"Kau baik-baik saja?" Isabel menarik kursi di samping Julian.
"Apa aku terlihat tidak baik?"
"Ya!" tegas Isabel. Setidaknya sudah satu jam mereka berada di museum Louvre, Julian hanya bersandar di salah satu sudut ruangan dan memandang kosong ke satu arah. Isabel tak yakin kalau Julian sadar dengan apa yang ia lihat sekarang. Ini tidak seperti Julian biasanya, ia tak akan diam saja untuk gaun-gaun yang baru saja keluar dari koper dan mengabaikan para model begitu saja. Tentu saja model-model itu akan senang jika sang desainer sendiri yang memakaikan gaun-gaun itu pada mereka. Sentuhan berbeda yang membuat para model pasrah terhadap aturan yang dibuat Julian.
"Ayolah Julian! Mereka menunggumu!" Isabel memaksa.
Julian tak berpikir b
Julian naik ke lantai tiga, tempat di mana ia pikir bisa menemukan Ana. Julian disambut cahaya remang-remang di pukul sebelas malam itu dan ia menemukan seorang perempuan yang berada dalam balutan kain putih bersimpuh di atas sajadah. Kadang-kadang Julian memang melihat Ana dalam ritual itu, namun belakangan ini semakin sering ia melihat Ana meletakkan keningnya di atas lantai. Julian ingat masa-masa tinggal di panti asuhan, ia diasuh oleh para biarawati, tapi para biarawati itu tak pernah memaksanya untuk datang ke gereja. Dan di sekolah, saat teman-teman sekelasnya belajar tentang agama mayoritas, tak ada yang memintanya keluar dari kelas. Pelan-pelan ia mulai penasaran tentang keyakinan apa yang dipunyai Ana, tentang sesuatu yang ia sebut Tuhan. "Kakak sudah pulang?" tanya Ana segera setelah ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
..."Kukatakan aku akan menikah denganmu. Maka itu berarti aku ingin menikah. Bukan karena perjanjian bisnis, bukan karena rasa kasihan, bukan juga karena kau yang meminta. Jadi, bersikaplah sewajarnya orang menikah, bisik Julian. Julian mendekap Ana dari belakang. Ia melingkarkan tangan kirinya di pinggang Ana, sementara tangan kanannya melingkar di bahu perempuan yang telah mengenakan gaun pengantin. "Mintalah padaku, aku akan berusaha memenuhinya. Tapi, jangan pernah meminta perpisahan dariku," Julian kemudian menenggelamkan wajahnya di leher Ana. ...Terlalu banyak kejutan ketika Ana terbangun di pagi itu. Ia tertegun setiap kali Julian menunjukkan betapa besar cintanya. Julian meletakkan kotak besar di atas tempat tidur, di samping Ana.
Tepat satu hari setelah Julian dan Ana kembali menginjakkan kaki di Indonesia, sekarang mereka berada di rumah sakit. Dokter Ruin menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sementara tangannya terlipat di depan dada. Ia memandangi Julian dan Ana yang duduk di hadapannya secara bergantian. Sudah hampir sepuluh menit sejak mereka berdua datang, tapi belum ada kata-kata yang keluar dari ketiganya. Julian, dia duduk dengan menyilangkan kakinya, ia memalingkan wajahnya ketika Dokter Ruin memandang padanya. Seolah-olah Julian telah melakukan kesalahan yang besar, orang itu terlihat semakin gelisah ketika Dokter Ruin memandanginya lebih lama. Sementara Ana, perempuan ini nyengar-nyengir tidak jelas dari tadi. Sesekali dia melihat Julian yang duduk di sampingnya, dan segera matanya berbinar terang. Dokter Ruin benar-benar takut melihat Ana y
"Apa kau tahu apa warna surga itu?" Julian pernah mendengar seseorang menanyakan itu padanya ketika di Paris. Seorang keturunan Arab yang tinggal di sana."Putih," jawaban Julian tentang sebuah kesucian."Bukan.""Jadi, apa?""Hijau," jawabnya. "Dan percaya tidak kalau kami menyebut negaramu adalah surga?"Julian tidak menanggapi saat itu. Ia kira apa pun yang diungkapkan orang tentang negaranya, selama itu hal yang baik, semuanya sah-sah saja. Dan sekarang Julian teringat tentang hal itu lagi. Tentang negeri yang hijau dan mataharinya yang bersinar sepanjang tahun. Tidak ada yang benar-benar kedinginan di akhir tahun atau merasa terbakar di pertengahan tahun.
"Bagaimana kalau sekarang kita main, gunting, batu, kertas, yang menang bebas menunjuk salah satu dari yang kalah buat ngelakuin apa yang dia mau," Ana bersemangat. Julian tak punya bayangan permainan seperti apa itu, tapi agaknya tak terlalu sulit. Lebih berat untuk bersabar karena usulan melakukan permainan didasari Jecklin yang belum juga dijemput. Julian sudah mengajak Ana pergi berkali-kali, tapi perempuan itu berkeras menunggu sampai yang menjemput Jecklin datang. Julian sudah menjelaskan pada Ana bahwa anak itu bisa saja membawa pengaruh buruk pada Vanessa, tapi Ana justru bertanya, "Kakak kenapa sich?" Julian sadar itu aneh, seorang pria dewasa tiga puluhan tahun terganggu dengan anak kecil berusia tujuh tahun. "Aku hanya mengkhawatirkan Vanessa!" katanya membuat Ana tersenyum.
[...Dan jika itu hanya sebuah mimpi, jangan biarkan aku terbangun. Aku senang berada dekat dengannya. Dan jika itu kenyataan, meski umurku yang jadi taruhannya, aku tetap merasa senang. Kukira Tuhan begitu baik padaku. Ia mendengar setiap doa-doaku. Dan seseorang yang selalu menjadi bagian dari doaku, kuharap dia baik-baik saja. Tidak merasakan sakit seperti yang kurasakan sekarang. Aku juga berharap Tuhan mengangkat rasa sedih berlebihan dari hatinya jika suatu hari nanti aku meninggalkannya. Aku sungguh tak berdaya, dan tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain berdoa. Julian berdiri di sudut ruangan. Bayangan wajah sendunya terekam di kaca bening yang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Entah sejak kapan ia masuk ke ruang perawatanku, kusadari keberadaannya sesaat mengucap salam dan kuusap wajahku den
Sudah hampir pukul dua belas malam, Ruin masih berada di rumah sakit, di ruangan pribadinya. Ia sedang mengkhawatirkan ibunya. Meski tidak banyak yang ibunya katakan siang tadi saat mengunjunginya, wanita tua itu secara tak langsung membicarakan anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Mungkin ibu ingin menjaga perasaan dokter itu ketika tidak meminta Ruin menyelidikinya, bahwa hal ini sudah sering mereka perdebatkan, sering juga menemukan kegagalan hingga membuat mereka kecewa. Ruin tidak ingin hal ini menjadi beban berkepanjangan. Ia ingin meminta ibunya merelakan kakaknya yang hilang itu. Tapi, itu tidak pernah diucapkan Ruin karena ia tak tahu persis bagaimana perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Setiap malam ibunya berdoa untuk keselamatan putranya yang tidak ia lihat selama puluhan tahun. Ia sadar, seberapa pun senyum yang diperlihatkan ibunya setiap kali mereka bertemu, tetap terasa ada yang tidak sempurna dari senyum itu. Ada yan
Sudah enam jam sejak Julian masuk ke dalam kamarnya. Ia terlalu asyik di depan laptop dan belum beranjak dari sana. Ana pernah melihat Julian seperti itu bertahun-tahun lalu. Apatis karena kesibukannya soal Mount East. Ia tidak hanya melakukan itu di kantor, tetapi juga di rumah. Seringkali itu membuat Ana cemburu, dan ia tak suka perasaan itu. "Ngerjain apa, Kak?" tanya Ana duduk di kursi teras di samping Julian. "Ada tender baru, ini kesempatan buat kita. Pengadilan juga nelponin terus, mereka tanya soal Anggito Abimanyu," jelas Julian mengalihkan pandangannya ke ponsel yang bergetar. Julian berdiri sambil menempelkan ponsel di telinganya menuju pagar balkon, "mungkin besok sore bisa," ujarnya. Ana pikir Julian sedang membuat ja
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men