanya merasa dirinya terlalu berlebihan menanggapi sikap Ana yang mungkin jadi kebiasaan hidupnya. Julian tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Ana, tidak masalah jika ia lakukan itu pada Vanessa atau suaminya sendiri, tapi bukan pada kakak laki-lakinya.
"Sudahlah! Kita pulang!"
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men