Home / Romansa / Forbidden Lover / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Forbidden Lover : Chapter 41 - Chapter 50

53 Chapters

Chapter 41: Pencarian

[...Dan jika itu hanya sebuah mimpi, jangan biarkan aku terbangun. Aku senang berada dekat dengannya. Dan jika itu kenyataan, meski umurku yang jadi taruhannya, aku tetap merasa senang. Kukira Tuhan begitu baik padaku. Ia mendengar setiap doa-doaku. Dan seseorang yang selalu menjadi bagian dari doaku, kuharap dia baik-baik saja. Tidak merasakan sakit seperti yang kurasakan sekarang. Aku juga berharap Tuhan mengangkat rasa sedih berlebihan dari hatinya jika suatu hari nanti aku meninggalkannya. Aku sungguh tak berdaya, dan tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain berdoa. Julian berdiri di sudut ruangan. Bayangan wajah sendunya terekam di kaca bening yang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Entah sejak kapan ia masuk ke ruang perawatanku, kusadari keberadaannya sesaat mengucap salam dan kuusap wajahku den
Read more

Chapter 42: Perjanjian atau Cinta

Sudah hampir pukul dua belas malam, Ruin masih berada di rumah sakit, di ruangan pribadinya. Ia sedang mengkhawatirkan ibunya. Meski tidak banyak yang ibunya katakan siang tadi saat mengunjunginya, wanita tua itu secara tak langsung membicarakan anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Mungkin ibu ingin menjaga perasaan dokter itu ketika tidak meminta Ruin menyelidikinya, bahwa hal ini sudah sering mereka perdebatkan, sering juga menemukan kegagalan hingga membuat mereka kecewa. Ruin tidak ingin hal ini menjadi beban berkepanjangan. Ia ingin meminta ibunya merelakan kakaknya yang hilang itu. Tapi, itu tidak pernah diucapkan Ruin karena ia tak tahu persis bagaimana perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Setiap malam ibunya berdoa untuk keselamatan putranya yang tidak ia lihat selama puluhan tahun. Ia sadar, seberapa pun senyum yang diperlihatkan ibunya setiap kali mereka bertemu, tetap terasa ada yang tidak sempurna dari senyum itu. Ada yan
Read more

Chapter 43: Romantic Mystery

Sudah enam jam sejak Julian masuk ke dalam kamarnya. Ia terlalu asyik di depan laptop dan belum beranjak dari sana. Ana pernah melihat Julian seperti itu bertahun-tahun lalu. Apatis karena kesibukannya soal Mount East. Ia tidak hanya melakukan itu di kantor, tetapi juga di rumah. Seringkali itu membuat Ana cemburu, dan ia tak suka perasaan itu. "Ngerjain apa, Kak?" tanya Ana duduk di kursi teras di samping Julian. "Ada tender baru, ini kesempatan buat kita. Pengadilan juga nelponin terus, mereka tanya soal Anggito Abimanyu," jelas Julian mengalihkan pandangannya ke ponsel yang bergetar. Julian berdiri sambil menempelkan ponsel di telinganya menuju pagar balkon, "mungkin besok sore bisa," ujarnya. Ana pikir Julian sedang membuat ja
Read more

Chapter 44: I Want You

"Keterlaluan," kesal Julian sambil memijati tengkukya. Ini sudah hari keenam sejak kejadian ia menolak Ana. Perempuan itu berubah alim. Dia mengenakan rok yang menutup hingga mati kaki dan kemeja lengan panjang saat di rumah. Dia juga menghindar ketika Julian ingin memeluknya. Tidak. Ana bahkan tidak membiarkan Julian menggenggam tangannya. Lima malam lalu mereka juga bertengkar soal Ana yang mengunci kamarnya. Ana tentu tahu Julian tidak suka itu, akan menyulitkan buat Julian jika saja terjadi sesuatu pada Ana. "Aku hanya tidak mau seseorang masuk seenaknya ke kemarku," sahut Ana. Sebuah serangan untuk orang yang berdiri sambil berpangku tangan di hadapannya. "Tanpa mengetuk pintu dan langsung tidur di tempat tidurku." "Kenapa? Kau juga melakukan hal yang sama. Seenaknya masuk ke k
Read more

Chapter 45: Hasrat

Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men
Read more

Chapter 46: Let's Make Love

Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Read more

Chapter 47: Seanzevy Atmadja

Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Read more

Chapter 48: Keluarga

"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Read more

Chapter 49: Bayangan Mengerikan

"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
Read more

Chapter 50: Pilihan

 Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status