Beranda / Romansa / Forbidden Lover / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Forbidden Lover : Bab 31 - Bab 40

53 Bab

Chapter 31: Deal Kedua

Ketika terbangun, Ana tak menemukan siapa pun di dekatnya. Kamar yang terlihat asing, tapi tidak dengan aroma parfum Julian yang melekat di setiap sudutnya. Ana turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Jika tidak salah, kamar mandi yang ia maksud ada sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berdiri sekarang. Luar biasa, baru saja ia mendorong pintu kamar mandi, Ana menemukan jendela besar yang tertutup tirai tipis di samping bath tub. Handuk putih yang tergantung di sisi kamar mandi, juga alat cukur yang pastinya digunakan Julian.Ana mulai yakin ia berada di Paris, terlebih ketika menemukan Julian asyik dengan gaun hitam di hadapannya. Ana bergeming di tengah-tengah tangga turun menuju lantai dua. Ia melanjutkan langkahnya ketika Julian menyadari kehadirannya."Sudah bangun?" ucap Julian terdengar dingin.
Baca selengkapnya

Chapter 32: Bubur Tanpa Garam

Hampir malam ketika Ana tahu Julian kembali. Pria itu melemparkan kotak rokok dan pemantik api ke atas meja kerjanya. Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa hitam yang menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ana diam-diam memperhatikan orang itu dari anak tangga. Julian bisa saja melihat Ana jika ia berpaling, tapi Julian sepertinya fokus pada pikirannya sendiri. Dan untuk beberapa alasan, Ana tidak ingin mengganggunya meski ingin sekali bicara. Ada perasaan bersalah yang menyusup di benak Ana. Ia kira ia datang ke Paris untuk membuat Julian merasa dicintai. Memang terdengar bodoh dan tetap menjadi hal yang bodoh karena Ana hanya membawa beban untuk Julian. Sejak Ana di Paris, tak sekalipun Julian terlihat senang.Ana kembali ke kamar. Tempat yang entah sejak kapan terlihat gelap. Titik-titik cahaya yang terlihat dari balik jendela besar mulai bermunculan. Kota itu seperti dikalungi
Baca selengkapnya

Chapter 33: Mimpi, Harapan dan Kenyataan

Julian tetap bertahan di meja makan ketika Ana berdiri dan mengatakan dia sudah selesai dengan mangkuk yang berisi bubur di hadapannya. Ana naik ke lantai tiga."Makanlah!" kata Julian hanya pada Isabel yang duduk di sampingnya. Julian menjejalkan bubur tanpa rasa ke dalam mulutnya. Julian tidak ingin mengatakan bahwa ia sedang menyiksa dirinya sendiri sekarang. Hanya saja, matanya memerah sejak sendokan pertama, dan orang itu mulai tersiksa karena harus menahan diri lebih jauh lagi.Isabel tersnyum getir. Banyak hal yang ia tidak mengerti soal kata-kata Ana, dan sikap Julian saat ini. "Apa salahku?" tanyanya.Dentingan keras terdengar. Julian ternyata tidak melemparkan sendoknya ke dalam mangkuk, sendok dari tangannya jatuh ke sisi mangkuk dan akhirnya mengenai gelas kaca. "Tidak ada
Baca selengkapnya

Chapter 34: Ciuman Sederhana

"Bagaimana Ana?" tanya Isabel. Julian menoleh ke Isabel yang duduk di sampingnya sementara ia menyetir. Mereka pergi ke bandara dan akan terbang ke Milan. Tidak ada yang bisa ia katakan tentang perempuan itu. Julian bahkan tidak mengatakan apa-apa soal kepergiannya kali ini. "Kukira kau akan memilih membatalkan ini." "Hanya satu malam, 'kan? Besok siang kita sudah di sini lagi! Lagi pula, dia akan senang jika aku pergi! Dia nggak perlu dengerin aku yang cerewet nyuruh dia makan, terus minum obat. Kalau aku di posisi dia, aku juga males disuruh-suruh kayak gitu," jelas Julian setengah tertawa. "Kamu sedang menghindar, ya?" tanggap Isabel. "Hah?"
Baca selengkapnya

Chapter 35: Musee du Louvre

"Kau baik-baik saja?" Isabel menarik kursi di samping Julian. "Apa aku terlihat tidak baik?" "Ya!" tegas Isabel. Setidaknya sudah satu jam mereka berada di museum Louvre, Julian hanya bersandar di salah satu sudut ruangan dan memandang kosong ke satu arah. Isabel tak yakin kalau Julian sadar dengan apa yang ia lihat sekarang. Ini tidak seperti Julian biasanya, ia tak akan diam saja untuk gaun-gaun yang baru saja keluar dari koper dan mengabaikan para model begitu saja. Tentu saja model-model itu akan senang jika sang desainer sendiri yang memakaikan gaun-gaun itu pada mereka. Sentuhan berbeda yang membuat para model pasrah terhadap aturan yang dibuat Julian. "Ayolah Julian! Mereka menunggumu!" Isabel memaksa. Julian tak berpikir b
Baca selengkapnya

Chapter 36: Pernyataan

Julian naik ke lantai tiga, tempat di mana ia pikir bisa menemukan Ana. Julian disambut cahaya remang-remang di pukul sebelas malam itu dan ia menemukan seorang perempuan yang berada dalam balutan kain putih bersimpuh di atas sajadah. Kadang-kadang Julian memang melihat Ana dalam ritual itu, namun belakangan ini semakin sering ia melihat Ana meletakkan keningnya di atas lantai. Julian ingat masa-masa tinggal di panti asuhan, ia diasuh oleh para biarawati, tapi para biarawati itu tak pernah memaksanya untuk datang ke gereja. Dan di sekolah, saat teman-teman sekelasnya belajar tentang agama mayoritas, tak ada yang memintanya keluar dari kelas. Pelan-pelan ia mulai penasaran tentang keyakinan apa yang dipunyai Ana, tentang sesuatu yang ia sebut Tuhan. "Kakak sudah pulang?" tanya Ana segera setelah ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
Baca selengkapnya

Chapter 37: Le Reve

..."Kukatakan aku akan menikah denganmu. Maka itu berarti aku ingin menikah. Bukan karena perjanjian bisnis, bukan karena rasa kasihan, bukan juga karena kau yang meminta. Jadi, bersikaplah sewajarnya orang menikah, bisik Julian. Julian mendekap Ana dari belakang. Ia melingkarkan tangan kirinya di pinggang Ana, sementara tangan kanannya melingkar di bahu perempuan yang telah mengenakan gaun pengantin. "Mintalah padaku, aku akan berusaha memenuhinya. Tapi, jangan pernah meminta perpisahan dariku," Julian kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Ana. ...Terlalu banyak kejutan ketika Ana terbangun di pagi itu. Ia tertegun setiap kali Julian menunjukkan betapa besar cintanya. Julian meletakkan kotak besar di atas tempat tidur, di samping Ana.
Baca selengkapnya

Chapter 38: Berita Baik

Tepat satu hari setelah Julian dan Ana kembali menginjakkan kaki di Indonesia, sekarang mereka berada di rumah sakit. Dokter Ruin menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sementara tangannya terlipat di depan dada. Ia memandangi Julian dan Ana yang duduk di hadapannya secara bergantian. Sudah hampir sepuluh menit sejak mereka berdua datang, tapi belum ada kata-kata yang keluar dari ketiganya. Julian, dia duduk dengan menyilangkan kakinya, ia memalingkan wajahnya ketika Dokter Ruin memandang padanya. Seolah-olah Julian telah melakukan kesalahan yang besar, orang itu terlihat semakin gelisah ketika Dokter Ruin memandanginya lebih lama. Sementara Ana, perempuan ini nyengar-nyengir tidak jelas dari tadi. Sesekali dia melihat Julian yang duduk di sampingnya, dan segera matanya berbinar terang. Dokter Ruin benar-benar takut melihat Ana y
Baca selengkapnya

Chapter 39: Nurani

"Apa kau tahu apa warna surga itu?" Julian pernah mendengar seseorang menanyakan itu padanya ketika di Paris. Seorang keturunan Arab yang tinggal di sana."Putih," jawaban Julian tentang sebuah kesucian."Bukan.""Jadi, apa?""Hijau," jawabnya. "Dan percaya tidak kalau kami menyebut negaramu adalah surga?"Julian tidak menanggapi saat itu. Ia kira apa pun yang diungkapkan orang tentang negaranya, selama itu hal yang baik, semuanya sah-sah saja. Dan sekarang Julian teringat tentang hal itu lagi. Tentang negeri yang hijau dan mataharinya yang bersinar sepanjang tahun. Tidak ada yang benar-benar kedinginan di akhir tahun atau merasa terbakar di pertengahan tahun.
Baca selengkapnya

Chapter 40: Permainan

"Bagaimana kalau sekarang kita main, gunting, batu, kertas, yang menang bebas menunjuk salah satu dari yang kalah buat ngelakuin apa yang dia mau," Ana bersemangat. Julian tak punya bayangan permainan seperti apa itu, tapi agaknya tak terlalu sulit. Lebih berat untuk bersabar karena usulan melakukan permainan didasari Jecklin yang belum juga dijemput. Julian sudah mengajak Ana pergi berkali-kali, tapi perempuan itu berkeras menunggu sampai yang menjemput Jecklin datang. Julian sudah menjelaskan pada Ana bahwa anak itu bisa saja membawa pengaruh buruk pada Vanessa, tapi Ana justru bertanya, "Kakak kenapa sich?" Julian sadar itu aneh, seorang pria dewasa tiga puluhan tahun terganggu dengan anak kecil berusia tujuh tahun. "Aku hanya mengkhawatirkan Vanessa!" katanya membuat Ana tersenyum.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status