Hampir malam ketika Ana tahu Julian kembali. Pria itu melemparkan kotak rokok dan pemantik api ke atas meja kerjanya. Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa hitam yang menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ana diam-diam memperhatikan orang itu dari anak tangga. Julian bisa saja melihat Ana jika ia berpaling, tapi Julian sepertinya fokus pada pikirannya sendiri. Dan untuk beberapa alasan, Ana tidak ingin mengganggunya meski ingin sekali bicara. Ada perasaan bersalah yang menyusup di benak Ana. Ia kira ia datang ke Paris untuk membuat Julian merasa dicintai. Memang terdengar bodoh dan tetap menjadi hal yang bodoh karena Ana hanya membawa beban untuk Julian. Sejak Ana di Paris, tak sekalipun Julian terlihat senang.
Ana kembali ke kamar. Tempat yang entah sejak kapan terlihat gelap. Titik-titik cahaya yang terlihat dari balik jendela besar mulai bermunculan. Kota itu seperti dikalungi
Ig: @romaneskha
Julian tetap bertahan di meja makan ketika Ana berdiri dan mengatakan dia sudah selesai dengan mangkuk yang berisi bubur di hadapannya. Ana naik ke lantai tiga."Makanlah!" kata Julian hanya pada Isabel yang duduk di sampingnya. Julian menjejalkan bubur tanpa rasa ke dalam mulutnya. Julian tidak ingin mengatakan bahwa ia sedang menyiksa dirinya sendiri sekarang. Hanya saja, matanya memerah sejak sendokan pertama, dan orang itu mulai tersiksa karena harus menahan diri lebih jauh lagi.Isabel tersnyum getir. Banyak hal yang ia tidak mengerti soal kata-kata Ana, dan sikap Julian saat ini. "Apa salahku?" tanyanya.Dentingan keras terdengar. Julian ternyata tidak melemparkan sendoknya ke dalam mangkuk, sendok dari tangannya jatuh ke sisi mangkuk dan akhirnya mengenai gelas kaca. "Tidak ada
"Bagaimana Ana?" tanya Isabel. Julian menoleh ke Isabel yang duduk di sampingnya sementara ia menyetir. Mereka pergi ke bandara dan akan terbang ke Milan. Tidak ada yang bisa ia katakan tentang perempuan itu. Julian bahkan tidak mengatakan apa-apa soal kepergiannya kali ini. "Kukira kau akan memilih membatalkan ini." "Hanya satu malam, 'kan? Besok siang kita sudah di sini lagi! Lagi pula, dia akan senang jika aku pergi! Dia nggak perlu dengerin aku yang cerewet nyuruh dia makan, terus minum obat. Kalau aku di posisi dia, aku juga males disuruh-suruh kayak gitu," jelas Julian setengah tertawa. "Kamu sedang menghindar, ya?" tanggap Isabel. "Hah?"
"Kau baik-baik saja?" Isabel menarik kursi di samping Julian. "Apa aku terlihat tidak baik?" "Ya!" tegas Isabel. Setidaknya sudah satu jam mereka berada di museum Louvre, Julian hanya bersandar di salah satu sudut ruangan dan memandang kosong ke satu arah. Isabel tak yakin kalau Julian sadar dengan apa yang ia lihat sekarang. Ini tidak seperti Julian biasanya, ia tak akan diam saja untuk gaun-gaun yang baru saja keluar dari koper dan mengabaikan para model begitu saja. Tentu saja model-model itu akan senang jika sang desainer sendiri yang memakaikan gaun-gaun itu pada mereka. Sentuhan berbeda yang membuat para model pasrah terhadap aturan yang dibuat Julian. "Ayolah Julian! Mereka menunggumu!" Isabel memaksa. Julian tak berpikir b
Julian naik ke lantai tiga, tempat di mana ia pikir bisa menemukan Ana. Julian disambut cahaya remang-remang di pukul sebelas malam itu dan ia menemukan seorang perempuan yang berada dalam balutan kain putih bersimpuh di atas sajadah. Kadang-kadang Julian memang melihat Ana dalam ritual itu, namun belakangan ini semakin sering ia melihat Ana meletakkan keningnya di atas lantai. Julian ingat masa-masa tinggal di panti asuhan, ia diasuh oleh para biarawati, tapi para biarawati itu tak pernah memaksanya untuk datang ke gereja. Dan di sekolah, saat teman-teman sekelasnya belajar tentang agama mayoritas, tak ada yang memintanya keluar dari kelas. Pelan-pelan ia mulai penasaran tentang keyakinan apa yang dipunyai Ana, tentang sesuatu yang ia sebut Tuhan. "Kakak sudah pulang?" tanya Ana segera setelah ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
..."Kukatakan aku akan menikah denganmu. Maka itu berarti aku ingin menikah. Bukan karena perjanjian bisnis, bukan karena rasa kasihan, bukan juga karena kau yang meminta. Jadi, bersikaplah sewajarnya orang menikah, bisik Julian. Julian mendekap Ana dari belakang. Ia melingkarkan tangan kirinya di pinggang Ana, sementara tangan kanannya melingkar di bahu perempuan yang telah mengenakan gaun pengantin. "Mintalah padaku, aku akan berusaha memenuhinya. Tapi, jangan pernah meminta perpisahan dariku," Julian kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Ana. ...Terlalu banyak kejutan ketika Ana terbangun di pagi itu. Ia tertegun setiap kali Julian menunjukkan betapa besar cintanya. Julian meletakkan kotak besar di atas tempat tidur, di samping Ana.
Tepat satu hari setelah Julian dan Ana kembali menginjakkan kaki di Indonesia, sekarang mereka berada di rumah sakit. Dokter Ruin menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sementara tangannya terlipat di depan dada. Ia memandangi Julian dan Ana yang duduk di hadapannya secara bergantian. Sudah hampir sepuluh menit sejak mereka berdua datang, tapi belum ada kata-kata yang keluar dari ketiganya. Julian, dia duduk dengan menyilangkan kakinya, ia memalingkan wajahnya ketika Dokter Ruin memandang padanya. Seolah-olah Julian telah melakukan kesalahan yang besar, orang itu terlihat semakin gelisah ketika Dokter Ruin memandanginya lebih lama. Sementara Ana, perempuan ini nyengar-nyengir tidak jelas dari tadi. Sesekali dia melihat Julian yang duduk di sampingnya, dan segera matanya berbinar terang. Dokter Ruin benar-benar takut melihat Ana y
"Apa kau tahu apa warna surga itu?" Julian pernah mendengar seseorang menanyakan itu padanya ketika di Paris. Seorang keturunan Arab yang tinggal di sana."Putih," jawaban Julian tentang sebuah kesucian."Bukan.""Jadi, apa?""Hijau," jawabnya. "Dan percaya tidak kalau kami menyebut negaramu adalah surga?"Julian tidak menanggapi saat itu. Ia kira apa pun yang diungkapkan orang tentang negaranya, selama itu hal yang baik, semuanya sah-sah saja. Dan sekarang Julian teringat tentang hal itu lagi. Tentang negeri yang hijau dan mataharinya yang bersinar sepanjang tahun. Tidak ada yang benar-benar kedinginan di akhir tahun atau merasa terbakar di pertengahan tahun.
"Bagaimana kalau sekarang kita main, gunting, batu, kertas, yang menang bebas menunjuk salah satu dari yang kalah buat ngelakuin apa yang dia mau," Ana bersemangat. Julian tak punya bayangan permainan seperti apa itu, tapi agaknya tak terlalu sulit. Lebih berat untuk bersabar karena usulan melakukan permainan didasari Jecklin yang belum juga dijemput. Julian sudah mengajak Ana pergi berkali-kali, tapi perempuan itu berkeras menunggu sampai yang menjemput Jecklin datang. Julian sudah menjelaskan pada Ana bahwa anak itu bisa saja membawa pengaruh buruk pada Vanessa, tapi Ana justru bertanya, "Kakak kenapa sich?" Julian sadar itu aneh, seorang pria dewasa tiga puluhan tahun terganggu dengan anak kecil berusia tujuh tahun. "Aku hanya mengkhawatirkan Vanessa!" katanya membuat Ana tersenyum.
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men