"Apa pentingnya isi hatiku bagi orang lain?"
Selalu terpikir bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar ingin tahu isi hatinya. Pertanyaan, "Bagaimana perasaanmu?" Bagi Ana hanya sebagai formalitas saja. Cara supaya orang terlihat perhatian dan peduli. Sementara Ana yakin tidak ada yang peduli padanya. Makanya Ana selalu diam saat ada orang yang bertanya soal itu. Peduli Dokter Ruin, atau Nara.
Ana, seperti tembok yang semakin hari semakin meninggi, tak berpintu dan semakin tebal. Bahkan suara pun pelan-pelan tak akan mampu menembusnya. Setelah Julian pergi, hatinya seperti diselimuti badai kutub, pelan-pelan membeku menuju salju abadi.
"Bagaimana perasaanmu?" sekali lagi Dokter Ruin bertanya.
Ana yang berdiri menghadap jendela diam saja. Nyatanya, tidak ada yang istimewa dari perasaannya. Kecuali Vanessa yang sering membuatnya khawatir. Selebihnya, Ana bahkan tak peduli jika Dokter Ruin mengatakan, "Waktumu hanya tiga bulan jika kau tetap seperti ini, tidak mau dirawat dan tidak mau diobati."
"Ana! Apa kau mendengarku?" Dokter Ruin sedikit lebih nyaring.
Ana terpaksa berpaling. Ia pikir tak ada yang bisa dikatakan. Dokter Ruin, bukankah dia juga tidak ingin mendengar jawaban yang sama. Tentang rumah sakit yang membuatnya mual hanya dengan berada di sana.
"Kadang-kadang memang rasanya sangat sakit. Beri aku obat penahan rasa sakit saja, Dok!" pinta Ana.
Dokter Ruin beranjak dari tempat duduknya, "Obat penahan rasa sakit tidak akan mencegah penyebaran kankermu!" katanya dengan kening mengerut.
Sepertinya ada yang berteriak padanya, dan Ana tak suka itu. Bahkan ayahnya pun tak pernah berteriak di hadapannya. Teriakan yang hanya akan membuat Ana diam, tanpa mengerti apa yang mereka katakan. Gerakan mulut yang pelan-pelan membuat kepalanya pusing. Lebih menyakitkan, karena itu juga mengingatkannya pada kakaknya. Satu-satunya yang ia izinkan untuk berteriak di hadapannya. Alasannya adalah agar Ana lekas terbangun dari keterpurukan dan bersiap untuk kehidupan selanjutnya. Untuk sesaat, Ana berharap orang itu benar-benar ada, sekali lagi berteriak padanya, memberinya semangat untuk hidup lebih lama.
[...
"Ayo, pulang!" perintahnya datar.
Langit lebih cepat gelap hari itu. Hujan deras mengguyur bukit pemakaman. Sebelumnya, tidak ada siapa-siapa kecuali tubuh bisu terkalang tanah. Dan tidak ada apa-apa untuk berteduh.
"Aku tidak mau," kataku masih meratapi pembaringan ayah yang berselimut lumpur.
"Mau apa di sini?"
"Aku tetap ingin di sini."
Tiba-tiba saja Julian menarik tanganku, memaksaku untuk berdiri.
"Biarkan aku di sini! Aku mau bersama ayahku!" kataku meronta.
Dia melayangkan tangannya ke pipiku.
"Kau berani melakukan ini?" aku meneriakinya. Sudah kubilang kalau orang itu hanya kuanggap anjing peliharaan. Yang harus dia lakukan hanyalah patuh pada majikannya. Orang itu, untuk duduk sejajar denganku saja tidak pantas. Apalagi jika berani menamparku. Keterlaluan, itulah yang ada dalam pikiranku saat itu tentangnya.
"Ayahmu sudah mati!" teriaknya.
Itu pertama kali ia berteriak di hadapanku. Anehnya itu seperti listrik yang membangkitkan kesadaranku. Kulihat jelas tetesan hujan menghujam tubuh Julian. Rambut dan bajunya basah. Orang itu tak bisa berkedip sempurna karena air yang jatuh. Tapi, tak kudengar suara hujan itu. Yang kudengar hanyalah suara Julian, seperti menggetarkan hatiku.
Aku tak mengerti kenapa ayah minta diistirahatkan di bukit itu. Apa supaya aku tak terlalu sering mengunjunginya, agar aku tak terus-terusan merasa sedih? Entahlah. Perlu dua jam naik bus, dan satu jam berjalan kaki untuk mencapai puncak bukit. Dan bagaimana Julian tahu aku ada di sana? Sementara kubilang padanya aku ke sekolah? Apa dia mencariku? Bahkan di tengah hujan itu?
Dalam hidupku, tak hanya hujan, tapi badai yang siap menelanku hidup-hidup. Di sana, dalam duniaku, sebelumnya tak ada siapa-siapa, namun kemudian ada dirinya. Sebelumnya tak ada apa-apa, tapi kemudian ada tubuhnya yang siap melindungiku dari apa pun yang menghujamku.
...]
Ana mengulanginya lagi, meninggalkan begitu saja orang yang sedang bicara dengannya. Tanpa permisi, tanpa salam perpisahan. Hentakan sepatunya menggema di koridor rumah sakit yang tampak lebih sunyi hari itu.
Dokter Ruin masih berdiri di depan pintu ruangannya. Ia berdecak melihat Ana yang berjalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Tidak ada yang ingin ia dengar, tak ada yang ia percaya, begitulah pikir Dokter Ruin mengartikan diamnya Ana. Sejak kapan sakit dikalahkan keegoisan seseorang, keinginan Ana yang tak mau diobati adalah tak biasa dan pasti ada sebabnya.
Kali ini agak tak biasa, sebuah taksi terpaksa berhenti sebelum tuannya sampai ke tempat tujuan. Ana memperhatikan sepatu tepleknya sejak pertama turun dari taksi dan memijakkan kaki di jalan setapak. Setengah sepatunya terendam dalam lumpur. Langit mendung hari itu dan samar-samar dalam pandangannya ada jalinan air membentuk benang tipis terhubung ke langit.
Ana berpikir sejenak sebelum melanjutkan langkahnya, bukan karena gang sempit itu terlalu becek. Tapi, sudah lima tahun ia tak pernah kesana.
Suara riang anak-anak yang bermain tanpa alas kaki di sore hari, teriakan para tetangga yang kesal karena tetangga lainnya, teriakan ibu yang memanggil dan mencari-cari anaknya, sejauh ingatan Ana. Kampung itu tak pernah sunyi hingga pagi keesokan harinya. Terlebih jarak rumah satu dan lainnya hanya berjarak selembar kardus. Ana, pernah juga tinggal di pemukiman kumuh seperti itu. Di lantai dua dengan ruang hanya seluas 4x4 meter.
[...
"Untuk sementara kita tinggal di sini."
Entah apa itu tempat yang pantas dijadikan tempat tinggal. Kutahan langkahku di mulut tangga. Aku juga berusaha menahan agar koperku tak menyentuh tanah, meski rasanya sangat berat. Koperku akan penuh lumpur jika aku tak kuat.
Kuperhatikan Julian yang telah menaiki hampir setengah bagian tangga. Pria yang mengenakan jeans dan kaos oblong hitam itu tampak tak bermasalah. Dia berpaling sejenak, melihatku. Aku tahu aku sudah jatuh miskin, kupikir dia akan meninggalkanku begitu saja.
"Maaf, untuk sementara kita hanya bisa tinggal di sini. Aku akan bekerja keras, pasti kau akan kembali ke rumahmu lagi," katanya berulang kali.
Aku diam saja. Tak mengerti bagaimana harus menanggapinya. Apa dia kira aku mau tinggal di tempat itu? Lihatlah lubang-lubang tikus itu, yang disembunyikan dibalik kalender tua. Satu di antaranya membuatku tahu hari apa aku lahir dan kalender seperti apa yang terbit di tahun kelahiranku. Terpampang perempuan terkenal berbikini tahun delapan puluhan di kalender itu. Kertasnya telah menguning, memudar, dan sobek di beberapa bagian karena termakan usia.
Ruang 4x4 meter yang kosong, tanpa tempat tidur, bahkan tanpa karpet. Lantainya bergemeretak saat di injak. Kamar itu bisa saja berubah menjadi bangsal rumah sakit saat kami terperosok dan jatuh ke bawah.
Tapi, aku diam saja. Tak juga mau protes. Sekali lagi Julian bisa saja meninggalkanku di jalanan. Dan ia malah melakukan sebaliknya.
Saat malam datang. Angin malam seperti sangat mudah menembus celah-celah papan. Selalu ada keributan di luar, yang tampak tak biasa di telingaku. Terlalu banyak perempuan yang mengeluhkan soal penghasilan suami mereka yang pas-pasan. Aku tidak bisa tidur. Bukan karena keributan itu, atau karena dinginnya hari. Tapi, karena ketika memejamkan mata, ada yang bergerak di balik lapisan triplek di dinding. Di kamar yang hanya diterangi lampu kuning lima watt, menyisakan sudut gelap yang membuatku waspada. Bisa saja, penghuni malam di sana, tikus-tikus hitam dalam bayangan ketakutanku, keluar dari lubang, melintas cepat di kakiku, dan mungkin akan menggigit ibu jari kakiku.
Kutekuk kaki di sudut yang telah kupastikan tidak ada lubang aneh di sana. Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Entah, sedang di mana Julian sekarang, sore tadi ia hanya bilang akan pergi sebentar. Tapi, itu sudah lewat jam delapan malam, dan dia belum juga datang. Apa dia tidak tahu aku takut sekali dengan binatang-binatang kecil, dalam bentuk apa pun. Aku memang tidak pernah mengatakannya, juga tak pernah berteriak karenanya, karena di rumah sebelumnya, tidak ada makhluk-makhluk seperti itu.
Kuputar bola mata ke kanan, ada yang bergerak dari sudut itu. Kuatur napas baik-baik, agar tak membuatku histeris. Bahwa itu makhluk kecil yang tak berbahaya, makhluk kecil yang tak lebih besar dari telapak kakiku. Jika dia berani mendekatiku, aku tinggal menginjaknya.
"Menginjaknya?" keningku mengerut. Itu pasti sangat menjijikkan. Bulu-bulu mereka yang hitam dan kotor, bersentuhan dengan telapak kakiku, aku bergidig membayangkannya. Menggelikan. Nuansa yang tidak akan mudah untuk dilupakan. Aku bisa trauma seumur hidup karena itu. Tidak. Aku tidak jadi menginjaknya.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" Lubang dengan kertas kalendernya yang sobek, terlalu menyimpan misteri. Aku lelah jika harus terus mengawasinya.
"Apakah aku harus mandiri? Mengerjakan semuanya sendiri? Termasuk melindungi diriku sendiri? Siapa? Siapa yang berani mendekatiku? Aku tak izinkan kalian menggangguku. Lihatlah! Lihat! Aku punya pembasmi serangga, punya racun tikus, balok besar yang mematikan."
Tidak. Aku sedang berkhayal. Tidak ada apa-apa di ruangan itu yang bisa kugunakan untuk memukul, apalagi membunuh.
"Julian, kamu sudah datang?" spontanku ketika mendengar ada yang menapaki anak tangga di luar.
Ya. Itu memang Julian. Dia menatap heran padaku. Mungkin karena aku tidak bicara padanya seharian itu dan sekarang menyebut namanya dengan penuh semangat.
"Ada apa?" tanyanya. Julian segera melebarkan pintu kamar dan melihat ke dalam.
"Tidak ada apa-apa," kataku segera. "Hanya," apa aku perlu memberi tahunya bahwa aku takut tikus, tidak hanya pada tikus, kecoa, cacing, semua makhluk kecil itu aku tak suka. Kupikir aku perlu menjaga imageku sebagai perempuan yang kuat dan pemberani. Aku bahkan berani tidak mengakui Julian sebagai kakakku. Selama ini aku terus berusaha menantang Julian. Dan selanjutnya akan tetap seperti itu.
Sekali suara gemerisik itu datang lagi, dari lubang kecil misterius. Segera kugenggam lengan Julian.
"Apa yang kau takutkan?" tanyanya masih dengan tatapan heran padaku.
Aku tersenyum seadanya sambil menggelengkan kepala, pelan-pelan kulepas lengannya.
"Ayo, kita makan!" ajaknya kemudian.
...
"Apa itu yang dibawa Julian? Benarkah makanan yang ia maksud?" Julian mengeluarkan satu per satu isi kresek hitam.
Di dalam bungkusan masih ada lagi yang terbungkus. Aromanya, tak begitu buruk.
"Apa ini?" tanyaku melongo. "Seperti nasi goreng," aku coba menebaknya.
"Benar. Itu nasi goreng," jawab Julian.
Aku menghela napas. Bukan budaya kami membungkus makanan dan dibawa ke rumah. Biasanya lebih memilih duduk di restoran sambil menikmati malam di luar. Lagi pula, apa Julian lupa kami tidak punya piring, mangkuk, bahkan sendok.
"Ayo, makan!"
"Pake apa?" tanyaku.
Julian melebarkan kresek hitam, tiba-tiba menarik tanganku dan ia mengguyur tanganku dengan air dari botol minum. Ya, Tuhan memang menciptakan lima jari untukku, dan otak dengan volume lebih besar dari makhluk lain. Sudah sewajarnya aku menggunakannya dengan maksimal, tanpa bertanya pada Julian hal-hal yang bodoh. "Bukankah kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya?"
Memang tak seburuk yang terbayang, tentang tangan yang terasa tak nyaman bersentuhan dengan butiran nasi berminyak. Juga tentang rasa makanan itu. Entah siapa yang bilang, "jangan mengintimidasi makanan, coba saja dulu!" dan benar, rasanya ternyata enak. Kukira aku telah menyia-nyiakan waktu selama enam belas tahun karena tidak pernah mencoba makanan angkringan pinggir jalan.
Aku masih mengawasinya, lubang hitam misterius di dinding. Saat itu, ingin sekali memejamkan mata. Julian menggelar selimut tebal untukku tidur dan menyelimutiku dengan selimut lainnya. Sementara Julian sendiri memilih tidur di balkon kamar, bersama angin malam dan dinaungi langit yang hitam. Entahlah, jika boleh memilih, aku ingin Julian tidur di kamar saja, mengurangi sedikit ketakutan dalam bayanganku.
"Maaf, hanya bisa melakukan ini," samar-samar kudengar suara itu dari balik pintu geser yang memisahkan kamar dan balkon. Terdengar berat dan tak bersemangat. Julian, entah pada siapa ia bicara, dan untuk siapa kata maaf itu. Kukira dia melakukan banyak hal untukku.
Keesokan harinya,
"Hei! Keluar kalian!" teriakku. Kuhadang mereka dengan balok kayu di tanganku, makhluk-makhluk kecil itu. "Apa kalian pikir aku takut sama kalian, heh?" tantangku lagi.
"Oh, jadi itu yang bikin kamu takut tadi malam?"
Aku berpaling. Julian berdiri di belakangku seraya mengusap-ngusap rambutnya yang masih basah. Entah kapan ia datang, aku tak menyadarinya.
Sesaat kemudian ia keluar lagi, dan kembali dengan membawa potongan triplek, palu dan beberapa paku.
"Apa menurutmu makhluk-makhluk itu akan datang jika kau memanggilnya? ...Apa ini?" Julian merampas balokan kayu di tanganku, "Kau ini bodoh sekali!" tambahnya.
"Kakak!" Entah apa aku harus menyebutnya seperti itu. Dia memang seperti seorang Kakak. Yang bisa kuandalkan untuk melindungiku. Tak pernah mengeluh dan senantiasa membuatku nyaman. Aku tak pernah melihatnya sedekat itu. Atau aku sendiri tak pernah mencoba sedekat itu dengan Julian. Alis tebalnya yang sedikit meruncing di ujung dan sudut matanya yang tajam kuperhatikan sejenak. Siapa dia dan apa yang dia lakukan bersamaku di sini? Masih banyak hal yang tidak kumengerti hingga membuat keningku mengerut setiap kali memikirkannya.
Kuusap wajah Julian, ada butiran air yang barusan turun dari ujung rambutnya.
Julian balas memandangiku.
"Apa? Kenapa?" tanyaku saat melihat tatapannya itu. Tapi, hanya sampai dalam hati saja. Tak kubuat ia mendengar pertanyaan itu.
Aku ingin menjelaskan padanya agar tak salah paham. Bahwa itu spontan, tetesan air itu mungkin saja mengganggunya. Tapi, seperti nasib pertanyaanku, penjelasan pun tak kukeluarkan dari mulutku.
"Ini mau diapakan?" kualihkan perhatianku ke potongan triplek.
Julian menempelkan triplek ke dinding, menutup lubang hitam misterius yang menggangguku sepanjang malam.
...]
"Benar kamu akan membayar lebih tinggi untuk tempat ini? Aku terpaksa berbohong pada penyewa sebelumnya soal kamar ini."
Ana tersenyum. Bibi yang bersamanya, tentu ia kenal. Masih orang yang sama yang ia temui hampir enam tahun lalu. Hanya saja, bibi itu sepertinya lupa pada Ana. "Tentu saja," jawabnya.
Tangan Ana menyusuri tempelan triplek di dinding. Tak menyangka benda itu masih ada, bahkan tulisan tangannya dulu, "Ana memang bodoh, tapi Julian lebih bodoh," masih bisa terbaca. Mencari tempat yang bisa membuatnya tenang, buat Ana bukan lagi sebuah rumah di mana ada orang di sana, atau yang memiliki peralatan medis terlengkap, tapi tempat di mana kenangan tentang Julian itu hidup.
Ana menghela napas, ada perasaan bersalah merangkulnya jika saja ia menyendok makanan berkuah di hadapannya. Entah kenapa kata-kata Dokter Ruin menjadi penting pada moment-moment itu. "Pikirkan tentang Vanessa!" Kata-kata itu seperti satu-satunya senjata bagi Dokter Ruin agar Ana patuh. Dokter muda itu telah menuliskan daftar menu makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Ana. Dan tentu saja Ana mengabaikannya. Anehnya, "tentang Vanessa" yang selalu menjadi penutup pembicaraan mereka, Ana menjadi tahu semua hal yang baik dan yang akan memperburuk keadaannya. Mungkin tak semua pengetahuan tentang bagaimana ia harus bertahan hidup ia pelajari dari Dokter Ruin, ada lebih banyak pengalaman yang membuatnya merasakan sakit dan akhirnya membuatnya jera."Aku telah banyak berpikir tentang ini," lirihnya. Bukankah cepat atau lambat akan sama saja. "Aku akan mati juga," pikir Ana seraya meny
"Ada apa?"Julian tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Dari sana ia bisa melihat Paris malam hari, indah dengan cahaya jingga lampu jalanan yang menghiasi sepanjang jalan Champs-Élysées.Ia baru saja sampai ketika managernya datang. Juan melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Ada banyak hal yang membuatnya bahkan tak sempat meghela napas seharian itu. Dengan melihat pemandangan malam Paris, sedikit membuat stress kerjanya hilang."Kudengar kau menolak menjual gaun itu lagi, kali ini harganya sungguh fantastis. Apa kau tidak menyesal?"Julian berbalik, ia yakin yang barusan ia dengar bukanlah suara managernya. Ia menggeser kepalanya agak ke kanan. Seseorang
"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana."Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana."Boleh paman duduk di sini?"Seseorang berpakaian serba hitam duduk di sam
Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b
Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men